Sunday, September 23, 2007

Ziarah Ke Jogja

Jogja adalah kota banyak orang. Hem.. Sebenarnya saya pingin bilang, Jogja kota semua orang, tapi sepertinya berlebihan, walaupun bisa jadi nyaris benar. Yup, tentunya kebenaran subyektif. Oh, really? Bukankah kebenaran seharusnya obyektif, benar di sini benar juga di sana, benar di si A benar juga di si Z. Waks, saya sedang tak ingin berdebat soal definisi kebenaran.

Kembali ke Jogja. Delapan hari ini saya telah habiskan waktu di Jogja atau setidak-tidaknya Tujuh malam saya tidur menghirup udara Jogja, membuang air kecil dan besar ke bumi Jogja melalui toilet yang ada di Hotel Novotel selama Lima hari dan Hotel Grand Mercure selama Tiga hari. Hanya Tiga kali saya keluar menikmati malam Jogja.

Perjalanan malam pertama, saya nongkrong di warung angkringan Lek Man, samping stasiun kereta Tugu. Menyeruput kopi jos, kopi panas yang ditimpa arang membara, menimbulkan suara Jossss... Sedap, kental, hitam, dan manpit (Manis -manis Pahit) dengan cemilan sate kulit ayam yang lagi-lagi dibakar di atas arang, hangat di mulut. Lesehan, ngobrol ala kadarnya. Menikmati suara pengamen kanak-kanak yang sumbang. Hemm... Jogja malam pertama.

Malam kedua. Belanja buku. Jadi ingat, 15 tahun yang lalu, saya bersama keponakan bela-belain naik motor, selama lebih kurang 3 jam dari Semarang ke Jogja hanya untuk membeli buku di pasar shoping yang harganya jauh lebih murah dibanding tilang yang harus kami bayarkan kepada polisi Magelang yang menyumprit kami dengan alasan melanggar marka jalan. Hemm... semoga uang tilang yang kami sisihkan dengan telaten dari uang saku bulanan itu, benar-benar disetorkan ke kas negara. Dengan atau tanpa tilang, belanja buku di Jogja selalu mengasikkan.

Hanya, kini, ada yang hilang, pasar shoping yang menjadi favorit kami di masa dahulu, telah berubah menjadi kios-kios buku yang kaku. Tak ada lagi keasikan mencari buku dengan mandatangi lapak-lapak kayu yang bersahaja. Aku rindu shoping yang dahulu.

Malam ketiga. Olala..., itu nama kafe di Saphir Square. Meneguk kopi late sambil melihat jalan yang lengang, mungkin karena bulan Ramadlan. Hemm... Jogja sedang musim kafe. Jika mau iseng menghitung, bisa jadi jumlah kafe di Jogja nyaris sebanyak jumlah counter HP dan warung pecel lele! Hehe...

Aku merindui cerita-cerita romantik saat seni sono belum dibongkar. Merindui cerita-cerita tentang Umbu, Presiden Penyair jalanan Malioboro yang menjadi guru bagi penyair-penyair Jogja. Aku merindui Jogja yang tak kutemui di malam ketujuh membaringkan tubuh di kamar hotel.

Kepada guru-guruku di Al-Munawir Krapyak, maafkan aku belum punya ketertarikan kembali untuk menginjakan kaki di pelataranmu...

Thursday, September 13, 2007

Buku adalah Kemewahan dan Membaca Jauh Lebih Mewah

Tiga tahun terakhir ini, saya belum pernah membaca sebuah buku hingga benar-benar selesai, runtut dari awal; kata pengantar, daftar isi, hingga kata terakhir dalam bab akhir. Semenarik apapun buku itu, rasanya belum ada yang saya lahap habis. Bahkan adakalanya begitu memegang buku yang menarik, saya seperti seorang bocah miskin asal desa atau kolong jembatan yang tak pernah memegang makanan enak, saya akan cemil dikit-dikit lembaran buku itu, mencoba mengunyah-ngunyah dan menikmatinya dengan berlama-lama, berharap kelezatan yang saya rasakan tak segera habis karena tertelan masuk ke dalam perut.

Analogi tersebut mungkin tidak tepat, tapi setidaknya begitulah pengalaman kanak-kanak saya dengan makanan lezat saat tinggal di desa dengan rumah berdinding papan dan berlantai tanah.

Saya tetap rajin membeli buku, minimal Tiga buah setiap bulannya, jauh lebih sering dibandingkan membeli baju yang belum tentu Enam bulan sekali. Bagi saya sendiri, membeli buku adalah perilaku mewah di tengah harga buku yang mencekik dan tak semua orang mampu membelinya. Apalagi walau membeli buku bukan berarti saya membacanya. Mungkinkah saya telah menjelma seperti istri mendiang Diktator Filipina Marcos, Imelda yang rajin mengoleksi sepatu hingga ribuan tanpa sempat memakainya? Hemm, mungkin.

Jumlah buku yang saya baca dan beli tak sebanding. Berbalik dengan masa sekitar Sepuluh tahun lalu, saat saya harus meluangkan waktu mojok di perpustakaan agar dapat membaca buku. Saat itu, jumlah buku yang saya baca Sepuluh berbanding Nol dari buku yang saya beli. Sedang sekarang, dari Sepeluh buku yang saya beli, paling cuma satu yang saya baca, benar-benar baca dari awal hingga akhir. Walaupun begitu, begitu mampir ke toko buku, saya tetap keranjingan memborong buku. Begitu yang terjadi tiap bulan.

Di tengah beragam kesulitan hidup yang dialami saudara-saudaraku yang hidup di negeri kaya yang bernama Indonesia ini, membeli buku adalah kemewahan. Namun dapat membaca buku yang dibeli adalah kemewahan yang lebih tinggi satu derajat dari kemewahan membeli buku.

Bila buku dan membaca adalah kemewahan, maka saya berharap bila kelak meninggal maka saya dapat mewariskan kemewahan tersebut.

Tuesday, September 11, 2007

Babe Naas

"Duh ya, Allah aye nggak pantas masuk surga ente
Tapi kalo masuk neraka jahanam kagak kuat juga aye
Karenanye, tobatin dan ampunilah dosa-dosa aye".

Andaikan Abu Nawas, penyair, komedian yang penikmat khamar itu hidup di Betawi mungkin begitulah dia akan berteriak-teriak saat teler oleh tuak di sebuah warung pojok di kawasan Petojo Sabangan seperti gaya para seniman lenong Betawi yang suka bicara dengan suara full power nan cempreng. Namanya, mungkin juga Abu Nawas tapi Babe Naas.

Tapi sejarah bicara lain. Salah satu manusia unik itu lahir di Baghdad, Irak yang kini luluh lantak oleh tentara agresor dan bau darah yang dikucurkan oleh penyamun-penyamun padang pasir yang tak lagi bersenjata pedang, tapi beragam bahan peledak nan mematikan. Bukan lagi hanya buku yang mereka rompak seperti yang dilakukan kakek moyang mereka terhadap Imam Al-Ghozali yang kemudian menjadi mengilhaminya untuk menyimpan pengetahuan di bilik hati bukan di tumpukan buku. "Al-ilmu fi sudur, wala fi sutur" Pustaka ilmu selayaknya di bilik hati bukan hanya di tumpukan kertas. Berjarak ratusan tahun kemudian juga mengilhami Tan Malaka untuk selalu membuat jembatan keledai guna menyimpan buhul-buhul pengetahuan di akalnya, agar tak mudah dirampas oleh tentara agresor, hingga berbuahlah MADILOG yang dijadikan kitab suci kaum kiri kekanak-kanakan.

Para penyamun yang hidup di atas jenazah Abu Nawas, Abdul Qadir Jailani, Al-Halaj dan puluhan lagi jasad-jasad alim yang terkubur di bawah hamparan pasir itu, kini merampas kehidupan. Lupakah mereka dengan tuturan tuhan yang disampaikan dalam bahasa mereka, "Faman ahyannasa, fakaannama ahyannasa jami'a" Barang siapa menjaga kehidupan seorang saja, maka ia laksana menjaga kehidupan setiap orang yang berserak di jagat ini.

Bentar-bentar... Ini tulisan kok, nggak runtut sama sekali tho?
Yang mau ditulis itu soal Abu Nawas, ngejek pemain lenong Betawi, tentara agresor, penyamun, jembatan keledai atau bikin teks khotbah?

Ah, udah dulu ah, kalo mo lebih tahu soal Abu Nawas klik aja tuh.

Ingat Robin Hood atau Si Pitung?

Keduanya adalah pencuri. Yang satu dari England dan satunya lagi dari Batavia. Yang satu pemakan gandum, yang satunya lagi pemakan nasi. Yang satu suka bertopi, yang satunya lagi suka berpeci. Uniknya, sebagai pencuri, keduanya mendapatkan dukungan dari padri. Yang satu dikisahkan didukung seorang pendeta, yang satunya lagi juga direstui guru ngaji. Dan keduanya begitu legendaris, dikenang dalam cerita-cerita kepahlawanan.

Lantas, apa yang membedakan Robinhood dan Si Pitung dengan pencuri-pencuri lainnya? Bukankah mencuri, mengambil barang pihak lain tanpa perkenan siempunya, merupakan perbuatan tercela? Sama tercelanya dengan membunuh, menghabisi nyawa orang lain. Tentunya dengan kadar ketercelaan yang berbeda. Membunuh bisa jadi oleh kebanyakan orang dianggap lebih tercela dibanding mencuri. Tapi benarkah?

Mari kita coba dengan lemparkan pertanyaan, apakah membunuh diperbolehkan? Jawabannya bisa jadi;
a. Tidak boleh

b. Boleh jika Anda terancam.

c. Wajib jika Anda adalah seorang serdadu yang harus memusnahkan musuh. Situasi dan konteks keadaanlah yang menyebabkan jawaban yang berbeda.

Sekarang mari kita coba lemparkan pertanyaan, apakah mencuri dipebolehkan?
a.Tidak boleh

b.Tidak boleh walau Anda terancam lapar.

c.Tidak boleh walau Anda serorang ”pencuri”, cepatlah bertobat jangan jadi pencuri lagi dong! Situasi dan konteks keadaan, tidak akan menyebabkan jawaban tersebut berbeda-beda.

Walau kadar ”kebiadaban” lebih berat membunuh, tapi soal mencuri nyaris jawabannya tunggal. Tidak boleh. Situasi dan konteks keadaan yang menyebabkan dan atau jadi motive atas tindakan yang diambil, tetap saja tak bisa dijadikan eksepsi untuk mencuri. Kenapa? Mana lebih berharga nyawa atau harta?

Bisa jadi, ini patut didiskusikan lebih dalam lagi, kalau kita menggunakan pisau analisis marxian, strukturalis dan matrialisme, mungkinkah pencurian dilarang karena dilakukan oleh jelata yang membahayakan para pemilik modal yang kemudian dibungkus dengan dalih untuk menjaga ketertiban umum? Wee lhadalah, ini pisau analisis paling ngawur kali ya? Jelas iya! Hehehe....