Wednesday, October 24, 2007

Ya Udah


T: Suka baca?
J: Iya
T: Paling suka baca apa?
J: Baca buku.
T: Iya, buku apa?
J: Buku bacaan.
T: Huh, dasar. Topik yang kamu suka apa?
J: Apa aja. Topik Savalas dan Topik Hidayat juga suka.
T: Ooo....
J: Ooo... juga.
T: Tiap bulan rata-rata berapa buku yang kamu beli?
J: Tergantung.
T:Tergantung pada apa?
J: Ya, tergantung pada cantelan tho...
T: Huahahahaha.....
J: Huahahahaha ....
T : Bulan ini beli berapa buku?
J: Enam buku.
T: Bulan kemarin?
J: Empat buku.
T: Bulan kemarinnya lagi?
J: Empat juga.
T: Buku baru semua?
J: Nggak, ada yang udah dibaca dipinjem teman, dicuri, ilang. Beli lagi.
T: Sempat baca semua?
J: Enggak.
T: Lah, ngapain beli buku nggak dibaca?
J: Ya iseng aja.
T: Katanya hobi baca buku.
J: Memang.
T: Kok nggak dibaca?
J: Iya ya... kenapa ya?
T: Yee... kok balik tanya?
J: Nggak boleh ya?
T: Nggak.
J: Ya udah.

Friday, October 19, 2007

Skeptisme

Kamu bilang:
Skeptisme muncul bukan karena keraguan pada kebenaran, tapi ketiadaan alat yang membantu orang untuk mengetahui kebenaran.

Dia bilang:
Apa saja yang mengandung keraguan, tentu saja, adalah subyek untuk diperdebatkan.

Aku bertanya:
Lantas, apa yang diperlukan untuk membuktikan sesuatu itu benar?

Thursday, October 18, 2007

Lebaran, Usai, Baju Baru

Lebaran itu Bahasa Jawa, dari kata dasar lebar, artinya rampung. Diberi akhiran "an" yang berati rampungan. Di Jawa Tengah, kata lain lebaran yang mashur adalah Bodo. Ini kata serapan dari Bahasa Arab Ba'da yang berarti telah. Para khotib ato tukang khotbah, setelah mengucapkan sukur dan pujian pada Allah yang Maha Suci dan Rasul Muhammad SAW saat pembukaan pidato biasanya akan berujar "amma ba'duh" artinya, adapun setelah itu.

Di kampung saya tinggal, lebaran atau bodo itu tak cuma hari raya idul fitri dan idul adha. Tapi ada lagi, bodo syawal atau disebut juga bodo kupat, lebaran ketupat. Dirayakan Enam hari setelah lebaran idul fitri. Menurut para leluhur, lebaran itu untuk merayakan kesuksesan orang-orang yang berpuasa syawal, puasa selama Enam hari setelah lebaran. Appresiasi untuk mereka yang tak terlena dengan pesta makan-makan setelah satu bulan menahan lapar dan dahaga dari subuh hingga maghrib. Pada bodo kupat inilah, sebenarnya ketupat disajikan, bukan pada saat idul fitri.

Setahu saya, di Demak dan Kendal, bodo kupat dirayakan dengan acara syawalan, semacam pesta rakyat. Ada acara ziarah, wisata, dan pasar malam. Konon, begitu pula di Pekalongan dan beberapa kabupaten atau kota di wilayah Pantura lainnya.

"Laisal 'id liman la yalbisal jadid" begitu syair bahasa arab yang sebenarnya adalah syair guyonan yang artinya, tiada lebaran tanpa baju baru. Maka, di desa tempat saya tinggal, lebaran berarti pula baju baru. Pilihan favoritnya adalah warna-warna mencolok, ngejreng, dari bayi hingga kakek-nenek. Norak? Bisa jadi pangamat fashion yang nyiyir akan bilang begitu. Tapi menurutku, inilah moment yang mengalahkan "kenorakan" model-model ala harajuku. Apalagi semua pengguna warna cerah yang saling bertabrakan itu, berwajah ceria, tanpa bermaksud untuk pamer. Ini hanyalah tradisi.

Bagi orang di desa saya, baju baru, bisa jadi memang hanya satu tahun sekali. Karena itu, anak-anak desa hapal betul parian ledekan "Doro mangan pari durung bodo wis nganayari" yang sering ditujukan pada temannya yang menggunakan baju baru bukan pada hari lebaran, "merpati makan padi, belum lebaran kok sudah nganyari".

Jadi, bapak-bapak dai yang terhormat, warga desa, tidak konsumtif kok, cuma satu tahun sekali. Ini pun, lebih karena bentuk syukur. Bukankah dalam Al-kitab diujarkan "Faama bini'mati rabbika fahaddist; Maka tampakkanlah nikmat tuhanmu". Punya sedikit uang adalah nikmat bagi kami, orang-orang desa, dan karena tak ingin menyembunyikan nikmat Tuhan yang telah terkaruniakan, lihatlah kami punya baju baru. Thanks, ya Allah...

Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin.

Tuesday, October 9, 2007

Berbuka dengan yang Manis

Lima Oktober Hari ABRI. Dapat undangan makan-makan, dari Griya Asa. Tapi ini tidak terkait sama sekali dengan pesta memperingati hari Tentara Nasional Indonesia itu. Jauh banget. Cuma buka bersama, biasa banget kan? Yang nggak biasa, buka bersama itu di Sunankuning, sebuah lokalisasi terbesar di Semarang, bersama teman-teman Wanita Penjaja Seks (WPS) dan Para Mucikari. Kalau sampean tertarik singgah, hanya 15 menit dari bandara Ahmad Yani Semarang.

Saya didapuk memimpin diskusi hingga adzan maghrib. Karena bulan Romadlon dan tajuknya buka puasa bersama, maka pertama-tama, meniru beberapa ustadz, saya tak lupa menyinggung keagungan bulan puasa dan apa yang harus dilakukan saat puasa.

”Bapak, ibu, mbak-mbak dan temen-teman, Al-hamdulillah kita bisa berkumpul di acara diskusi sekaligus buka puasa bersama ini. Nah, dalam bulan yang mulia ini, kita dianjurkan untuk selalu husnu dlon, selalu berpikir positif.” Saya lihat Pak lurah, beberapa mucikari dan pengurus lokalisasi, terlihat mengangguk-angguk, wah jadi semangat, pengen ceramah ala Yusuf Mansur. Hehehe...

”Bila selama ini kita melihat segala sesuatu dari sisi masalah atau persoalan, dalam bulan puasa ini, mari kita coba ber-husnu dlon, berpikir positif, melihat sesuatu dari aspek potensi dan coba maksimalkan potensi itu,” saya lihat mbak-mbak WPS, kali ini, juga mengangguk-angguk, mungkin nggak mau kalah dari mucikari yang duluan mengangguk-angguk. Saya sendiri juga ikut mengangguk-angguk, berpikir apa lagi yang harus saya ujarkan biar tak terjebak jadi tukang ceramah.

”Nah, sambil nunggu buka, sore ini, mari kita berdiskusi. Ini ada hasil pemetaan di Sunankuning yang akan dipaparkan, untuk pengantar diskusi. Silahkan mas...” Saya mempersilahkan Abror untuk menyampaikan hasil pemetaan yang dilakukan beberapa aktivis HIV di Sunankuning beberapa waktu lalu.

Berdasarkan mapping, jumlah WPS yang tinggal dalam lokalisasi 578 orang, sedang yang kost di luar tapi tiap jam ”kerja” datang sebanyak 112 orang. Dari aspek kesehatan, baik yang menetap di SK atau kost, 100 persen positive Infeksi Menular Seksual (IMS)!

Temuan yang menarik, cuma sayangnya baru aspek kesehatan. Sementara aspek ekonomi, sosial, dan praktik-praktik eksploitatif belum muncul dari pemetaan tersebut. Karena keterbatasan waktu, menggunakan otoritas sebagai moderator, diskusi tersebut langsung saya tarik ke soal kesehatan, biar fokus. Soal-soal lain, mungkin pada kesempatan diskusi selanjutnya.

Dengan jumlah IMS sebesar itu, bisa dipastikan jumlah WPS yang rentan tertular HIV di Sunankuning sangatlah banyak apalagi penggunaan kondom sebagai alat pencegahan penularan IMS dan HIV sangatlah rendah. Kesadaran untuk memeriksakan diri ke klinik IMS juga sangat rendah.

”Melihat kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan, akankah kita diam saja melihat mbak-mbak WPS jadi korban HIV?” Saya memancing.

Pak RT, angkat bicara, ia menyoroti soal pencegahan. Menurutnya bila yang bisa digunakan mencegah IMS dan HIV adalah kondom, maka selayaknya distribusi kondom bagi para WPS diperjelas. ”Saya sendiri, menjual kondom di warung saya, tapi sering tidak dapat distribusi kondom sehingga harus membeli di apotik yang harganya lebih mahal jadi harga jual kembalinya juga jadi lebih mahal. Berat bagi mbak-mbak WPS,” ujarnya.

Seorang WPS yang menjadi peer educator angkat bicara. ”Teman-teman WPS sebenarnya sudah menawarkan kondom ke tamu, tapi banyak yang menolak pakai. Lah, daripada nggak dapat duit, walau nggak pake kondom ya, dilayani,” terangnya. Memang posisi tawar WPS sangatlah rendah.

”Para WPS yang kost di luar harus ditertibkan. Semuanya harus dalam lokalisasi,” ujar pengurus lokalisasi. Tapi usulan itu ditolak oleh Pak Lurah karena pasti akan menyebakan keributan karena para pemilik kos yang ditempati para WPS di luar adalah ”orang-orang kuat,” begitu istilah sang lurah.

Saya sendiri, hanya mengatur lalu lalang pembicaraan. Biarin aja, biar saling ngomong dulu, ini kan diskusi jadi bebas aja. Kegaduhan ide dan bicara antar peserta itu, ternyata tidak tahan lama juga. Nah, sekarang kesempatan saya untuk masuk kembali.

”Bapak, Ibu, Embak dan teman-teman, jelas bahwa saat ini angka IMS di Sunankuning sangat tinggi yang akan memacu penularan HIV. Nah, beberapa usulan tadi kita tampaknya ingin melakukan sesuatu, tapi ada beberapa hal yang harus kita selesaikan lebih dahulu yang sayangnya tak bisa sekaligus rampung dan tak bisa dilakukan sendiri-sendiri,” saya berancang-ancang. ”Kita harus bekerjasama bila ingin menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimana kalau kita bentuk pokja untuk mendiskusikan dan memilah-milah masalah yang ada sehingga kita bisa memberikan kontribusi positif bagi Sunankuning?” Saya mengusulkan, seluruh peserta diskusi setuju.

”Nah, karena sudah adzan, bagaimana kalau kita janjian mengadakan pertemuan lagi setelah lebaran dengan peserta yang lebih beragam biar diskusi kita lebih utuh dan bisa segera melakukan sesuatu?” Saya usul lagi dan disetujui lagi. ”Ok, kalau begitu, diskusi ini menyepakati untuk membentuk pokja guna membantu mengatasi persoalan di Sunankuning dan akan merencanakan pertemuan setelah lebaran dengan aganda yang lebih jelas. Sekarang silahkan menikmati buka puasa yang sudah disediakan panitia diskusi,” saya mengunci.

Es kelapa muda yang sejak tadi tersaji di meja, langsung saya sruput. Wuih segar banget! Karena rasa Es kelapa mudanya terasa manis, mbak-mbak WPS yang ikut diskusi juga ada yang manis, dan diskusi ini sendiri juga manis. Saya jadi ingat hadist, ”Berbukalah dengan yang manis”.

Wednesday, October 3, 2007

Vibrant Training

Awalnya adalah sekadar training. Sebagaimana layaknya training, pasti juga gitu-gitu aja. Apalagi, salah satu profesi yang pernah saya lakoni dahulu adalah participant training dan workshop. Dalam sebulan, saat itu, nyaris Dua hingga Tiga training dan workshop saya ikuti. Pesertanya? Ya, wajah-wajah itu juga. Mau soal resolusi konflik, managemen penanggulangan bencana, partisipasi publik, anti korupsi, hingga strategic planning penyusunan isu apapun semua terlahap. Jadi, training atawa workshop, selain menjadi moment untuk perbaikan gizi karena makanan terjamin, jalan-jalan ke luar kota gratis, juga menambah uang saku. Yah, lumayan untuk jatah hidup satu bulan ke depan. "Profesi yang mengasikan bukan?"

Bosen jadi peserta, mulailah saya menjadi fasilitator. Kerana telah kenyang pengalaman jadi peserta, saya mafhum juga, kalau dari satu workshop ke workshop lainnya, ada peserta yang itu-itu juga. Hemm... Profesi saya dahulu ternyata masih ada yang melanjutkan, hehehe...

Tapi beberapa hari lalu, saya mengikuti training yang, sejauh ini sih, lain daripada yang lain. Vibrant Training. Uniknya, sampai training itu selesai saya tak tahu juga apa arti Vibrant. Tapi, apalah arti sebuah nama. Yang jelas, mulai hari pertama hingga usai, saya benar-benar enjoy, peserta lain, tampaknya juga enjoy. Tiada hari tanpa tertawa, sempat ada tangis juga sih, saat sesi refleksi. Tapi bukan soal tawa dan tangis yang mengesankan dalam Vibrant training ini. Pun, sebenarnya, tidak semua sesi mengusung materi yang benar-benar baru. Lantas apa dong? Prosesnya! Fasilitator atau trainer benar-benar percaya pada proses yang berjalan di antara peserta training. Hasilnya? Imajinasi peserta menjadi liar, melihat semua dari sisi potensi, memandang persoalan dari aspek potensi bukan aspek masalah.

Maka, di hotel yang satpamnya pun sempat menolak saya masuk karena naik motor, dan baru mengjinkan begitu tahu saya menginap di hotel tersebut, beberapa hari itu, dibobol dengan kehadiran tukang becak, loper koran, dan pengamen jalanan yang diundang oleh peserta training untuk menjadi guru, teladan pembelajaran bagi kami. Dengan begitu, rasanya tak penting lagi bagi saya untuk mencari apa arti atau definisi vibrant.

Pada malam terakhir, kami yang rata-rata tak mahir memainkan alat musik, semuanya asyik memainkan perkusi di halaman hotel. Untung tidak ada FPI Jogja yang sedang senang-senangnya sweeping di malam bulan puasa. Tapi saya pribadi sih, berharap malam itu FPI sweeping, pasti seru, karena akan kami ajak gabung main perkusi. Lebih baik daripada main ancam dan main kayu bukan?

Monday, October 1, 2007

Kali Code

Tiga Belas hari di Jogja. Malam terakhir, saya harus sempatkan untuk nongkrong. Pukul 12 malam, bersama Budi dari Inspirit, Bangkit dari LPPSLH dan Kristo dari Grisa PKBI-Semarang, saya jalan kaki ke Kali Code. Malam itu rembulan, bulat, memancarkan cahaya dari atas langit Jogja, tertutup oleh awan, sesaat. Kemudian muncul kembali, begitu terus berulang, seperti mengajak bermain cilukba.

Hanya butuh waktu 15 menit jalan kaki dari Mercure ke Code. Dari atas jembatan, terlihat rumah-rumah panggung, tertata rapi, tepat di pinggir kali, para penghuninya mungkin telah lelap dalam mimpi. Sunyi di bawah, tidak dengan di atas, sepanjang trotoar yang tepat berada di atas Kali Code hingga Masjid Suhada, penuh dengan para penikmat warung lesehan, mayoritas mahasiswa, dugaanku. Kami harus jalan agak lama untuk menemukan tempat yang kosong. Syukurlah, sesuai dengan keinginan, ada tempat kosong di trotoar menghadap ke Kali Code.

Dua buah teh poci, ceker ayam goreng, kentang goreng, dan dua potong roti bakar pesanan kami akhirnya datang juga, perlu waktu 30 menit untuk diantar dari sejak pesan! Tak apalah, bukan cemilan yang kami cari, tapi tempat nongkrong. Dan bagi saya, inilah tempat nongkrong paling asyik, ke bawah melihat rumah-rumah mungil tertata rapi dengan beragam bentuk, kebanyakan panggung dan, ke atas melihat rembulan bulat berbinar.

Kami berempat, bertukar lelucon. Tapi saya lebih sering hanya mendengarkan, ikut tertawa bila merasa lucu. Saya tak punya perbendaharaan yang cukup untuk ber-anekdotria. Sebuah daun jatuh menimpa kepala, saya pungut, saya kantongi, dan kini menjadi pembatas buku.

Kali Code. Bukan pertama kali saya melewatinya. Tapi malam ini, rasanya begitu berbeda. Saya teringat sekitar 1986-an, sempat mengkliping sebuah berita dari koran Suara Merdeka, soal rencana penggusuran Kali Code yang ditentang keras oleh Romo Mangunwijaya dengan ancaman mogok makan, berita itu disertai foto Romo Mangun yang terlihat kusut. Tahun itu, saya tengah belajar di Pesantren. Dan Kyai saya yang lumayan melek informasi, seusai sholat maghrib, menceritakan peristiwa heroik yang dilakukan oleh seorang Romo di depan para santri dan jemaahnya. Saya ingat benar cerita itu.

Beberapa tahun kemudian, saya sempat bersua dengan Romo, tapi benar-benar hanya bersua. Dia tengah sibuk dikerubuti wartawan. Saya tak berani menyapanya, ikut berkerumun di sekelilingnya. Mendengarkan apa yang ia katakan. Orang inilah yang bab terakhir novel-nya, Burung-Burung Manyar, menemani saya menunggu tukang tambal ban memperbaiki motor saya yang bocor dalam perjalanan dari Pati ke Semarang.

Dan malam itu, saya kembali menikmati karya seorang anak manusia, bernama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang kembali pada khaliknya pada 1999. Mengapa saya pilih nongkrong di Kali Code, sebetulnya saya ingin bercerita pada dua aktivis muda yang saat itu ikut nongkrong, bagaimana menjadi aktivis sejati dengan bercermin pada karya mendiang Romo Mangun. Tapi malam itu, kami lebih asyik ber-anekdot ria. Memang hidup tak selalu harus tampak tegang dan serius. Mungkin itu pula dulu yang dilakukan oleh Romo Mangun.

Ops, sudah pagi, pukul 2 dini hari kami kembali ke Mercure. Saya tak berani tidur, karena sesaat lagi harus sahur, untuk puasa. Hemm... bilakah ini malam lailatul qodar?