Sunday, December 30, 2007

Hilangnya Sawah Kami

“Kalo sawah jadi pabrik, nanti makan apa?”
“Ya, makan roti.”
“Hahaha..,” Aku tak bisa menahan tawa mendengar jawaban dari bocahku yang kini duduk di TK nol kecil. Alih-alih mau melatih nalar kritis, untuk menerangkan bahwa roti dibuat dari gandum yang juga dipanen dari ladang untuk bocah seusianya, aku sudah kebingungan.

Ya udah, akhirnya aku beralih ngobrol dengan petani baik hati yang mengizinkan ladangnya menjadi tempat bermain bocahku. Petani pemilik tanah seluas tiga bahu itu bercerita bahwa tanahnya sedang ditawar orang kota untuk disulap menjadi pabrik.

“Harga yang diajukan lumayan mas, 150 Ribu per meter. Tapi belum saya lepas, eman-eman,” ujarnya sambil mencabuti benih padi yang siap dipindah tanam di galengan yang lebih luas.

“Iya Bu, eman-eman, bisa-bisa semua tanah nanti jadi milik orang kota, mereka jadikan pabrik atau tetap dibiarkan jadi ladang, tapi kita jadi buruhnya,” aku memprovokasi.

Sebagai wong ndeso, walupun tidak sempurna karena tak punya lahan dan mencangkulpun tak bisa, aku masih saja ngeman-ngeman bila tanah petani satu persatu berpindah kepemilikannya. Beralih profesi menjadi pekerja pabrik, kuli bangunan, pembantu atau tetap menjadi petani tetapi hanya sebagai buruh penggarap, landless.

Sebagai rakjat jelata, aku tak habis pikir kenapa pemerintah negeri agraris ini tak pernah benar-benar peduli terhadap kesejahteraan petani. Pada 1984 dan konon juga 2004, para petani menjadikan negeri ini ber-swasembada pangan (beras), tapi nasib mereka baik pada 1984 mauapun 2004 tetap aja swarba swusah sampai sekarang.

Dibandingkan dengan petani di Thailand, petani kita memang kasihan. Di Negeri Gajah Putih itu, rata-rata pendapatan perkapita petani adalah US$ 2.190. Sedang petani kita US$ 810. Kalau diasumsikan US$ 1 = Rp 9000, maka dalam sebulan petani Thailand mengantongi Rp 1.642.500 sedang petani kita Rp 607.500.

Salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani kita konon karena keterbatasan lahan. Saat ini, lahan pertanian kita cuma 8 Juta hektar dengan jumlah 40 Juta oetani. Bila dirata-rata, maka tiap petani hanya memiliki lahan 0,2 atau 1/5 hektar. Padahal, menurut ahli skala ekonomi, untuk tanaman pangan, khususnya padi, kepemilikan lahan minimal agar petani sejahtera adalah 2 hektar. Itupun dengan asumsi minimal harga gabah kering Rp 1000 per Kg, kurs 1 dolar Amerika sama dengan Rp 9000 dan tiap hektarnya menghasilkan 2 ton gabah kering. Bila itu terwujud maka petani kita menurut standart Bank Dunia baru bisa masuk ke level middle income, nyaris mendekati Thailand.

Tapi, alih-alih melakukan land reform, mengusahakan lahan pertanian untuk petani. Dengan lahan sawah yang cuma 8 Juta hektar, pemerintah malah membiarkan pencaplokan tanah untuk disulap menjadi pabrik. Lantas apakah arti dari pernyataan Presiden SBY soal ketahanan pangan, memperbaiki pendapatan petani, dan pembangunan sektor pertanian? Kalau hal itu aku tanyakan pada bocahku, pasti jawabannya tak kalah lucu dengan jawaban pemerintah.

“Ayo, cukup mainnya, besok lagi,” aku mengajak bocahku yang legam berbalut lumpur sawah untuk pulang. “Bilang terima kasih ke Bu tani sudah boleh main di sawahnya,” ujarku lanjut.

Berjalan pulang, dalam batin aku berharap semoga sawah itu tak dijual untuk diubah menjadi pabrik. Dalam hitunganku telah 5 buah bangunan pabrik yang berdiri di sekitar lahan pertanian di desa kami, 1 buah pabrik dalam proses pembangunan. Itu berarti selain lahan pertanian berkurang, cerobong-cerobong yang menyemburkan asap hitam akan lebih banyak kulihat saat duduk santai melepas penat di beton atap rumah pada sore sepulang memburuh dari kota.

Wednesday, December 26, 2007

Diskusi, Adzan, Kaligrafi dan Lokalisasi

Suara adzan dluhur menghentikan diskusi yang tengah berjalan. Empat pembicara di depan, diam menanti adzan usai. Lamat-lamat saya teringat pelajaran dari guru madrasah yang menyarankan kita diam saat adzan dikumandangkan, dan baru bicara lagi begitu adzan usai.

Begitu adzan usai diskusi dilanjutkan. Belum lagi 15 menit, terdengar adzan lagi. Diskusi kembali dihentikan. Wah, kapan diskusi akan selesai kalau tiap adzan berhenti. Tapi keputusan untuk diam saat adzan kali ini, adalah pilihan yang bijak karena kalau memaksakan tetap ngomong tak akan terdengar, kalah keras dibanding suara TOA dari masjid yang tepat di samping gedung kami berkumpul.

Diam saat adzan terlantunkan sebenarnya bukanlah wajib, hanya sunah muakad, dianjurkan untuk diam tapi kalo tetap nyerocos ngomong juga nggak apa-apa. Semoga aja diskusi tak berhenti lagi begitu terdengar suara adzan, bisa-bisa diskusi tak akan pernah selesai karena jumlah mushola begitu banyak dan adzannya tidak kompak, bersamaan. Mungkin nggak ya, diatur cukup satu masjid yang adzan menggunakan pengeras suara untuk area jangkauan 1 Km persegi, umpanya, sedang mushola atau masjid lainnya adzan tanpa perlu menggunakan pengeras suara. Jaman nabi adzan kan juga nggak pake pengeras suara.

Agak mengherankan juga diskusi yang dilakukan bukan di pesantran ini, tingkat adab majlisnya nyaris seperti bahtsul masail di pesantren. Mungkinkah karena di sisi kiri dan kanan pembicara terdapat lukisan kaligrafi arab yang sangat besar, bertuliskan surat Al-Fatihan dan sebuah ayat yang menceritakan proses reproduksi manusia? Atau karena salah seorang pembicaranya Masruhan Syamsurie Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, partai politik berlambang Ka’bah dari DPRD Propinsi Jateng?

Saya datang terlambat dan tak terlalu menyimak apa yang dipaparkan para pembicara di depan. Tapi intinya, menurut teman panitia diskusi ini dilakukan untuk membahas kerja kreatif seniman lukis Maman Suparman yang memajang 20 kaligrafinya di sudut-sudut kampung Argorejo selama Dua minggu.

Lho, memang apa yang istimewa dengan itu? Para pedagang kaki lima jauh telah lebih dahulu melakukannya, memajang kaligrafi di pinggir jalan, kenapa tidak menjadi bahan diskusi?

Karenanya saya agak takjub juga ketika segerombolan seniman begitu bersamangat mendiskusikan hal tersebut. Oalah, selidik punya selidik ternyata yang dianggap luar biasa itu karena Argorejo alias Sunankuning merupakan lokalisasi terbesar di Semarang yang menampung 578 Wanita Penjaja Seks (WPS).

Bila memang benar itu alasannya, saya menjadi lebih takjub lagi. Lha, emang apa hebatnya pameran kaligrafi di lokalisasi? Ingin meneguhkan bahwa WPS sampah masyarakat dan ayat-ayat Al-Quran sebagai kalam suci yang tak layak disandingkan? Mungkin akan lebih asyik kalo diskusinya diganti membahas kaligrafi yang banyak terpampang di kantor-kantor dinas pemerintah, Depag misalnya, dan korupsi tetap aja tinggi.

Thursday, December 20, 2007

Andai Kutahu

Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar, 10 orang perempuan duduk saling berjejer di antara 22 perempuan lainnya, membentuk bulatan tanpa rongga. Tak ada meja yang menjadi pembatas, tak ada meja yang menjadi tempat bersandar, hanya kursi berjajar.

Saya sendiri duduk di sebuah sofa yang ada di pojok dalam ruangan. Hanya memandang, menyimak, sesekali keluar untuk menghempaskan napas, menumpahkan perasaan dengan pura-pura ke toilet.

Tak boleh ada nama disebut, tak boleh ada gambar diambil. Namun peristiwa haruslah dikabarkan karena ini hikayat tentang ketabahan dan harapan yang terus hidup di tengah belitan akar rimba raya penistaan.

Dari sofa di sudut, kulihat seorang perempuan yang belum lagi genap berusia 20 tahun, memegang mike. Ia menegakkan pandangan bak mesin pemindai, menatap sekilas, satu persatu mereka yang duduk melingkar. Dua bola matanya jernih.

“Saya pekerja seks. Baru dua bulan lalu saya tahu terinfeksi HIV. Saya menangis untuk beberapa hari. Namun kini tidak lagi. Saya harus tetap hidup karena saya harus mencari duit untuk adik-adik dan keluarga,” tuturnya gamblang. Ia memberikan mike ke teman yang duduk di sebelahnya yang bercerita hal yang sama, positif terinfeksi HIV, begitu juga teman yang ada di sebelahnya.

Sepuluh orang perempuan, semuanya terinfeksi HIV, semuanya adalah penjaja seks. Dan semuanya tetap bekerja sebagai penjaja seks karena hidup bagi mereka adalah memberi sesuatu yang tak mereka punya untuk satu-satunya yang mereka punya; keluarga.

Menjadi penjaja seks bukanlah cita-cita yang pernah terlintas di benak mereka saat belia pun hingga kini. Tetap menjadi penjaja seks bukanlah soal kesetiaan profesi. Pun bukan karena dendam berbagi virus dengan para lelaki yang meniduri mereka bergantian tiap malam. “Kami sedih. Di antara kami, masih juga menangis. Tapi tangis tak membuat kami hidup,” begitu mereka berujar. “Saya tak ingin menyebarkan HIV pada sesama perempuan karena perilaku suami mereka,” lanjut salah seorang yang diikuti dengan anggukan setuju yang lainnya.

Mereka belum bisa berhenti menjadi penjaja seks, tapi mereka berupaya menghentikan penyebaran HIV. Memaksa para lelaki untuk mengenakan kondom saat meniduri mereka adalah salah satu upaya. No condom, no sex. “Cukup kami yang terinfeksi HIV”.

Dua Puluh Dua perempuan lainnya mulai sembab mata, beberapa menangis. Mereka adalah bagian dari sepuluh teman mereka yang telah terinfeksi. Bisa jadi soal waktu. Bisa jadi soal belum tahu. Tiba-tiba, beberapa di antara mereka berdiri menyayi.

Andai ku tahu
Kapan tiba ajalku
Ku akan memohon, tuhan tolong panjangkan umurku

Andai kutahu
Kapan tiba masaku
Ku akan memohon, tuhan jangan kau ambil nyawaku

Aku takut akan semua dosa-dosa ku
Aku takut dosa yang terus membayangiku

Andai kutahu
Malaikat Mu akan menjemputku
Izinkan aku, mengucap kata taubat pada Mu

Ampuni aku dari segal dosa-dosa ku
Menangis ku bertobat padamu

Aku manusia yang takut neraka
Namun aku juga tak pantas di surga

Saya kembali ke luar ruangan, pura-pura mau pipis, masuk ke toilet. Di depan cermin toilet kutatap wajahku, gema lagu yang dinyayikan bersama itu masih terdengar. Andai Kutahu…

Denpasar, 14 Desember 2007

Tuesday, December 18, 2007

Malas Nulis


Ada banyak gagasan.
Ada banyak bahan cerita.
Ada banyak perjalanan.
Tapi tak cukup banyak keinginan untuk menulis.
Aku hanya menunggu hujan.

Sunday, December 2, 2007

Merdeka, Kondom dan WPS

Satu Desember 2007, aku menghabiskan waktu tiduran di depan TV. Berkali-kali mengganti chanel, mencari acara yang berkenan di hati namun nihil. Berita-berita didominasi oleh peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) dan berita demo menuntut Papua Merdeka.

Soal berita demo menuntut Papua merdeka, aku tak risau. Adalah hak setiap orang untuk memperjuangkan kemerdekaanya bila merasa terjajah. Sesuatu yang wajar. Jadi ingat permainan sahabat rahasia dalam training yang baru saja usai. Melalui foto yang diedarkan secara acak, aku mendapatkan teman asal Papua. Namanya Paul. Ia aktivis peduli HIV dan AIDS, salah satu kegiatannya adalah menjangkau kawan-kawan Papua yang tengah belajar di Jakarta, ia mendatangi mereka satu per satu atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menerangkan cara penularan dan pencegahan HIV. Paul, tipikal mesin diesel, mulanya pendiam, tapi menjelang akhir pelatihan mulai banyak ngomong dan melucu. Sebagai sahabat rahasia, dia memberiku sebuah kalung dengan gambar Bob Marley. Aku memberinya CD interaktif, learn how to learn dengan memaksimalkan otak kanan. Saat bersalaman untuk berpisah, sambil bercanda aku memekikan kata "Merdeka!". Dia tertawa, wajahnya sumringah.

Soal berita Hari AIDS Sedunia, aku sedikit lebih menyimak. Salah satunya soal demo penolakan pekan kondom nasional yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka mencegah penularan HIV. Menurut para pendemo, pekan kondom nasional, hanya akan menyuburkan free sex! Wow, benarkah, bukankah dengan atau kondom, praktik seks bebas di Indonesia juga terjadi? Tiba-tiba saya teringat syair Minangkabau lawas, yang dikutip oleh Mochtar Lubis dalam
bukunya Manusia Indonesia.

Ke teluk sudah
Ke bukit sudah
Ke Mekah saja yang belum

Berpeluk sudah
Bercium sudah
Menikah saja yang belum

Dengan mengutip syair tersebut, Mochtar Lubis, hendak berujar salah satu sifat Manusia Indonesia adalah munafik. Praktik seks bebas, sudah sejak jaman dahulu terjadi, tapi sok menganggap tak mungkin terjadi di negeri yang agamis ini.

Bila ada yang membuat risau dengan program penanggulangan HIV dan AIDS, bagiku adalah program yang menjadikan Wanita Penjaja Seks (WPS) sebagai target utamanya. Sejak 1997 hingga 2007, program untuk WPS belum menghasilkan apapun. Tingkat Infeksi Menular Seksual di kalangan WPS masih sangat tinggi, rata-rata 80 persen. Tingkat penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks dengan tamu lelakinya juga masih sangat rendah. Satu-satunya hasil kongkrit program semacam itu adalah kian melekatnya label bahwa para WPS lah yang menjadi sumber penularan IMS, HIV dan AIDS di kalangan khalayak luas.

Padahal jumlah lelaki yang suka membeli seks jauh lebih besar dibanding jumlah WPS, sekadar contoh di Semarang, Jawa Tengah jumlah WPS adalah 0,35 persen sedang jumlah lelaki pembeli seks 5 persen. Masa kerja WPS rata-rata 5 tahun, sedang lelaki yang hoby membeli seks bisa menjalaninya hingga 20 tahun. WPS biasanya berpraktik dengan menetap di suatu lokasi. Sementara lelaki yang hoby ngeseks, sering berpindah lokasi hingga ke kota lain untuk meyalurkan hasratnya.

Merisaukan. Kasihan benar teman-teman WPS, tak hanya dituding sebagai tak bermoral, tapi juga diteguhkan harkatnya sebagai penyebar HIV karena program yang tak tepat. Padahal...