Saturday, December 13, 2008

TerinjakJaran itu Nikmat, Jendral!

Sebagian besar wartawan Semarang, akhir-akhir ini, ngefans berat "jaran". Saking cintanya, beberapa wartawan berseloroh "Terinjak jaran itu nikmat, jendral!". Nggak percaya? Coba saja bertanya acak pada komunitas wartawan Semarang. Sebagian besar, pasti menyahut "Ya, kami fans berat jaran."

"Wajar dong, wartawan ngefans jaran, simbol suka berpacu mencari berita," ujar Anda dalam hati. Saya sarankan tetaplah disimpan dalam hati, jangan diucapkan. Bila tidak, dijamin para wartawan, yang ini sebagian kecil, akan tertawa lepas, ngakak!

Usah mengernyitkan dahi. Jaran Bahasa Jawa yang berarti kuda dalam Bahasa Indonesia itu, di kalangan wartawan Semarang, bermakna lain.

Kata sohibul hikayat yang juga wartawan, istilah jaran yang menjadi bahasa gaul kaum wartawan Kota Lumpia itu, serapan dari bahasa "aparat" berseragam.

Semula, menurut sohibul hikayat yang tak suka jaran itu, para wartawan tak terlalu mempedulikan ketika beberapa aparat yang menangani sebuah kasus, saling mengeluh soal jaran yang kecil. Namun, masih menurut sohibul hikayat, para kuli tinta yang biasa nongkrong di kantor berslogan to serve and to protect jadi penasaran ketika melihat beberapa aparat kegirangan mendapat jaran besar dari kegiatan pengamanan. Padahal tak ada kuda di antara mereka. Dasar wartawan, tak hanya nguping, mereka menilisik. Oh, ternyata Jaran yang dimaksud adalah uang. Bukan gaji.

Dahsyatnya, wartawan tak puas hanya nguping dan menelisik, diserap pula jadi bahasa gaul antar mereka. Sudah? Belum! Beberapa bahkan membuat "jaran fans club". Jadi, jangan heran bila Anda berjalan melewati segerombolan wartawan mendengar "Wah, kemarin saya liputan seminar dapat jaran besar," kemudian ada lagi yang menyahut, "Kalo saya apes, liputan bola hanya dapat jaran separoh". Ada yang tak mau kalah, "Wah, liputan kunjungan kepala ..(censored).. kemarin, saya dinjak-injak jaran, asyik banget". Lhadalah, jangan buru-buru membayangkan ada kuda di tengah podium seminar, atau kuda disembelih untuk dibagi-bagi usai sepak bola, atau wartawan yang merek melem dinjak-injak jaran kayak pijit siatsu. Mereka tengah membicarakan jaran ala aparat. Artinya? Monggo, gunakan imajinasi sampean.

Sebuah Sandek tiba-tiba masuk, ke HP sohibul hikayat. Pesannya, "Anda jadi wartawan tapi tak juga bisa kaya? Jangan ragu, ketik Jaran, titik Reg, kirim ke 86-86".

Nasehat saya, bagi Anda yang suka mengundang wartawan, jangan undang wartawan anggota jaran fans club. Repot, kerena selain harus mengikat jaran, Anda juga bisa terciprat tai jaran. Menjijikan bukan?

--------------------------------------------------

(Tulisan ini terinspirasi obrolan lepas, di sela-sela training pembuatan filem dokumenter untuk jurnalis berapa hari lalu)

Monday, December 1, 2008

Big Problem, Politik Jilid 3

Beberapa waktu lalu, sebuah parpol (Hemm..parpol kok, sebuah), mengundang fasilitasi pengembangan strategi kampanye bagi para kandidat yang akan memperebutkan kursi DPRD Kab, Provinsi dan RI.

Ini undangan kali kedua, setelah beberapa bulan yang lalu meminta fasilitasi design strategi kampanye bagi Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) tingkat Provinsi. Bila saat fasilitasi untuk Bapilu, aura semangat dan optimisme parpol itu tercium tebal, menambal kelemahan mereka soal teknis pengembangan strategi. Maka pada acara yang kedua ini, hanya terlihat samar, seperti embun yang akan segera sirna begitu panas memanggang. Itu masalah pengurus partai, bukan persoalan saya.

Saya lebih tertarik untuk melihat sejauhmana para politisi itu cukup informasi untuk mendapatkan kursi yang mereka idam-idamkan. Semisal, hari yang tersedia hingga Pemilu 2009. Ternyata mereka harus masih mencongak untuk menghitung sisa hari hingga hari H. No problem.

Lanjut. Soal jumlah pemilih di tiap Dapil masing-masing. Perbandingan jenis kelamin, kelompok umur, profesi dan seterusnya. Syukurlah, tak butuh waktu panjang menggu jawaban, mereka tak perlu mengeja atau mencongak karena tak mempunya informasi soal-soal tersebut. No problem.

Memang tugas fasilitator untuk membantu mengurutkan hal-hal tersebut, hingga menjadi gambar peta yang dapat dilongok, bila perlu. Syukurlah, sang ketua Partai punya data relatif komplit untuk Dapil tersebut, walaupun masih dalam bentuk Data Penduduk Potensi Pemilih Pemilu (DP4), hingga basis TPS. Sungguh sayang belum disahare ke suluruh kader. "Takut bocor," katanya. Oalah itu data kan bisa didapat dengan mudah tinggal minta ke KPU. Beres?

Sekarang, sebagai calon pemilih, saya minta para politisi itu menyebutkan kelebihannya, agar saya mencentang ato menusuk nomor-nya saat di bilik pemilih. Hemm... mereka kesulitan. It's big problem!

Wednesday, November 26, 2008

Pusing, politik jilid 2

"Hati-hati nanti dipolitiki." Begitu beberapa orang tua di desa teman saya, memberi peringatan pada anak, kerabat atau tetangganya agar waspada, biar tak ditipu saat berniaga dengan orang yang belum benar-benar familiar.

Mendengar cerita kawan yang berasal dari derah yang terkenal dengan industri batik itu, saya ngakak. Berseloroh, saya bilang politik itu bak pisau. Di tangan orang baik akan dimafaatkan untuk hal-hal yang baik pula. Berada di tangan orang kepepet yang tak punya akal panjang dan hati seluas samudera, akan berubah menjadi alat yang menakutkan.

Seorang teman lain yang tengah kesengsem buku kecil karangan Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, nimbrung berkomentar "Politik adalah alat atau cara mencari dan mepertahankan kekuasaan," ujarnya persis isi buku edisi bajakan yang dibelinya di pasar loak tersebut. Saya manggut-manggut, diam.

"lah, kalau politik itu memang alat, kenapa nggak cari alat yang hanya bisa dipakai untuk kebaikan, bukan sebaliknya?" tanya kawan yang anak juragan batik itu.

"Memang ada?" pancing si pecinta buku bajakan.

"Ada. Ember plastik, alat untuk membawa air. " sekenanya, sambil menggulung sarung batiknya yang mlorot.

"Ember juga bisa jahat. Diisi air mendidih, disiramkan ke kamu," membalas, sekenanya juga.

Saya lupa kesimpulan dari diskusi gayeng ala kusir dokar yang terjadi puluhan tahun itu. Yang saya ingat, setelah itu kami lebih asyik ngobrolin anak kost baru di sebelah yang... ehem.

Tujuh hari yang lalu, saya terlibat obrolan tapi tak lagi soal apa itu politik, juga tak di kost yang kumuh tapi di kafe nan asyik dengan dua orang kawan, yang kali ini, politisi muda. Usia mereka belum lagi lebih dari 35 tahun dengan posisi strategis di partainya. Keduanya mantan aktivis, yang satu dari garis agak ke kiri-kirian yang satunya agak ke kanan kultural, setelah rezim Soeharto tumbang yang satu sempat jadi wartawan satunya pegiat LSM. Walau begitu mereka berada dalam sebuah partai yang sama. Bukan berarti mereka berkawan, keduanya saling berseteru, adu gertak hingga adu massa saat internal partai mereka konflik. Tapi kini keduanya, duduk bersama. Maju dari daerah pemilihan yang sama. Yang satu karena menang di konflik internal dapat nomor urut 1. Sedang yang kalah nomor urut 2. Mereka tampak akur.

Di depan keduanya saya menegaskan "saya bukan politisi". Maka kami gayeng ngobrol, ngalor ngidul soal cara mendapatkan kursi legislatif, sampailah kemudian pada hal yang paling teknis. Soal pendanaan. Mudah. Ada dana awal, bagi saya cukup besar, tapi sangat kecil untuk dana kampanye. Caranya, membuat proposal kegiatan untuk masyarakat sebanyak 5 kali, setiap kegiatan akan mendapatkan pendanaan sebesara Rp (Rahasia ya...) dana tersebut dapat diambil dari dana "perogratif" perangkat pimpinan dewan dengan peruntukan "kegiatan sosial".

Rumusnya, si pimpinan dewan akan memotong sekian persen, kemudian si anu akan memotong sekian persen. Sisa anggaran untuk kegiatan. Nanti dulu, untuk kegiatan juga harus dipotong lagi untuk dana politik, baiya kampanye. "Kalau perlu kegiatannya, dibikn fiktif juga nggak apa-apa," ujar kawan no urut 1.

Saya yang bukan politisi, diminta bantu membuat proposal kegiatan tersebut dan strategi untuk below the line dan above the line. Sampai hari ini belum saya buat, agak bingung karena ini duit rakyat. Pusing!

Karena pusing itulah saya jadi ingat nasehat juragan batik "Hati-hati, nanti dipolitiki." Mungkin bagus untuk dicetak di T shirt, menyaingi T-shirt "Jangan takut Bicara Politik" produksi M Thoriq di era 80-an yang kini juga jadi politisi.

Wednesday, November 19, 2008

Pelajaran Politik 1

Politik itu cenderung memecah, sedang kebudayaan cenderung menyatukan.

Makanya, cukup menggemparkan jagad politik ketika sebuah partai politik menggagas rekonsiliasi dengan membuat iklan pendek berdurasi 15 detik. Bertema Pahlawan dan Guru Bangsa.

Berbagai protes yang diselubungi beragam argumentasi ilmiah hingga sekadar argumentasi ”ah,ah” menyalak bak senjata otomatik menghamburkan peluru dengan sasaran yang tak terlalu ter-presisi dengan baik. No problem, karena dalam politik yang penting adalah menembak. Bukankah politik itu alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan? So, bila Anda tak meletakkan kecurigaan pada setiap sel jaringan tubuh, Anda bukanlah politisi yang “sukses”.

Namun walau tebal dengan rasa curiga, sebagai politisi anda harus dapat duduk berdampingan, makan bersama, bercanda dan tertawa bersama dengan “mitra” politik Anda. Terserah saja walau sebenarnya Anda ingin atau sedang saling menusuk. Secara dlahir maupun dlamir, kasar maupun tersamar.

Begitulah yang diajarkan politik. Kawan bukanlah sahabat. Musuhnya musuh adalah kawan. Anda tak perlu merasa terhubung secara batin untuk dapat bersahabat. Cukup anda ketahui siapakah lawannya, dan apakah kepentigannya. Bila ia memeliki musuh yang sama dengan Anda maka ia layak menjadi teman. Soal kepentingan, bisalah didiskusikan. Tak ada perkawanan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Para politisi mengistilahkannya dengan aliansi taktis. Perkawanan yang selayaknya segera diputus, begitu tujuan sesaat tercapai.

Seorang guru saya di desa, bukan guru bangsa, tak lekang mewanti-wanti para muridnya agar menjauhi wilayah politik praktis. Kekhawatiran yang sering kami anggap sebagai berlebihan, karena bagi kami saat itu politik sangatlah memikat.

Namun kini beberapa diantara kami, mulai muak. Tapi sebagian lainnya, mulai menikmati. Seorang kawan yang termasuk dalam kaun penikmat politik dan mendapatkan kemewahan harta benda dari politik menasehatikan, jangan gunakan hati gunakan saja akal. Dalam politik tak ada baik dan buruk. Yang ada adalah kalah dan menang.

Sang kawan ini juga memberi nasehat ketika terlontar iseng sekalian ingin bertarung dalam partai politik di tempatnya merumput. “Lebih baik jangan, nanti persahabatan kita akan terampas. Kita akan tetap bisa berjalan bersama, tapi tak lagi seiring setulus hati.”

Wednesday, November 12, 2008

Cerita Lama

Gugatan Dua Bintang Kejora

Berontaklah berkali-kali karena hidup hanya sekali!

Orang biasa hidup dan mati sekali.
Pemberontak mati dan hidup berkali-kali.


Sunday, November 9, 2008

Cerita Nonton Laskar Pelangi

Akhirnya nonton Laskar Pelangi. Minggu, pukul 11.30 WIB berangkat dari rumah, untuk pemutaran pukul 12.15. Sampai di depan loket Citra pukul 12.10, antri, tidak dapat tiket. Pindah ke E Plaza, sama, tiket tersedia hanya untuk pemutaran pukul 19-an, full booked. Ogah, langsung balik kanan. Ngurusin hal lain dulu.

Pukul 15.00 balik lagi antri di depan loket Citra. Begitu nyampe depan penjual, tinggal dua kursi, pojok kanan paling depan, nomor 1 dan 2. Alamak, padahal butuh tiga kursi. Bocahku yang melangkah 6 tahun, boleh ikut masuk tanpa perlu beli tiket. Perempuan kawan hidupku yang perutnya telah membuncit, menunggu hari untuk mengejankan generasi baru kami, dari kejauhan, tersenyum, mengangguk.

Dua tiket segera dicetak. Ngirit Rp 20 Ribu, untuk beli jajanan! Gilanya, Citra tak menyediakan kursi tunggu bagi calon penonton. Beberapa orang, bergerombol duduk lesehan di atas karpet penuh debu. Pun kami, bersila memojok, di bawah patung kertas filem kutunggu jandamu, bersama Jupe. Hot! Bocahku nyengir liat dada montok Jupe. Kali ini dia tidak mengucapkan kata favoritnya "hina wahina". Mungkin tahu, kalo bokapnya suka.

Security, tiba-tiba menyuruh seorang calon penonton ke luar dari ruang tunggu karena membawa minuman yang dibelinya dari luar area 21-an itu. Perempuan kawan hidupku, mengernyitkan dahi dan cemberut melihat itu. Aku bereaksi menenangkan, "Satpam, menjalankan tugas, kalo diprotes kasihan, nggak paham apa-apa".

Tibalah saatnya menonton. Ini kali pertama bagi bocahku ke bioskop. "Yah, gambarnya lebih besar dari TV!," celetuknya, saat filem mulai diputar. Aku menahan tawa, plus tersenyum kecut, membayangkan cibiran penonton yang mendengar celetukan lugu itu. Untung ruangan gelap.

Duduk paling depan, pojok kanan, membuat filem terlihat unik. Gambar sebelah kanan terlihat lebih besar dan tinggi. Nggak apa-apa, yang penting bocahku bisa belajar soal semangat anak-anak Belitong. Agar lebih nyaman, kubiarkan bocahku duduk di kursi, aku pilih lesehan, seperti nonton misbar.

Jadi teringat pengalaman nonton bioskop di Rembang awal 1980-an, waktu itu aku juga masih bocah, sedikit lebih tua dari bocahku sekarang. Filem laga. Juga dapat tempat paling depan, jongkok bersama penonton lainnya yang berjubel. Saat adegan tarung, semua berteriak-teriak memberi semangat, bertepuk tangan agar sang jagoan menang. Ketika sang-antagonis menang, teriakan menghujat bersahutan terlontarkan. Seru!

Pengalaman "partisipasi" penonton yang spontan itu, masih sering saya rasakan ketika beranjak remaja. Namun syaratnya harus di bisokop-bisokop daerah pinggiran. Untuk penonton bioskop kota, hal itu dianggap sebagai urakan, tak beradab, uncivilized.

"Yah, filemnya kok, nggak selesai-selesai," bocahku nyeletuk. Ups, aku kembali tersenyum kecut ia tak jenak, beberapakali menghadap ke belakang, lebih tertarik melihat proyektor yang memancarkan gambar yang lebih besar daripada teve di rumah. Ibunya sigap menerangkan, sambil berbisik-bisik takut mengganggu penonton lainnya, yang tentunya jauh lebih civilized dibanding aku dan bocahku. Akhirnya, ia tercenung ketika adegan Lintang yang tak kembali ke sekolah karena ayahnya, tewas saat melaut. Dahsyat, bocahku nangkep adegan itu. Aku pun, sempat menitikkan air mata. Cuma dikit.

Tirai pintu keluar dibuka, menganggu, lagi-lagi security. Padahal filem belum benar-benar usia. Penonton bertahan duduk, memastikan filem benar-benar selesai. Mereka baru beranjak ketika "teve besar" itu memunculkan kutipan “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” Pasal 31 ayat 1 UU 45 .

Filem yang bagus. Memang tak bisa dibanding-bandingkan dengan bukunya. Dua media yang berbeda, tak fair bila itu dilakukan. Selera tak bisa diperdebatkan. Semoga, saling melengkapi.

Bagiku laskar pelangi membantu mengingat kembali madrasah kayu kami di desa yang kini telah berganti tembok, bayangan temen-teman kecilku yang mengenakan peci bulukan, buku tulis cap banteng, potlot yang memendek karena sering diserut, plastik warna hitam sebagi tas kebanggan, kaki-kaki berkapal tebal tanpa sandal dan sepatu, dan minyak goreng, untuk merapikan rambut. Sekarang? Jangan, minyak goreng mahal!

Friday, November 7, 2008

Obama, Harapan dan Kekecewaan

Saya termasuk orang yang bersuka saat Obama terpilih sebagai Presiden AS. Bahkan jauh-jauh hari saking kesengsemnya dengan strategi kampanye Obama, saat terdampar di Bandung, saya sempatkan membeli Majalah Rolling Stone yang bercover Obama tersenyum menunjukkan giginya yang putih rapi. Bagi saya majalah musik franchise itu tak menarik karena musik tak perlu diulas, cukup dinikmati. Gambar Obama-lah yang mendorong saya membeli majalah itu.

Cuma, saat melihat Obama menang, kemarin, saya mulai melihat banyak pintu kekecewaan yang telah dibuka oleh para pemilihnya di AS, pendukung dan fans-nya dari berbagai penjuru Dunia, termasuk Indonesia. Hidup ini tak selalu ramah pada harapan. Semakin banyak berharap, semakin banyak kekecewaan yang akan Anda tunai.

Apalagi bagi Anda yang selama ini meletakan harapan sebagai reaksi atas situasi yang tak Anda sukai karena faktor eksternal yang sebenarnya telah mampu Anda prediksi, namun tak mempersiapkan antisipiasi sehingga saat datang tak mampu mengendalikan.

Bila Anda meletakkan harapan pada posisi semacam itu, sebaiknya Anda bersiap-siap untuk kecewa. Atau kalau tidak, lebih baik jadi kaum pragmatis, mencoba "beradaptasi"dengan situasi yang tak menyenangkan tersebut. Berlakulah seperti ketika Anda mencium bau tak sedap di toilet, pada saat perut melilit harus buang air besar. Lama-lama hidung Anda yang sensitif bereaksi, menerima dengan ikhlas bau tak sedap itu, bahkan Anda juga rela berlama-lama di dalamnya sambil berkhayal, membaca koran atau bikin buku puisi.

Saran saya, bagi Anda penggemar Obama yang meletakkan harapan pada posisi semacam itu, segeralah mencari stiker wajah Obama dan menempelkan di tembok kakus Anda.

Harapan Anda tak laik digantungkan pada pundak orang lain, padahal pundak Anda kosong. Hemm... benar! Memang kalau itu yang Anda pikirkan, maka sesungguhnya Anda tak memiliki pundak, karena itu selalu mencari pundak orang lain untuk apa yang Anda inginkan dan mencercanya begitu pundak mereka tak mampu menopang harapan Anda.

Monday, November 3, 2008

Iseng

Satu-satunya yang kekal di Dunia ini hanyalah perubahan. Scientist berujar "Perubahan adalah hukum alam". Para Paderi menyebutnya sunnatullah, ketentuan sang kreator alam semesta.

Soal apa itu hukum alam atawa sunnatullah, Kyai Newton memberi contoh gamblang dengan hukum gravitasi; Suatu benda selalu bergerak jatuh ke bawah. Kyai Fadloli, guru madrasah saya saat kanak-kanak, memberi contoh yang tak kalah nyata. Kalau tidak makan sehari penuh, akan lapar. Saya menyebutnya hukum midafas; miskin dan fakir sekali.

Seorang motivator ulung pernah berujar, bila Anda ingin sukses, jangan pernah menentang hukum alam. Bila tak percaya, cobalah angkat ketel yang tengah menahan air mendidih di atas kompor yang masih menyala tanpa menggunakan pelapis tangan. Sang motivator yang botak tapi mempesona itu melanjutkan, "Kekayaan adalah hasil kerja keras, karena itu jangan berharap kaya bila malas, karena begitulah hukum alam". Simpulnya sambil tersenyum ala orang kaya.

Saya yang termasuk kategori pemalas, mengangguk-angguk. Tapi sebagai pemalas sejati, otak saya beberapa hari kemudian mulai menggeliat, menggugat statement sang motivator. Tapi dasar otak pemalas, cuma menggugat saja kerjaanya. Ogah merumuskan gugatan terhadap statement sang motivator. Yang jelas si otak itu mencoba meyakinkan saya bahwa tanpa kerja keras juga bisa kaya. Caranya? Si otak belum memberi tahu jawabanya.

Dampaknya, mulailah otak itu bergerilya, mulai menyerang dari pinggir. Bila perubahan itu hukum alam, sunnatullah, ketentuan sang kreator kenapa zaman yang telah sangat berubah berbanding ratusan tahun yang lalu, tetap dikendalikan dengan nilai-nilai yang "diwahyukan" saat mobil belum ada, pesawat belum dikhayalkan, minyak belum disemprotkan?

Jangan-jangan, perubahan itu godaan. Seperti setan yang menggoda Adam dan Hawa?

Note :
Ini belum selesai, tapi karena otak saya sedang malas, akan dilanjutkan dan diubah alur pikirnya kalau si otak mau dan sempat.

Tuesday, October 21, 2008

Jelata sepi perindu kata

Kawan,
Sudah. Sudah lama. Jemari-jemari ini tak menari mengkuti irama nada papan elektrik bersimbol abjad, angka, tanda baca dan penanda bilangan.

Kawan,
Bagi jelata, sepertiku, menikmati temaram sore bersama sepoi angin, memandang langit yang berganti warna, mendengar serangga mengerik hingga langit menghitam jelaga adalah papan maya yang lebih memikat. Dan, terjangkau.

Kawan,
Rindu. Telah kubunuh ia dengan peluru waktu. Memang ia mencoba kabur seperti engkau yang terus belari, menghindari hunjaman sepi.

Kawan,
Kan tiba saatnya koma pudar menjelma kata, mencari arti. Tapi, saat ini, biarlah sepi dan kosong yang mengisi.

Wednesday, August 13, 2008

Koma

Dalam, menulis, saya paling suka menggunakan tanda koma. Beberapa kawan protes, menganggap letak koma saya sering tak tepat pada tempatnya. Saya cuek, terlanjur cinta dengan tanda koma.

Saya juga suka teater koma. Semua ulasan tentang penampilan lakon teater koma saya baca penuh hasrat. Sayang saya tak pernah sempat menonton pertunjukan langsung teater koma. Karena di tempat saya tinggal, teater tersebut tak pernah mampir pentas, untuk menyisihkan waktu dan uang untuk nonton ke kota di mana teater koma pentas, hanya akan membuat dompet saya yang tebal dengan kertas catatan karut marut, koma.

Beberapa kali, tak sering, saya hadir di sisi orang-orang dekat saya yang koma. Heran, saat menyaksikan "ke-komaan" saya seperti es batu dalam lemari es, dingin membeku. Hanya mata saya penasaran, mencari-cari di mana gerangan malaikat yang tengah menjalankan tugasnya mengubah tanda koma menjadi titik itu, berdiri dalam ruangan bersama kami. Saya masih terus penasaran, Empat hari yang lalu, saat simbah yang diberkahi umur panjang, 84 tahun, tengah koma saya juga tak melihat mahluk itu.

Aku begitu cinta koma, karena ia adalah misteri, Bukan seperti titik. Titik itu menghabisi, sedang koma, menantang. Tapi banyak kawanku, lebih suka titik. Lebih gamblang, menurut mereka. Tegas dan tuntas. Mereka, bisa jadi, benar.

Dan kini, blog ku, tengah koma karena aku sedang sibuk berhadapan dengan titik. Mungkin esok saat titik-titik itu, telah dapat berdamai dengan koma, aku kan kembali mengeja kata di blog ku ini.

Karena itu, woconan, mohon koma, sesaat,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Sunday, July 6, 2008

Dagang Sekolah*

Era perdagangan bebas, ternyata tak cukup dimaknai sebagai tak ada sekat Negara dalam berdagang, tapi apapun bisa diperdagangkan Tidak percaya? Datanglah ke Semarang.

Di Ibu Kota Jawa Tengah yang konon menggratiskan biaya pendidikan ini, kini sedang demam dagang bangku sekolah. Harganya, tidak mahal, untuk masuk SMP lewat jalur khusus, cuma perlu membayar Rp 6 Juta hingga Rp 20 Juta, lebih murah dibandingkan membangun gedung sekolah sendiri. Oh, maaf. Bukan membayar, tapi menyumbang.

Guru-guru sekolah di Semarang, pada era perdagangan bebas ini juga kian kreatif menciptakan rumus. Sebuah SMP membuat rumus (X+Y): 2. X adalah skor besarnya sumbangan dan Y skor nilai UASBN. Sumbangan Rp 10 Juta ke atas diberi skor 100, Rp 9,5 Juta skornya 95. Semakin kecil sumbangan semakin kecil nilai X. Sedang Y adalah hasil UASBN. Nilai UASBN 27.01-30 diberi skor 100. Sedang 25.01-27.00 skornya 90, semakin kecil nilai Y semakin kecil pula skor Y. Tidak perlu mengerutkan kening untuk memaknai rumus tersebut.

Pepatah lama mengatakan, “Orang bodoh membuat hal-hal yang mudah menjadi sulit. Sedang orang pandai membuat hal-hal yang sulit menjadi mudah”. Rumus ala para guru hebat itu, semakin meneguhkan kepandaian mereka membuat hal-hal mudah menjadi sulit. Padahal sederhana saja, semakin kecil sumbangan semakin kecil kesempatan masuk sekolah tersebut.

Jadi, kalau mau sekolah pandailah dahulu. Atau kalau tidak, kayalah dahulu. Lebih bagus lagi kalau kaya dan cerdas. Kalau tak cerdas dan kere pula. Maaf, lebih baik jangan sekolah, hanya akan merepotkan para guru dan pengelola sekolah.

Mandat bahwa sekolah seharusnya mendidik, memberdayakan kaum papa dan bodoh sehingga mampu setara, sejajar dengan warga lainnya harus segera dikuburkan. Tak cukup relevan di jaman yang menghitung segala sesuatunya dengan logika dagang ini.

Logika yang menghubung-hubungkan antara harga dengan kwalitas. Antara permintaan dan ketersediaan serta mengambil keuntungan atas situsi tersebut, dengan embel-embel, peningkatan mutu pendidikan.

Sekolah memang membutuhkan biaya untuk fasilitas pendukung proses belajar mengajar sehingga berkwalitas. Tidak ada yang menolak hal itu. Namun itu bukan berarti mengabsahkan cara-cara penggalian dana yang jauh dari nilai-nilai pendidikan itu sendiri, menjadikan ilmu dan sekolah sebagai komoditas, barang dagangan.. Ilmu untuk semua, menjadi ilmu hanya untuk yang cerdas dan kaya.

Dalam hal pendidikan, subsisidi pemerintah mutlak diperlukan. Kalau pemerintah bilang gratis, seharusnya konsekwen dengan hal tersebut serta memberikan informasi yang utuh pada setiap warga. Jangan muter-muter seperti para pedagang jasa operator telepon yang selalu menyembunyikan kalimat yang tertulis kecil-kecil “ketentuan dan syarat berlaku”.

Penarikan sumbangan terhadap orang tua siswa dapat saja dijalankan, dalam kerangka partisipasi, namun harus dengan aturan yang jelas dan monitoring yang ketat agar tak mencederai norma kewajaran dan keadilan yang mencoreng wajah dunia pendidikan.

Pak Wali, pengusaha ya pengusaha, tapi mbok ya, jangan menjadikan ilmu jadi komoditas. Bisa kuwalat.


*(Tulisan ini diterbitkan Koran Tempo 03/07/2008, di kolom Angkringan dengan editan redaktur yang lebih "baik")

Sunday, June 15, 2008

Lelaki Keras Itu

Lelaki yang rambutnya mulai terkikis habis itu terbaring di atas kasur akibat luka menganga di telapak kaki kirinya. Air matanya sesekali bergulir melewati pipi yang keriput, membuka tabir bahwa ia coba menyembunyikan rasa ngilu yang mendera. Lantunan lirih nama Sang Pencipta yang Maha Pengasih keluar dari mulutnya.

Tiga tahun yang lalu Tiga jemari kaki kananya dipotong di meja bedah dokter, namun tak juga membaik. Karena itu begitu kaki kirinya mulai luka akibat “gula” yang terus merecokinya, ia bersikukuh menolak saran dokter untuk kembali merelakan kakinya dipotong.

“Tiga tahun lalu saya percaya dokter, saya telah ikuti saran itu, tapi tak lebih baik,” ujarnya soal keengganan mengikuti petunjuk dokter. Apalagi, menurutnya, saat menyarankan untuk kembali memotong bagian tubuhnya itu sang dokter, lebih banyak menakut-nakuti daripada memberi informasi yang lengkap.

Lelaki itu menolak. Ia adalah lelaki keras hati yang pantang mendapatkan teror. Baginya hidup yang lebih menakutkan dari masa kecil hingga kini tergeletak lemah telah dilaluinya. Bayangan buruk ancaman adalah hidupnya. Masa remaja, ia pernah mashur dengan panggilan Macan karena membekuk lima orang pencuri sekaligus hanya dengan gertakan.

Ia lelaki yang pertama kali keluar kampungnya untuk belajar di perguruan tinggi. Saat pulang ia tak hanya membawa gelar sarjana tapi juga membawa seorang istri dengan tiga bocah kecil yang kini telah memberikan beberapa ”cucu” dan ”cicit” yang membanggakan.

Ia lelaki asing yang membangun sekolah di sebuah desa di tepi kali Pleret, Bantul hingga namanya masuk dalam daftar orang yang harus dibunuh saat PKI begitu kuat. Ia berontak, memobilisasi massa bergaya dengan kedigdayaan mudanya, pamer menaiki kayu beranak tangga pedang menganga, memecahkan kelapa dengan batok kepalanya.

Ia lelaki yang tak gentar untuk dikucilkan karena yakin dengan apa yang dijalaninya. Ia lelaki yang dijebloskan aparat berseragam ke kamar sempit seusai berceramah. Ia lelaki yang menghentikan laju motornya saat gerombolan pemuda mabuk berteriak padanya.

Ia lelaki yang selalu duduk di baris depan forum-forum diskusi saat yang lain memilih duduk di belakang. Ia lelaki yang menggantungkan mimpinya di atas kemampuan mimpinya, mimpi orang-orang yang dikasihinya.

Ia lelaki yang mengajari seorang bocah dengan mengajaknya pergi ke kota-kota yang disingahinya dengan bus, angkot, bemo, opelet, kereta api, kapal laut dan berjalan kaki saat panas kerontang, menggandengnya penuh sayang, meletakkan kepala bocah itu dipangkuanya saat mual mendera dan menggendongnya saat benar-benar lelah.

Ia lelaki yang mengarahkan telunjuknya ke sebuah lembaga pendidikan tinggi sambil berujar kelak bocah itu akan belajar di situ, namun bocah itu tak mewujudkanya. Ia lelaki keras yang senang bercanda dengan bocah itu seolah pemain gulat profesional atau petinju sambil tertawa, saat memeluk dan melontarkan jab-jabnya. Mereka tertawa bersama. Ia lelaki keras dan bocah itu pun keras, hingga mereka tak lagi berbagi sapa hangat untuk waktu yang lama.

Dan kini bocah yang telah menjelma lelaki dewasa itu, hanya dapat bersimpuh tak berdaya, menyembunyikan air mata agar tak terlihat oleh lelaki yang tetap saja keras di usia senja itu.

Untung ia masih ingat sebuah doa yang diajarkan lelaki tua itu saat ia bocah. Terbata-bata dilantunkanya sambil mendukkan muka, meyembunyikan air mata. "Rabbi ighfirli waliwalidayya, warhamhuma kama robbayani soghiro".

"Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaiamana mereka menyayangiku saat aku kecil". Amin...

Sunday, June 8, 2008

Jenggot

Konon katanya Mabes Polri sempat salah tangkap warga saat menggrebek markas FPI, beberapa waktu lalu. Polisi bersikeras warga yang ditangkap tersebut adalah anggota FPI karena ber-jenggot. Setelah sempat menginap di belik jeruji besi, warga tersebut akhirnya dilepas karena terbukti bukan anggota FPI. Naas benar nasibnya, gara-gara jenggot harus menikmati jeruji besi.

Mendengar cerita yang berembel-embel konon katanya itu, saya tersenyum sambil menahan bibir agar tak terbahak-bahak (lawan katanya termehek-mehek). Apalagi si kawan ini, matanya terus memandang jenggot yang menggelantung di dagu saya. Seolah berujar "Cukur deh, jenggot loe daripada jadi korban salah tangkap".

Ngomong-ngomong soal jenggot, saya jadi teringat H Agus Salim, politikus dan diplomat handal pada zaman kemerdekaan. Intelektual otodidak yang memelihara jenggot ini, diledek oleh kaum SI merah saat berpidato pada kongres SI di Semarang. Kaum SI Merah serempak menirukan suara kambing mengembik saat H Agus Salim hendak berpidato. Pria yang suka mengenakan peci buatanya sendiri itu, dengan cerdik menukas "Wah, ternyata banyak kambing yang ikut kongres". Mendapat tohokan yang tak terduga itu, seketika kaum SI merah terdiam. H Agus Salim tersenyum sambil mengelus-ngelus jenggotnya.

Memang mengherankan. Rambut yang tumbuh di dagu itu, bisa menjadi hal sensitif. Ada kaum yang menganggap memelihara jenggot sebagai kewajiban, berdasar interpretasi mereka atas beberapa dalil keagamaan. Beberapa agamawan Islam mengatakan sunah. Tapi soal memelihara jenggot atau berewok, bukan hanya agama Islam. Para Rabi Yahudi semuanya berjenggot. Bahkan kaum Amish, salah satu sekte kristen, di Amerika Serikat melarang kaum lelakinya menyukur jenggot.

Makanya, saya sempat bingung ketika ada kawan aktivis NGO yang hendak belajar ke Amerika sampai-sampai secara khusus ke salon untuk memastikan janggutnya benar-benar klimis, tanpa satu helai rambutpun sebelum pengambilan foto untuk pasport. Dia takut kalau di dagunya yang indah itu tumbuh jenggot dikira teroris dan dilarang masuk Amrik, apalagi namanya agak berbau-bau Arab. Kawan ini ternyata pemerhati filem-filem pabrikan Holywood dan media massa yang selalu menggambarkan teroris berjenggot dengan nama Arab.

Saya teringat beberapa koleksi kaos yang tak lagi muat untuk kupakai bergambar lelaki berjenggot seperti Che Guevara, Karl Marx, Stalin, Ho Chin Min, Fidel Castro dan H Agus Salim. Hemm... otak cerdas saya tiba-tiba membuat sebuh kesimpulan genius, "Kalau mereka bukan teroris, pasti anggota FPI!". Rasanya saya ingin segera lari seperti Arcimides, meneriakan pengambilan kesimpulan yang genius ini.

Cuma kalo sambil telanjang ikut-ikuat Arcimides, bisa-bisa yang diperkarakan bukan hanya soal bulu yang tumbuh di dagu saya.

Jogja, 8 Juni 08

Sunday, May 25, 2008

WPS Sumber Kebohongan

WPS Sumber kebohongan. Yang dimaksud dengan WPS adalah Wanita Penjaja Seks. Andaikan pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang awam, cukuplah wajar, walau belum tentu benar.

Namun kalau yang mengucapkan itu seseorang yang bekerja untuk program kesehatan masyarakat yang banyak bersentuhan dengan para WPS, sungguh sebuah ironi!

Ya, ironi! Pernyataan semacam itu menujukkan bahwa WPS yang karena posisinya rentan tertular dan menularkan HIV telah dikomodifikasi dalam proyek yang diberi embel-embel kesehatan masyarakat yang mendatangkan dana besar untuk para pekerja proyek sosial itu.

Memang kita harus hati-hati memaknai pernyataan "beliau" soal WPS adalah sumber kebohongan agar tak kehilangan konteks. Pernyataan master public health itu terkait dengan informasi penggunaan kondom yang disampaikan oleh WPS. Bisa jadi memang WPS berbohong, saat bilang selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan hidung belang untuk mencegah penularan HIV. Tapi itu bukan berarti WPS adalah sumber kebohongan.

Pernyataan ”WPS adalah sumber kebohongan”. Meneguhkan asumsi bahwa kawan-kawan WPS selama ini hanya dianggap sebagai obyek dan komoditas para pekerja LSM dan lembaga broker.

Lantas, apa beda para pekerja LSM dan lembaga broker itu dibanding dengan hidung belang dan mucikari bila cara pandang mereka terhadap WPS sama? Sama-sama memposisikannya sebagai obyek dan komoditas.

Pernyataan bahwa WPS adalah sumber kebohongan hanya layak dilontarkan oleh hidung belang yang kecewa karena layanan yang didapatkan tak sesuai dengan yang diinginkan.

Aku berharap pernyataan ”beliau” di hadapan puluhan pekerja LSM itu adalah akibat selip lidah. Aku menduga para aktivis HIV yang mendengarkan ceramahnya malam itu, walau tak terlihat satupun yang memberikan reaksi protes, bukan berarti menyetujui pernyataan nan menyakitkan tersebut.

Oh, Jogja engkau menjadi saksi untuk membuatku kian bertekat untuk tak seiring lagi dengan "beliau". Dan syukurlah, masa itu akan segera datang.

Saturday, May 24, 2008

Jogja Lagi, Moody Lagi

Lama tak menulis karena saya tengah memanjakan teman karibku, si moody, bukan Maudy Kusnaidi pemeran Zaenab di Si Doel Anak Sekolahan. Nah, si moody ini benar-benar ogah menyentuh keyboard, posting tulisan ke blog. Bosen. Ya udah, aku ikut aja walau sebenarnya ada banyak hal yang menarik untuk ditulis, hemm tapi nanti aja deh, begitu selalu si moody berbisik begitu saya siap menuliskan cerita di depan laptop pinjaman kantor yang sebentar lagi harus aku kembalikan, aku pasrah dengan bujukan moody begitu saja.


Tapi pagi ini, sepertinya moody sedang baik hati. "Eh, nulis dong" bisikinya. Maka sambil nunggu air bathtub penuh, di atas kasur yang masih berantakan saya menulis, dengan beberapa kali terhenti karena BAB, ritual pagi yang tidak bisa membuat saya bener-benar sigap di pagi hari karena bisa lebih dari dua kali. Jadi, bukanya menikmati udara pagi, tapi aroma “hajatan”.

Nggak tahu juga kenapa tiba-tiba mood pengen nulis. Mungkin karena energi Jogja. Ya, lagi-lagi saya terlempar ke kota yang sempat mewarnai hidup saya ini. Berbeda dengan kawan-kawan lain saat mengenang Jogja dengan beragam aktivitasnya terkait dengan masa-masa kuliah. Bagi saya, Jogja adalah Widya Wiwaha, Sobo Harsono, Perpustakaan lawas di Maliobor, Lapak-lapak buku Shoping dan tentunya juga Sego kucingan di sekitar Sarkem. Saya di Jogja ndak kuliah, tapi diuntungkan dengan tarif bus kotanya yang sensitive kantong anak kuliah, pada era itu, cukup nyangking buku agar hanya membayar 50% biaya naik bus ketika menuju tempat favorit saya, Widya Wiwaha, gedung bisokop! Sementara teman satu kamar saya yang kuliah di kedokteran UGM memilih naik sepeda dari Krapyak hingga Sardjito. Saya pun terpaksa beberapa kali juga harus meminjam sepeda teman untuk ke Perpus di Malioboro, saat kiriman wesel tak juga datang.

Saat terdampar di Jakarta sebulan sekali saya harus "pulang" ke Jogja walau uang mepet. Bayar di atas, tarif kongkalikong Rp 10 Ribu sampai Cirebon dan 10 Ribu lagi dari Cirebon hingga Jogja. Tempat duduk favorit yang segar plus aroma toilet, di bordes. Begitu sampai statiun Tugu, Jogja masih lengang. Naik becak atau jalan kaki menyusuri Malioboro tidur di losmen murahan di kawasan Sosrowijayan bila punya uang dan kembali lagi ke Jakarta esok hari dengan membawa koran untuk duduk di bordes kereta, cukup Rp 20 Ribu!

Kali ini untuk ke sekian kali aku ke Jogja lagi, cuma tak sekalipun pernah benar-benar dapat menikmati Jogja, terjebak di Hotel dari pagi hingga petang, lelah untuk bisa menulusuri peta ingatan Jogja di masa laluku.

Yang sedikit menghibur walau terjebak di Hotel dan hanya mencium udara Jogja, adalah melihat sekumpulan orang yang ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan, wuih....

Wednesday, April 23, 2008

Oh, Netral...

Netralitas. Aku tak tahu kenapa kosa kata semacam itu muncul dalam kehidupan dan setia mengikuti peradaban yang terus berjalan.

Kata yang sering dimaknai sebagai sikap tidak memihak dalam pikir dan perilaku itu menjadi tembok teguh dunia kampus di masa lalu dan kini. Menjadi tameng bagi para cerdik cendekia ketika membedah persoalan yang ada di depannya bak malaikat yang dapat mengambil jarak ruang dan waktu.

Tak henti-henti kata-kata absurd itu terus diproduksi, reproduksi dan dicekokan ke dalam kepala para maha murid di kelas-kelas yang dikontrol ketat oleh sistem quality control yang nyaris sempurna! Maka, perguruan tinggi yang berisi banyak orang pintar itu menjelma menjadi menara gading.

Untung kemudian datang badai yang meretakkan menara gading itu sehingga para malaikat gadungan itu mulai melongok, mencium dan menyentuh persoalan yang selama ini mereka perbincangkan di ruang hampa. Namun seiring waktu menara itu mulai dibangun kembali, derajat ala malaikat terlalu berharga untuk dicampakkan. Jubah-jubah keagungan yang disulam dengan benang-benang netralitas mulai kembali dikenakan. Itu soal pilihan, tidak mengapa bila memang bisa.

Ironisnya, beberapa penghuni menara gading yang memasang tulisan besar-besar netralitas di jubah mereka itu menjalankan beragam proyek dari para kaum yang tak netral, terlibat di dalamnya sepenuh hati sebagaimana kantong mereka yang penuh, namun tetap mengenakan jubah itu. Sepertinya jubah netralitas adalah jubah ala Hary Potter yang bisa jadi tameng sekaligus tempat bersembunyi.

Jubah netralitas tak hanya menjadi trend para penghuni menara gading. Netralitas yang diusung oleh kaum positivistik itu menggoda banyak pihak karena juga dapat dijadikan tameng untuk mengelak. Maka beberapa jurnalis, beberapa aktivis LSM, bahkan beberapa tokoh agama, dan juga politisi tak jarang berujar ”kami netral”. Sugguh absurd!

Karena absurdnya, saat menulis ini, tiba-tiba saya merasa seperti terlempar dalam sebuah mobil balap dengan sopir yang sangat jago tapi dengan mudah puluhan angkot menyalip kami begitu saja. Bahkan beberapa tukang becak membunyikan bel berkali-kali sambil mengumpat. Saya melirik sang pembalap di samping saya, wajahnya tenang penuh percaya diri. Mesin mobil kami telah dari tadi menyala. Begitu saya melirik ke samping kursi, alamak... ternyata persneling gigi pada posisi netral!

Kalo boleh melakukan tafsir mbeling, maka saya akan bilang bahwa netral adalah selemah-lemahnya iman. Lebih hina lagi orang yang mendeklarasikan dirinya netral tapi terdapa sebiji dzarah ketidaknetralan dalam hatinya. Dan hanya orang-orang naif yang terbuai oleh paham netral (Kayak dua kelompok grup musik ya? Hehehe...).

Atau dalam bahasa yang lebih santun, baju netral hanyalah milik malaikat dan orang gila yang tak memiliki pretensi. Sebagai manusia normal kita sungguh tak laik netral, kecuali memang kita tak ingin bergerak dan menggerakkan apapun.

Hemm, saatnya keluar dari mobil yang tak juga melaju karena porsnelinggnya tetap netral.

Monday, April 14, 2008

Andaikan Syarat Nabi Lulus S1

Sekolah, termasuk perguruan tinggi, bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan hidup. Apalagi bila yang diselenggarakan oleh sekolah bukan proses pendidikan, tapi indoktrinasi dan pembodohan sistematis yang menajiskan imajinasi, kreativitas dan keberanian menyatakan perbedaan pendapat. Sekolah dan universitas tanpa pendidikan semacam itu, sejauh ini hanya berhasil meningkatkan jumlah orang bertitel tinggi, kasta baru yang arogan dan egois.

Berikut saya kutipkan catatan Andrias Harefa tentang orang-orang yang sukses tanpa mengandalkan gelar akademik.

John Major, drop out SMA, tapi menjabat Perdana Menteri Inggris menggantikan Margaret Thatcher. Pernah mendengar Bank of America? Pendirinya, Amadeo Peter Giannini tak pernah menyelesaikan SMA-nya. Dale Carnegie, pelopor di bidang pelatihan dan pengembangan manusia di awal abad 20, tak menyelesaikan sekolah gurunya di Missouri, Amerika Serikat. Thomas Alfa Edison hanya 3 bulan sekolah seumur hidupnya, namun lebih dari 3.000 penemuan dicatat atas namanya atau atas nama orang-orang yang bekerja dengannya. Sementara Kenji Eno drop out dari SMA, namun disebut-sebut sebagai Bintang versi Asia Week dan dianggap sebagai dewa industri game.

Anthony Robbins hanya tamat SMA dan memulai kariernya sebagai jongos kantor (janitor). Namun dalam waktu satu dekade ia berhasil menjadi praktisi konsep Neuro-Linguistic Programming (NLP), bahkan merevisinya menjadi Neuro-Associative Conditioning (NAC). Dari pemuda miskin dan sakit-sakitan, Robins berhasil menjadi penulis buku laris Unlimited Power dan Awaken The Giant Within. Ia dipuji para profesor psikologi sebagai motivator yang handal dan menjadi salah seorang penasihat Presiden Bill Clinton. Honor bicaranya --US$ 75.000 sekali tampil (kurang lebih 3 jam)-- melampaui Dr. Stephen R. Covey, John Gray, dan Michael Hansen.

Susi Pudjiastuti drop out SMAN I Yogyakarta, tapi mampu menjadi eksportir ikan, udang, lobter, dan hewan laut lainnya ke Singapura, Hong Kong, dan Jepang, yang tak goyah diterpa badai krisis. Kusnadi hanya tamat SMA di Semarang, namun menjadi eksportir tenun ikat Bali yang memasok pakaian ke 1.650 butik terkemuka di Amerika dan Kanada. Hartono Setyo hanya sampai SMP, tapi mampu melanjutkan kepemimpinan Bambang Setijo, kakaknya, di beberapa perusahaan kelompok PT Sari Warna Asli Group, calon konglomerat baru di awal milenium ketiga.

Adam Malik, pernah Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden Indonesia cuma mengecap sekolah sampai kelas 5 SD. Andrie Wongso tidak tamat SD, arek Malang ini pernah melata sebagai kuli toko, guru kungfu, dan bintang film kungfu di Taiwan sebelum jadi juragan kata-kata mutiara (kartu-kartu merek Harvest) dan mendirikan perusahaan MLM Forever Young, serta menyunting seorang Sarjana Hukum. Alim Markus, meninggalkan bangku SMP dan mampu mengembangkan Grup Maspion menjadi salah satu usaha yang terkemuka di Jawa Timur. Dalam kelompok bisnisnya tercatat lebih dari 40 pabrik yang menyerap sekitar 20.000 tenaga kerja.

Markus F. Parmadi, berhasil mencapai posisi tertinggi sebagai Presiden Direktur Bank Lippo. Padahal pendidikannya putus di tengah jalan, ia drop out tingkat dua dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Bob Sadino tak pernah kuliah di perguruan tinggi, tapi sering diundang untuk menguliahi mahasiswa di banyak kota, termasuk para calon dan sarjana-sarjana pertanian. Dan tanyakan pada Sukyatno Nugroho, sekolah mana yang membuatnya mampu mengembangkan Es Teller 77 Juara Indonesia dengan sistem franchise? Atau apa gelar Willy Sidharta yang membuatnya bertahan memimpin PT Aqua Golden Mississippi? Lalu, Abrian Natan, Direktur Eksekutif CNI yang fasih berbicara di muka publik itu, mengapa tak merasa perlu menyelesaikan pendidikan tinggi?

Masih perlu nama lain? Ok, Anda tahu Ajip Rosidi, Dahlan Iskan dan Goenawan Mohamad? Cobalah tanyakan kepada mereka gelar akademik apa yang mereka sandang. Masih banyak contoh, tapi cukuplah.

Jadi, sangat menggelikan ketika nanti benar-benar ditetapkan salah satu syarat bagi calon Presiden RI harus berijazah S1. Lha, Tuhan aja tidak mensyaratkan calon nabi-NYA berijazah S1. Kalo iya, pasti Muhammad tak akan lolos jadi nabi karena ia seorang ummi atawa buta huruf.

Wednesday, April 9, 2008

Pendidikan Dibajak!

Pendidikan telah dibajak! Akibatnya proses kemanusian yang dulu menyenangkan itu, jadi memuakkan. Celakanya, kita tak sadar dan rela saja diperas habis-habisan oleh para pembajak yang bersembunyi di balik sekolah dan berbagai perguruan tinggi itu.

Kita menuhankan sekolah dan berbagai embel-embel akademiknya sebagai satu-satunya syarat kesuksesan. Tanpa sadar bahwa sistem yang dikembangkan tersebut telah menjadi mesin pemeras uang dan penghempas harapan yang kejam.

Bagaimana tidak? Bagi mereka yang beruntung dikaruniai otak nan cerdas dapat melanjutkan sekolah setinggi apapun yang diinginkanya. Bahkan pemerintah dan berbagai perusahaan akan berlomba memberikan beasiswa.

Yang tak terlalu cerdas namun kaya, juga dapat melanjutkan dan meneruskan sekolah dimanapun dan setinggi apapun yang diinginkanya karena membayar biaya ”pendidikan” nan gila adalah hal yang sepele.

Pertanyaannya sekarang, ”Bagaimana dengan yang terlahir tak cerdas dan bukan dari keluarga nan kaya, tidak berhak kah, mereka mendapatkan pendidikan?”

Jawabanya bisa jadi begini, kalo soal pendidikan tetaplah berhak. Tapi kalo sekolah mungkin tidak. Kalau tetap pengen sekolah, bisa cari yang murah tapi soal kwalitas ya, jangan dibandingkan dengan yang bayar mahal. Kwalitas berbanding harga, prinsip bisnis yang berlaku. Prinsip pendidikan yang bertujuan memberdayakan mereka yang paling lemah hanya berlaku di jaman batu, nggak berlaku, di jaman industri seperti sekarang ini.

Komodifikasi! Pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang seharusnya merupakan hak setiap manusia telah dibajak oleh ”sekelompok orang” dijadikan komoditas. Sehingga urusanya bukan lagi soal kearifan, tapi soal uang, untung dan rugi.

Tapi mau gimana lagi, jaman sekarang, kalau mau sukses ya, harus punya gelar. Dan untuk dapat gelar ya, harus sekolah setinggi mungkin. Soal biaya, bisa hutang dulu, jual sawah, sapi, dan kalau perlu jual diri. Nanti akan dapat gantinya kalau sudah bekerja.

Nah, baru mau daftar aja Anda sudah berpikir ala dagang. Bagaimana nanti bila telah bekerja ternyata honor "normal" Anda tak sebanding dengan biaya yang Anda keluarkan saat sekolah?

Monday, April 7, 2008

Tak Ada Murid

"Dalam kelas ini, tidak ada murid, semua orang adalah guru". Begitu selalu seorang kawan berujar saat akan memulai memandu proses belajar bagi orang dewasa.

Saat saya menanyakan maksud dari pernyataan yang selalu diulang setiap fasilitasi itu, sang kawan menerangkan bahwa proses belajar mengajar tak selayaknya datang dari satu arah, tapi harus timbal balik, sehingga informasi yang dibagikan adalah informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh seluruh orang yang terlibat dalam proses belajar bersama tersebut. "Untuk itu pula maka, prakarsa belajar harus tumbuh dari tiap peserta, bukan dari yang lain," ujarnya.

Kalau yang dimaksud dengan ujaran sang kawan adalah semacam itu, rasanya penggunaan kata murid pada kalimat "Dalam kelas ini, tidak ada murid, semuanya adalah guru," terasa janggal karena kata murid adalah serapan bahasa Arab dari kata dasar arada yang artinya menghendaki atau berkehendak.

Kata murid, dalam tata bahasa Arab dikenal sebagai bentuk Fa'il, subyek, yang berarti orang yang berkehendak atau memiliki kehendak.

Tiba-tiba saya teringat cerita seorang mucikari dari sebuh lokalisasi di Jateng yang mewajibkan Wanita Penjaja Seks (WPS) dan para lelaki hidung belang yang ngamar untuk mengenakan kondom agar tidak terifeksi HIV. "Kalu ada yang bandel atau menolak pake kondom, saya usir. Saya bilang ke mereka lets go! Silahkan pergi!" ujar mucikari yang "pandai" bahasa Ingris itu.

Saya juga teringat saat teman-teman bercanda menerjemahkan kalimat suka sama suka ke dalam Bahasa Ingris menjadi "like and dislike". Nggak masalah, bila kita lakukan suka sama suka. "No problem, if we do it like and dislike". Hehehe...

Monday, March 31, 2008

Senyum adalah Jembatan

Menangis atau tertawa bagi banyak orang adalah hal yang mudah. Kita akan segera terbahak-bahak karena hal yang lucu. Meneteskan air mata karena sesuatu yang mengharukan.

Menangis dan tertawa adalah wilayah ekstrim. Menangis sambil tetawa ataupun sebaliknya tertawa sambil menangis adalah hal yang mustahil. Hati dan akal tak menyediakan ruang untuk melakukan keduanya sekaligus. Maka saat menangis, menangislah. Saat tertawa, tertawalah. Kita sah jadi ekstrimist untuk itu.

Hanya manusia tertentu yang bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Manusia yang hanya punya satu masalah ketika yang lainnya masih pusing dengan masalah pekerjaan, keluarga, pergaulan, keuangan, cinta dan seterusnya. Bagi manusia istimewa ini, masalahnya hanyalah kegilaannya, itupun tak dianggapnya sebagai masalah.

Bila tertawa dan menangis adalah hal yang mudah. Maka tersenyum adalah hal yang lebih sulit. Karena senyum adalah jembatan penyeberangan yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lainnya. Tak semua orang bisa membuat jembatan penyeberangan, seperti tak sedikit pula orang yang ogah lewat jembatan.

Hal yang lebih sulit lagi adalah membuat jembatan yang kokoh dan indah yang membuat para penyeberangnya sadar ketika melaluinya.

Monday, March 3, 2008

Hikayat Rubiyem

Hujan deras mendera Salatiga, siang menjadi temaram. Wajah beberapa pasien rawat jalan dan staf Puskesmas Sidorejo Lor resah, membayangkan ribetnya mengenakan jas hujan saat naik motor. Yang lupa membawa jas hujan wajahnya lebih kecut.

Mereka menggerombol di teras Puskesmas yang sempit. Dua, tiga orang nekat menembus hujan tanpa payung maupun jas hujan, sisanya ragu. “Jangan nekat, sabar saja, hujan pasti reda”. Tak ada yang peduli celetukan itu. Beberapa orang, ngeloyor ke ruang tunggu yang lebih lega dengan tempat duduk nyaman. Sebagian menyusul nekat berhujan-hujan.

Orang yang menceletuk tadi adalah Rubiyem, 86 tahun, pedagang jajanan yang menggelar jualannya di emperan Puskesmas. Tak ada ekspresi kecewa walau celetukannya tak digubris, pun tak ada wajah minder saat mengeluarkan celetukan yang terkesan menggurui itu. Ia beralih ngobrol dengan saya. Rubiyem heran kenapa orang sekarang yang gemuk-gemuk, kok lebih mudah sakit. Saya hanya tersenyum, tak tahu harus menjawab apa sambil memandang beberapa orang bertubuh subur yang tertatih-tatih saat berjalan.

Tak ada yang istimewa dari Rubiyem. Ia hanyalah pedagang jajanan murahan yang selama 15 tahun berjualan di emperan Puskesmas Sidorejo. Sejak rumput halaman puskesmas lebih tinggi dibanding pagar hingga jadi bangunan berlantai dua seperti sekarang. Tiga kali pergantain kepala Puskesmas ia alami. Semuanya adalah dokter yang baik, begitu kesan Rubiyem.

Seorang pegawai puskesmas menghampiri Rubiyem, menanyakan soal keluhan sakit kepalanya. Sebentar kemudian masuk lagi, sepertinya hendak mengambilkan obat. Rubiyem bercerita bahwa pegawai puskesmas barusan sering main ke rumahnya, ia adalah anak seorang dokter. “Sebelum diangkat jadi PNS, ia lama jadi pegawai wiyata bhakti,” terang Rubiyem tentang lelaki muda yang baru saja menghampirinya, dalam bahasa Jawa tentunya.

Hujan kian deras. Rubiyem cekatan mengamankan jualanya dari tetesan air yang tampias. Kedua kelopak matanya yang memutih akibat katarak tak menghilangkan kegesitanya. Hanya keriput kulit yang berhasil menyembunyikan wajah masa mudanya.

Rubiyem mengalami masa penjajahan Jepang, Belanda dan perang kemerdekaan. Anak pertamanya tewas di Jaman Jepang, sedang anak keduanya yang lahir pada 1945 kini telah memberinya 5 orang cucu dan 3 cicit. Sang anak yang jadi petani itu, tinggal satu kampung denganya. “Anak dan cucu-cucu meminta saya berhenti kerja tapi saya tidak mau, saya tidak mau membebani hidup orang lain,” ujar Rubiyem.

Menjadi pedagang kecil dari harga minyak goreng Rp 5 Ratus perak per Kg hingga Rp 12 Ribu bukanlah perjalanan pendek, seperti halnya jalan kaki yang harus dilakoninya selama enam hari setiap minggu, selama satu jam. “Kalau berangkat dari rumah saya naik angkot, tapi kalau pulang saya jalan kaki. Saya takut nyebrang, kendaraan banyak yang ngebut”.

Sang suami telah mendahuluinya bertemu Sang Pencipta pada 1993. Mendiang suami Rubyem adalah pekerja Pertamina. Ia dan suami sempat tinggal di Balikpapan (?), namun tak betah, sehingga minta pensiun pada 1970. Uang pesangon itulah yang kemudian dibelikan sebidang tanah untuk bertani di sebuah desa di Salatiga, tempat ia, putra, cucu dan cicitnya sekarang tinggal. Ladang peninggalan suaminya kini digarap oleh anaknya.

Pada Rubiyem, aku bercermin tentang keteguhan hidup di atas kaki sendiri yang kini menjadi barang langka. Pada Rubiyem kubercermin tentang kesederhanaan hidup yang tidak sederhana. Tiba-tiba kuteringat sepenggal syair, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Hemm... Apa hubunganya, ya?

Oh, tiba-tiba aku juga ingat satpol PP. Semoga Tuhan melindunginya dari razia satpol PP karena dianggap mengganggu keindahan kota. Mungkin selain doa tolak bala, para kyai daripada sibuk berpolitik, mbok coba bikin doa tolak satpol. Hemm...

Tuesday, February 26, 2008

Rembulan yang Terpisahkan Malam

Bocah perempuan 5 tahun itu, panggil saja Rembulan. Siang itu, ia mampir ke kantor bersama dua orang relawan pendamping Wanita Penjaja Seks (WPS). Semalam, ibunya tertangkap razia oleh Satpol PP Kota Semarang ketika tengah berada di jalan, menanti para lelaki hidung belang.

Wajah Rembulan sembab, kedua matanya menyisakan sedikit merah, bekas tangis, rambut pendeknya terlihat masai. Salah seorang kawan perempuan mengajaknya membersihkan diri. Usai mandi, Rembulan lebih segar, separo nasi bungkus padang amblas dilahapnya. Ia tersenyum malu, tapi menjawab lancar setiap pertanyaan. Anak yang lucu dan cerdas. Rembulan duduk di bangku TK. Tapi hari itu, dia membolos.

Semalam, ia tidur sendiri di kamar kost. Biasanya, selarut apapun sang ibu pulang, menemani tidur. Tapi malam 15 Februari 2008, belia berambut sebahu itu terpaksa tidur sendiri. Memendam tanya kenapa sang ibu tak jua pulang. Oleh-oleh tas kertas yang dipesannya sebelum sang ibu keluar “bekerja” menjadi mimpinya.

Malam di jalan, bagi ibu Rembulan tak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Berdiri di trotoar menanti lelaki hidung belang. Namun bagi satpol PP Kota Semarang, malam itu adalah malam perburuan! Para petugas berseragam coklat khaki yang kebanyakan lelaki, bersepatu lars ala serdadu itu, bersemangat memburu para perempuan di trotoar jalan. Mengejar, menangkap, dan menyeret mereka ke atas truk bak hewan. Ibu Rembulan tertangkap.

Di sudut lain kawasan kota lama, Semarang, malam itu adalah malam berbagi pengetahuan. Para relawan pendamping WPS menggelar tenda informasi kesehatan tentang Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV&AIDS. Tak lama berselang, serombongan Satpol PP datang, beberapa ”pemburu” turun bergegas mencari sasaran. Saat itulah terdengar teriakan memanggil dari truk yang berhenti dengan mesin yang tetap menyala. Ia adalah ibu Rembulan. Penuh khawatir ia bercerita tentang anaknya yang sendiri, menitipkan tas kertas pesanan putri semata wayangnya untuk disampaikan. Sambil meminta agar anaknya disusulkan hingga bisa bersamanya malam itu atau di pagi dini hari esok.

Truk tak lama berhenti, tak ada tangkapan di wilayah kota kuno itu, para pemburu segera melaju ke Polsek Semarang Tengah, dengan ”hanya” 13 tangkapan. Seorang relawan malam itu pula menyempatkan diri menengok ibu Rembulan yang ”ditangkarkan” para pemburu di kantor Polsek, namun ditolak penjaga piket karena tak membawa surat ijin dari satpol PP. Masgul, tapi tak berdaya. Inilah negeri hukum yang UUD mengamanatkan anak telantar dan orang tidak mampu dipelihara oleh negara.

Rembulan pagi itu bangun, mimpinya tentang tas kertas terwujud. Pagi-pagi sekali seorang relawan membawakan kepadanya, namun tidak sang ibu. Tanpa sempat mandi dengan tas kecil berisi sedikit pakaian dan tas kertas mimpinya, Rembulan bergegas duduk di depan motor sang relawan, ke Polsek Semarang Tengah.

Pagi itu, truk yang semalam, kembali terparkir di halaman Polsek Semarang Tengah, sama, dengan mesin menyala. Dalam bak truk, 13 tangkapan para lelaki bersepatu lars, duduk berjajar di bangku panjang saling berhadapan, kuyu semalam tak nyeyak tidur. Ibu Rembulan yang duduk di pinggir pintu bak truk gelisah. Pandanganya menyapu halaman kantor bertulisan ”Siap melayani dan melindungi”. Ia tak paham maknanya, yang ia tahu beberapa lelaki berseragam tampak sibuk.

Kegelisahannya terhenti begitu melihat Rembulan digendeng sang relawan, menuju ke arahnya. Seorang petugas Satpol PP melarangnya untuk turun dari bak truk, maka Rembulan dibantu sang relawan, naik ke bak truk. Keduanya menangis berpelukan. Bahagia. Tapi hanya sesaat.

Komandante sang satpol dengan suara keras memerintahkan Rembulan untuk turun. Anak buahnya dengan kepatuhan ala anggota pasukan berani mati, segera merenggut Rembulan. Tangis histeris Rembulan yang tak ingin berpisah dari sang ibu tak meluluhkan hati baja aparatur penegak Perda tersebut. Truk yang seolah mesinya tak pernah mati itu, segera melaju pergi mengangkut ibu Rembulan ke Kamp Rehabilitasi di Solo, Dua setengah jam perjalanan dari Semarang.

Rembulan terus menangis, sang ibu juga. Sang relawan berupaya meluruhkan hati sang komandante berseragam coklat khaki dengan beberapa emblem itu, namun sang komandante adalah lelaki berhati baja. Tangis Rembulan, kerinduan, dan ketakutan seorang anak yang akan sendirian tanpa sanak saudara dianggapnya hanya sebagai kentut.

Maka kini kulihat Rembulan, dengan mata sembab duduk di lantai lahap mengunyah nasi bungkus bersama kami. Untung ia masih dapat tersenyum.

Thursday, February 14, 2008

Politik Lapak

Saya meneguhkan hati untuk menghindari berkegiatan di luar rumah pada Sabtu dan Minggu. Dua hari itu adalah hari rumah. Bangun siang, baca buku, nonton TV, atau menyalurkan hobi menukang. Gergaji, meteran, siku, pahat, palu, catut, bor listrik, dan paku yang tersimpan rapi dalam kotak dari Senin hingga Jum’at, kukeluarkan.

Tapi Minggu, 10 Pebruari 2008, saya tak bisa berteguh hati. Seorang kawan aktivis era 80-an, pengubah sumpah Mahasiswa Indonesia yang popular dibaca pada berbagai demonstrasi, datang bersama seorang kawanku lainnya, koresponden majalah yang dulu berslogan enak dibaca dan perlu.

Kawan aktivis 80-an yang selain seniman, juga pengacara, dan penulis artikel yang lumayan asyik dibaca ini, kini menambah predikatnya sebagai politisi. Ia bergabung pada badan otonom sebuah partai besar, menjadi litbangnya di Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Singkat cerita, setelah ngobrol ngalor-ngidul nan asyik, dua kawan yang sama-sama aktivis namun beda era ini, mengajak mencari kontrakan untuk kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ke sebuah kota di kawasan Pantura. Menolak jelas tak santun, lha mereka bersedia jauh-jauh menyambangiku di desa, masak aku menolak. Lagian tinggal duduk manis di mobil sambil ngrumpi. Pasti asyik.

Sepanjang perjalanan, banyak cerita menarik. Yang paling menarik, kawan ini berancang-ancang duduk di kursi DPR RI pada 2009. Mungkin bosan jadi rakyat. Saya sebagai rakyat, jelas mendukung, apalagi diwakili kawan sendiri. Bentuk dukungan pertama, menemaninya mencari kontrakan kantor LBH yang hendak didirikannya. Rakyat pasti membutuhkan bantuan hukum.

Tiba-tiba saya teringat artikel di Kompas yang mengulas sepak terjang Barack Obama sebagai politisi kaki lima, bergaul dan bekerja membantu rakyat, menguasai hal-hal teknis, hingga akhirnya memenangkan hati rakyat di distriknya. Tidak seperti politisi kita, begitu menurut artikel itu, yang baru mendatangi rakyat ketika masa pemilihan tiba.

Dahsyat, membayangkan kawanku ini akan bekerja bak Obama. Maka di tengah rintik hujan, kami menyambangi rumah-rumah yang akan disewakan. Mengontak kolega di kota bersangkutan, mencari informasi rumah kontrakan yang murah. Maklum, dana terbatas. Ini perjuangan, seorang mantan aktivis mahasiswa yang tak kaya-kaya amat, tengah merentas jalan politik, hendak mewakili rakyat.

Nah, di DPP Parpol si kawan ini, tengah terjadi pembagian daerah pemilihan (Dapil). Tiga bulan ke depan, Dapil masing-masing kandidat ditetapkan. Maka sebelum penetapan, kawan ini atas nasehat kawanya yang lebih awal berpartai, mendahului mencari Dapil.

Jadi nanti bila DPP tanya, ”Wahai engkau politisi, dimana wilayah konstituentmu,” maka si kawan ini akan menjawab. ”Kota A, B dan C. Buktinya saya punya kantor untuk rakyat di daerah tersebut.” Bila elit DPP menerima, maka ia akan ditetapkan masuk daftar urutan calon DPR di wilayah tersebut.

”Kalo tiga bulan ke depan, DPP memutuskan Dapil yang berbeda, gimana?”
”Ya, pindah. Tapi karena dah punya lapak, maka akan dapat lapak pengganti.” Jawabnya sambil mengistilahkan Dapil sebagai lapak.
”Terus, kantor yang di sini ditingal?”
”Ya iya, kan dah dapat lapak pengganti yang baru,”
”Ooo...” Aku mengangguk-angguk. Politik memang rumit.

Hilanglah bayanganku tentang Obama. Hari itu, perbendaharaan istilah politiku bertambah, ternyata di samping ada politik kaki lima ala Obama, adapula politik lapak alamak... Au, ah gelap!

Tapi saya tetap senang dengan perjalanan hari itu, dan tetap akan suka dengan kawan yang tengah merintis jalan ke DPR RI itu. Semoga cita-citanya menjadi wakil rakyat terkabul.

Kesimpulan :
-Politik itu rumit.
-Jadi teman politisi juga rumit.
-Lebih rumit lagi kalau jadi politisi.
-Mau jadi politisi? Silahkan buat hal-hal yang rumit.

Friday, February 8, 2008

Mengumpat

“Pernah mengumpat?”
“Pernah. Tapi lebih sering diumpat, hahaha!”
“Sejak kapan suka mengumpat?”
“Hemm… lupa, udah lama banget.”

“Coba, dingat-ingat lagi.”
“Lupa.”
“Kata umpatan pertama kali, ingat nggak?”
“Asem! Kata jawa artine kecut.”
“Salah, itu artinya asu, cuma diperhalus dengan diplesetkan.”
”Oh, gitu ya? Asu tenan, kok aku nggak tahu.”
”Kamu kok, malah ngumpat ke aku?”
”Oh, sori ndes.”
”Hehehe....”
”Sekarang masih suka mengumpat?”
”Nggak.”
”Ah, yang bener? Lha barusan tadi apa bukan mengumpat?”
”Itu mencontohkan umpatan.”
”Ya sama saja,”
”Beda tolol!”
”Nah, kok mengumpat?”

Tuesday, February 5, 2008

Kasnuri, Ijinkan Aku Berguru

Kasnuri namanya, usia sekitar 45 tahun, profesi terakhir sopir truk antara kota. Sebelumnya sempat juga menjadi sopir minyak Pertamina. Mengundurkan diri karena dituduh korupsi, padahal dia tak melakukanya. Menjadi sopir truk antar kota ternyata tak ringan, derajat risiko, beban dan hasil yang didapatkan untuk keluarga tidaklah setara. Maka lelaki berperawakan kurus itu melepaskan kemudi truk. Menetap di belakang pangkalan truk Banyuputih, Batang.

Sebentar, ini bukan cerita tentang kere yang jadi pengusaha sukses sebagaimana dalam buku-buku motivasi yang mendorong orang untuk menjadi kaya raya dengan menolak menjadi buruh. Rumah Kasnuri tak lebih besar dibanding bak truk yang dulu dibawanya. Berlantai plester yang mulai gompel di sana sini. Rumah yang tak lebih baik dari bak truk tronton itu berdiri ditopang oleh dinding kombinasi tembok, papan dan gedek, anyaman bambu. Menempel rumah tetangga samping.

Saya dan seorang teman dokter, diterima di ruang tamu rumahnya yang merangkap warung rokok dan aneka jajanan ringan. Ia duduk di belakang meja kasir yang juga menjadi meja tamu sekaligus meja kerjanya. Dinding papan di belakang kursi Kasnuri terpampang beberapa poster karton kaligrafi bertuliskan asmaul husna, nama-nama Tuhan yang indah, surat Al-Ihlas yang menjadi dasar tauhid, dekalarasi atas sikap tak menyukutukan sang Maha Pencipta. Dan beberapa kaligrafi lainnya. Saya tak ingat.

Kami duduk di bangku panjang tanpa sandaran. Maka kami belajar darinya tentang bagaimana seorang Community Organizer bekerja. "Pekerjaan saya setiap hari door to door, mengunjungi wisma satu persatu," ujarnya.

Jangan bayangkan wisma Cendana! Yang dimaksud wisma adalah rumah tempat para Wanita Penjaja Seks (WPS) berkumpul menunggu, menerima dan melayani lelaki hidung belang. Ia mengingatkan WPS untuk tak lupa mengecek alat vital tamunya, melayani tamu dengan lampu yang terang, hindari mabuk, gunakan condom, dan rutin periksa IMS.

Tampak remeh. Biasa-biasa saja. Memang. Tapi bukankah hal-hal yang hebat di dunia ini adalah hal yang biasa-biasa saja? Menjelma menjadi luar biasa karena dilakukan dengan cara dan ketekunan yang luar biasa. Saat yang lain memilih menjauhi WPS kelas murahan sambil menistakan, ia memilih jalan berteman. Atau saat sekelompok orang pekerja LSM mendekati WPS karena project, ia telah melakukkanya tanpa donor agency. Saat mucikari menghitung-hitung uang setoran para WPS, ia tak tergoda beringsut menjadi mucikari untuk mengubah rumah bak truknya.

Ia menjadi ”pelayan” lokalisasi Banyuputih yang saat ini menampung lebih kurang 70 WPS kelas murahan. Menjadi administratur, membuat kartu identitas sementara untuk para WPS, kartu iuran bulanan untuk dana sosial yang sebagian besar digunakan untuk uang keamanan bagi para aparatus keamanan! Dan kartu iuran periksa kesehatan sehingga biaya kesehatan bulanan sebesar Rp 15 Ribu bisa dicicil per minggu. Terasa lebih ringan.

Tapi Kasnuri bukanlah nabi, santo atawa orang suci. Ia orang biasa yang tetap butuh uang untuk istri dan anak-anaknya. Atas kerja pelayanannya itu, ia mendapatkan management fee. ”Dari Rp 15 Ribu uang periksa kesehatan, saya mendapat Rp 4 Ribu,” akunya jujur. Dengan 70 WPS, bila bayar semua, maka sebulan ia mendapatkan Rp 280 Ribu.

Andai saja para petugas lapangan LSM seperti Kasnuri, saya optimis angka IMS yang tinggi di kalangan WPS akan dapat turun yang berarti risiko terkena HIV di kalangan WPS juga kian rendah. Kasnuri, pernahkah para pekerja LSM pencegahan HIV itu berguru padamu?

Saturday, January 26, 2008

Soeharto, Hanya Tiga Puluh Detik

Saat iseng jalan-jalan di Macro karena menunggu motor butut saya yang hendak diservice, Soeharto mantan Presiden Republik Indonesia Minggu 27 Januari Pukul 13.10 WIB, meninggal Dunia. Puluhan televisi berbagai merek yang dipajang untuk dijual menanyangkan Tutut, poetri Soeharto, menangis tersedu-sedan didampingi beberapa dokter yang merawat bapaknya hingga meninggal Dunia, saat jumpa pers.

Beberapa televisi lainnya, live menayangkan seorang reporter yang terbata-bata menyiarkan kematian Soeharto bukan karena berduka, tapi shock bak mendapatkan durian runtuh, breaking news! Setelah berhari-hari menunggu di Rumah Sakit. Seru, melihat reporter yang tak siap menceritakan peristiwa yang seharusnya disiiarkannya dengan lancar untuk pemirsanya. Beberapa kalimat terulang-ulang, menutupi ketidaksiapannya untuk menyampaikan informasi tambahan yang memang tak dimilikinya.

Tak ada orang bergerombol di depan televisi, hanya beberapa gelintir orang yang berdiri di depan televisi. Tak lama, setelah itu, mereka ngeloyor pergi untuk berbelanja kembali, bukan berita penting, seorang berujar pada teman belanjanya "Soeharto meninggal dunia". Si teman cuek ia sedang konsentrasi memilih barang-barang yang dipajang.

Tiga Puluh Tahun berkuasa. Hanya Tiga Puluh detik orang berkerubung mendengarkan beritanya, itu pun tak lebih dari Tiga Puluh orang.

Sesungguhnya kita milik Allah, dan sesugguhnya hanya kepada Allah kita kembali.

Monday, January 14, 2008

Menuntaskan “Mimpi” Chairil Anwar

Menurut sohibul hikayat, dulu, saat sang penyair Karawang Bekasi yang kaya karya namun miskin harta mengalami lapar yang sangat, ia mengajak shabatnya Usmar Ismail untuk membeli makan siang. Naas, ternyata Usmar Ismail juga bokek, tak ada uang satu sen pun di saku sutradara hebat di masanya itu.

Tahu itu, Chairil mengajak si Usmar ke Stasiun Senen. Usmar heran namun sebelum sempat bertanya, si Chairil lebih dulu berujar, “Dari begitu banyak orang yang lalu lalang di stasiun pasti ada uang terjatuh”.

Usmar tersenyum kecut, tapi kenapa tidak dicoba? Dua karib itu akhirnya berjalan bolak-balik di sepanjang stasiun. Waktu makan siang lewat. Tak ada uang satu sen pun yang tercecer. Mereka berdua tetap lapar hingga saatnya makan malam.

Mendengar cerita itu, saya tertawa ngakak. “Gila, benar-benar seniman”. Menjalani hidup dengan kegembiraan, mencoba segala kemungkinan. “Bener-benar seniman gila!”.

++++++++

Malam satu suro, tahun baru Jawa, saya kebetulan ada acara workshop modul di Lor in Solo. Untuk merayakan malam pergantian tahun jawa, warga Solo biasanya jalan kaki membisu, mengelilingi tembok Keraton dan atau kirab bersama Kyai Slamet. Nah, kyai yang satu ini di Solo kemashurannya mengalahkan kemashuran para kyai khos kalangan warga NU. Tingkat kesederhanaanya juga mengalahkan cara hidup kyai yang paling sederhana di penjuru Indonesia. Bukan apa-apa karena kyai Slamet di Solo ini, tak lebih dan tak kurang adalah kerbau yang tak berakal dan tak berbaju. Hemm… tapi biar begitu, taek sang kyai ini menjadi rebutan orang yang berakal dan berbaju karena dianggap berkhasiat mengatasi semua masalah tanpa masalah. Kayak slogan pegadaian aja. Boleh percaya, boleh tidak. Tidak boleh abstain.

Nah, sebagai orang Jawa, malam itu saya putuskan untuk melakukan tradisi jalan kaki. Tapi karena jarak tempat menginap dengan keraton jauh, maka saya menetapkan rute jalan kaki dari hotel ke warung makan, ngisi perut dulu. Usai makan, jalan kaki lagi menjauh dari hotel, baru balik ke hotel bila kaki sudah terasa pegel, tentunya sambil tetap dengan jalan kaki. Yang jelas dengan jalan kaki mandiri, rute sendiri, saya tak harus ngekor kyai Slamet yang telanjang bulat.

Baru 10 langkah dari warung makan, saya melihat “segulung” uang seribuan tergeletak di pinggir jalan. Saya pungut sambil coba menaksir berapa banyak uang ribuan yang tergulung kumuh itu, di bawah penerangan lampu jalan yang temaram. Rp 6 Ribu. Saya masukkan ke kantong celana.

Perjalanan menjauh dari hotel dilanjutkan. Saya tersenyum teringat cerita jenaka Chairil Anwar dan Usmar Ismail. "Chairil, mimpimu telah saya tuntaskan".

Enam Ribu bagi beberapa orang memang tak seberapa. Tapi bagi yang kehilangan, uang tersebut bisa jadi sangatlah berharga. Menyerahkan uang temuan Rp 6 Ribu ke kantor polisi, pasti diketawain. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah mengganti yang lebih baik dan banyak kepada orang yang uangnya saya temukan.

Sambil kungkum di bathtub, saya membuat catatan. “Cara terbaik untuk memicu otak berpikir sekaligus merenung adalah dengan berjalan kaki. Ia membuat kita tetap menapak di bumi ketika mata memandang jauh ke depan dan mendongak tinggi ke langit”.

Dan kesimpulan sementara pelajaran dari perjalanan 1 suro ini adalah :
-Chairil Anwar tidak menemukan uang karena mencari di tempat yang salah.
-Jalan kaki di samping menyehatkan juga dapat mendatangkan uang.
-Jangan bercita-cita kaya dengan cara cari uang yang jatuh di jalan, cuma dapet 6 Ribu!

Cerita akan bersambung...Insya Allah.

Wednesday, January 2, 2008

2008

Ganti kalender, beli males, cari kalander gretongan dari toko bahan bangungan ato koran yang mbagi-mbagi kalander gratis sak lembar, misale koyok koran Suara Mereka.

Beli notes agenda kerja 2008. Males juga, paling rajin nyatat-nyatat hanya ampe Maret. Setelah itu, entah terselip dimana.

Bikin target baru, resolusi 2008. Hemm enggak ah, taon kemarin nggak ada yang kesampaian dari mo ngubah perilaku juga nggak bisa-bisa, ya udah ngalir aja ampe 2009, moga dikasih rizqi lebih banyak, kesehatan yang prima dan diampuni dosa-dosanya.

Cari kerjaan baru, nah ini harus. Mulai bosen kerja pada hal dan tempat yang sama selama dua tahun, biasa... siklus dua tahunan, tapi mau kerja apa ya? Mau buka warung kelontong ato warung makan atawa percetakan hemmm ntar aja deh, ngalir... waks, ada lowongan sopir taksi, menantang untuk dicoba nih....