Saturday, January 26, 2008

Soeharto, Hanya Tiga Puluh Detik

Saat iseng jalan-jalan di Macro karena menunggu motor butut saya yang hendak diservice, Soeharto mantan Presiden Republik Indonesia Minggu 27 Januari Pukul 13.10 WIB, meninggal Dunia. Puluhan televisi berbagai merek yang dipajang untuk dijual menanyangkan Tutut, poetri Soeharto, menangis tersedu-sedan didampingi beberapa dokter yang merawat bapaknya hingga meninggal Dunia, saat jumpa pers.

Beberapa televisi lainnya, live menayangkan seorang reporter yang terbata-bata menyiarkan kematian Soeharto bukan karena berduka, tapi shock bak mendapatkan durian runtuh, breaking news! Setelah berhari-hari menunggu di Rumah Sakit. Seru, melihat reporter yang tak siap menceritakan peristiwa yang seharusnya disiiarkannya dengan lancar untuk pemirsanya. Beberapa kalimat terulang-ulang, menutupi ketidaksiapannya untuk menyampaikan informasi tambahan yang memang tak dimilikinya.

Tak ada orang bergerombol di depan televisi, hanya beberapa gelintir orang yang berdiri di depan televisi. Tak lama, setelah itu, mereka ngeloyor pergi untuk berbelanja kembali, bukan berita penting, seorang berujar pada teman belanjanya "Soeharto meninggal dunia". Si teman cuek ia sedang konsentrasi memilih barang-barang yang dipajang.

Tiga Puluh Tahun berkuasa. Hanya Tiga Puluh detik orang berkerubung mendengarkan beritanya, itu pun tak lebih dari Tiga Puluh orang.

Sesungguhnya kita milik Allah, dan sesugguhnya hanya kepada Allah kita kembali.

Monday, January 14, 2008

Menuntaskan “Mimpi” Chairil Anwar

Menurut sohibul hikayat, dulu, saat sang penyair Karawang Bekasi yang kaya karya namun miskin harta mengalami lapar yang sangat, ia mengajak shabatnya Usmar Ismail untuk membeli makan siang. Naas, ternyata Usmar Ismail juga bokek, tak ada uang satu sen pun di saku sutradara hebat di masanya itu.

Tahu itu, Chairil mengajak si Usmar ke Stasiun Senen. Usmar heran namun sebelum sempat bertanya, si Chairil lebih dulu berujar, “Dari begitu banyak orang yang lalu lalang di stasiun pasti ada uang terjatuh”.

Usmar tersenyum kecut, tapi kenapa tidak dicoba? Dua karib itu akhirnya berjalan bolak-balik di sepanjang stasiun. Waktu makan siang lewat. Tak ada uang satu sen pun yang tercecer. Mereka berdua tetap lapar hingga saatnya makan malam.

Mendengar cerita itu, saya tertawa ngakak. “Gila, benar-benar seniman”. Menjalani hidup dengan kegembiraan, mencoba segala kemungkinan. “Bener-benar seniman gila!”.

++++++++

Malam satu suro, tahun baru Jawa, saya kebetulan ada acara workshop modul di Lor in Solo. Untuk merayakan malam pergantian tahun jawa, warga Solo biasanya jalan kaki membisu, mengelilingi tembok Keraton dan atau kirab bersama Kyai Slamet. Nah, kyai yang satu ini di Solo kemashurannya mengalahkan kemashuran para kyai khos kalangan warga NU. Tingkat kesederhanaanya juga mengalahkan cara hidup kyai yang paling sederhana di penjuru Indonesia. Bukan apa-apa karena kyai Slamet di Solo ini, tak lebih dan tak kurang adalah kerbau yang tak berakal dan tak berbaju. Hemm… tapi biar begitu, taek sang kyai ini menjadi rebutan orang yang berakal dan berbaju karena dianggap berkhasiat mengatasi semua masalah tanpa masalah. Kayak slogan pegadaian aja. Boleh percaya, boleh tidak. Tidak boleh abstain.

Nah, sebagai orang Jawa, malam itu saya putuskan untuk melakukan tradisi jalan kaki. Tapi karena jarak tempat menginap dengan keraton jauh, maka saya menetapkan rute jalan kaki dari hotel ke warung makan, ngisi perut dulu. Usai makan, jalan kaki lagi menjauh dari hotel, baru balik ke hotel bila kaki sudah terasa pegel, tentunya sambil tetap dengan jalan kaki. Yang jelas dengan jalan kaki mandiri, rute sendiri, saya tak harus ngekor kyai Slamet yang telanjang bulat.

Baru 10 langkah dari warung makan, saya melihat “segulung” uang seribuan tergeletak di pinggir jalan. Saya pungut sambil coba menaksir berapa banyak uang ribuan yang tergulung kumuh itu, di bawah penerangan lampu jalan yang temaram. Rp 6 Ribu. Saya masukkan ke kantong celana.

Perjalanan menjauh dari hotel dilanjutkan. Saya tersenyum teringat cerita jenaka Chairil Anwar dan Usmar Ismail. "Chairil, mimpimu telah saya tuntaskan".

Enam Ribu bagi beberapa orang memang tak seberapa. Tapi bagi yang kehilangan, uang tersebut bisa jadi sangatlah berharga. Menyerahkan uang temuan Rp 6 Ribu ke kantor polisi, pasti diketawain. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah mengganti yang lebih baik dan banyak kepada orang yang uangnya saya temukan.

Sambil kungkum di bathtub, saya membuat catatan. “Cara terbaik untuk memicu otak berpikir sekaligus merenung adalah dengan berjalan kaki. Ia membuat kita tetap menapak di bumi ketika mata memandang jauh ke depan dan mendongak tinggi ke langit”.

Dan kesimpulan sementara pelajaran dari perjalanan 1 suro ini adalah :
-Chairil Anwar tidak menemukan uang karena mencari di tempat yang salah.
-Jalan kaki di samping menyehatkan juga dapat mendatangkan uang.
-Jangan bercita-cita kaya dengan cara cari uang yang jatuh di jalan, cuma dapet 6 Ribu!

Cerita akan bersambung...Insya Allah.

Wednesday, January 2, 2008

2008

Ganti kalender, beli males, cari kalander gretongan dari toko bahan bangungan ato koran yang mbagi-mbagi kalander gratis sak lembar, misale koyok koran Suara Mereka.

Beli notes agenda kerja 2008. Males juga, paling rajin nyatat-nyatat hanya ampe Maret. Setelah itu, entah terselip dimana.

Bikin target baru, resolusi 2008. Hemm enggak ah, taon kemarin nggak ada yang kesampaian dari mo ngubah perilaku juga nggak bisa-bisa, ya udah ngalir aja ampe 2009, moga dikasih rizqi lebih banyak, kesehatan yang prima dan diampuni dosa-dosanya.

Cari kerjaan baru, nah ini harus. Mulai bosen kerja pada hal dan tempat yang sama selama dua tahun, biasa... siklus dua tahunan, tapi mau kerja apa ya? Mau buka warung kelontong ato warung makan atawa percetakan hemmm ntar aja deh, ngalir... waks, ada lowongan sopir taksi, menantang untuk dicoba nih....