Monday, March 31, 2008

Senyum adalah Jembatan

Menangis atau tertawa bagi banyak orang adalah hal yang mudah. Kita akan segera terbahak-bahak karena hal yang lucu. Meneteskan air mata karena sesuatu yang mengharukan.

Menangis dan tertawa adalah wilayah ekstrim. Menangis sambil tetawa ataupun sebaliknya tertawa sambil menangis adalah hal yang mustahil. Hati dan akal tak menyediakan ruang untuk melakukan keduanya sekaligus. Maka saat menangis, menangislah. Saat tertawa, tertawalah. Kita sah jadi ekstrimist untuk itu.

Hanya manusia tertentu yang bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Manusia yang hanya punya satu masalah ketika yang lainnya masih pusing dengan masalah pekerjaan, keluarga, pergaulan, keuangan, cinta dan seterusnya. Bagi manusia istimewa ini, masalahnya hanyalah kegilaannya, itupun tak dianggapnya sebagai masalah.

Bila tertawa dan menangis adalah hal yang mudah. Maka tersenyum adalah hal yang lebih sulit. Karena senyum adalah jembatan penyeberangan yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lainnya. Tak semua orang bisa membuat jembatan penyeberangan, seperti tak sedikit pula orang yang ogah lewat jembatan.

Hal yang lebih sulit lagi adalah membuat jembatan yang kokoh dan indah yang membuat para penyeberangnya sadar ketika melaluinya.

Monday, March 3, 2008

Hikayat Rubiyem

Hujan deras mendera Salatiga, siang menjadi temaram. Wajah beberapa pasien rawat jalan dan staf Puskesmas Sidorejo Lor resah, membayangkan ribetnya mengenakan jas hujan saat naik motor. Yang lupa membawa jas hujan wajahnya lebih kecut.

Mereka menggerombol di teras Puskesmas yang sempit. Dua, tiga orang nekat menembus hujan tanpa payung maupun jas hujan, sisanya ragu. “Jangan nekat, sabar saja, hujan pasti reda”. Tak ada yang peduli celetukan itu. Beberapa orang, ngeloyor ke ruang tunggu yang lebih lega dengan tempat duduk nyaman. Sebagian menyusul nekat berhujan-hujan.

Orang yang menceletuk tadi adalah Rubiyem, 86 tahun, pedagang jajanan yang menggelar jualannya di emperan Puskesmas. Tak ada ekspresi kecewa walau celetukannya tak digubris, pun tak ada wajah minder saat mengeluarkan celetukan yang terkesan menggurui itu. Ia beralih ngobrol dengan saya. Rubiyem heran kenapa orang sekarang yang gemuk-gemuk, kok lebih mudah sakit. Saya hanya tersenyum, tak tahu harus menjawab apa sambil memandang beberapa orang bertubuh subur yang tertatih-tatih saat berjalan.

Tak ada yang istimewa dari Rubiyem. Ia hanyalah pedagang jajanan murahan yang selama 15 tahun berjualan di emperan Puskesmas Sidorejo. Sejak rumput halaman puskesmas lebih tinggi dibanding pagar hingga jadi bangunan berlantai dua seperti sekarang. Tiga kali pergantain kepala Puskesmas ia alami. Semuanya adalah dokter yang baik, begitu kesan Rubiyem.

Seorang pegawai puskesmas menghampiri Rubiyem, menanyakan soal keluhan sakit kepalanya. Sebentar kemudian masuk lagi, sepertinya hendak mengambilkan obat. Rubiyem bercerita bahwa pegawai puskesmas barusan sering main ke rumahnya, ia adalah anak seorang dokter. “Sebelum diangkat jadi PNS, ia lama jadi pegawai wiyata bhakti,” terang Rubiyem tentang lelaki muda yang baru saja menghampirinya, dalam bahasa Jawa tentunya.

Hujan kian deras. Rubiyem cekatan mengamankan jualanya dari tetesan air yang tampias. Kedua kelopak matanya yang memutih akibat katarak tak menghilangkan kegesitanya. Hanya keriput kulit yang berhasil menyembunyikan wajah masa mudanya.

Rubiyem mengalami masa penjajahan Jepang, Belanda dan perang kemerdekaan. Anak pertamanya tewas di Jaman Jepang, sedang anak keduanya yang lahir pada 1945 kini telah memberinya 5 orang cucu dan 3 cicit. Sang anak yang jadi petani itu, tinggal satu kampung denganya. “Anak dan cucu-cucu meminta saya berhenti kerja tapi saya tidak mau, saya tidak mau membebani hidup orang lain,” ujar Rubiyem.

Menjadi pedagang kecil dari harga minyak goreng Rp 5 Ratus perak per Kg hingga Rp 12 Ribu bukanlah perjalanan pendek, seperti halnya jalan kaki yang harus dilakoninya selama enam hari setiap minggu, selama satu jam. “Kalau berangkat dari rumah saya naik angkot, tapi kalau pulang saya jalan kaki. Saya takut nyebrang, kendaraan banyak yang ngebut”.

Sang suami telah mendahuluinya bertemu Sang Pencipta pada 1993. Mendiang suami Rubyem adalah pekerja Pertamina. Ia dan suami sempat tinggal di Balikpapan (?), namun tak betah, sehingga minta pensiun pada 1970. Uang pesangon itulah yang kemudian dibelikan sebidang tanah untuk bertani di sebuah desa di Salatiga, tempat ia, putra, cucu dan cicitnya sekarang tinggal. Ladang peninggalan suaminya kini digarap oleh anaknya.

Pada Rubiyem, aku bercermin tentang keteguhan hidup di atas kaki sendiri yang kini menjadi barang langka. Pada Rubiyem kubercermin tentang kesederhanaan hidup yang tidak sederhana. Tiba-tiba kuteringat sepenggal syair, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Hemm... Apa hubunganya, ya?

Oh, tiba-tiba aku juga ingat satpol PP. Semoga Tuhan melindunginya dari razia satpol PP karena dianggap mengganggu keindahan kota. Mungkin selain doa tolak bala, para kyai daripada sibuk berpolitik, mbok coba bikin doa tolak satpol. Hemm...