Sunday, May 25, 2008

WPS Sumber Kebohongan

WPS Sumber kebohongan. Yang dimaksud dengan WPS adalah Wanita Penjaja Seks. Andaikan pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang awam, cukuplah wajar, walau belum tentu benar.

Namun kalau yang mengucapkan itu seseorang yang bekerja untuk program kesehatan masyarakat yang banyak bersentuhan dengan para WPS, sungguh sebuah ironi!

Ya, ironi! Pernyataan semacam itu menujukkan bahwa WPS yang karena posisinya rentan tertular dan menularkan HIV telah dikomodifikasi dalam proyek yang diberi embel-embel kesehatan masyarakat yang mendatangkan dana besar untuk para pekerja proyek sosial itu.

Memang kita harus hati-hati memaknai pernyataan "beliau" soal WPS adalah sumber kebohongan agar tak kehilangan konteks. Pernyataan master public health itu terkait dengan informasi penggunaan kondom yang disampaikan oleh WPS. Bisa jadi memang WPS berbohong, saat bilang selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan hidung belang untuk mencegah penularan HIV. Tapi itu bukan berarti WPS adalah sumber kebohongan.

Pernyataan ”WPS adalah sumber kebohongan”. Meneguhkan asumsi bahwa kawan-kawan WPS selama ini hanya dianggap sebagai obyek dan komoditas para pekerja LSM dan lembaga broker.

Lantas, apa beda para pekerja LSM dan lembaga broker itu dibanding dengan hidung belang dan mucikari bila cara pandang mereka terhadap WPS sama? Sama-sama memposisikannya sebagai obyek dan komoditas.

Pernyataan bahwa WPS adalah sumber kebohongan hanya layak dilontarkan oleh hidung belang yang kecewa karena layanan yang didapatkan tak sesuai dengan yang diinginkan.

Aku berharap pernyataan ”beliau” di hadapan puluhan pekerja LSM itu adalah akibat selip lidah. Aku menduga para aktivis HIV yang mendengarkan ceramahnya malam itu, walau tak terlihat satupun yang memberikan reaksi protes, bukan berarti menyetujui pernyataan nan menyakitkan tersebut.

Oh, Jogja engkau menjadi saksi untuk membuatku kian bertekat untuk tak seiring lagi dengan "beliau". Dan syukurlah, masa itu akan segera datang.

Saturday, May 24, 2008

Jogja Lagi, Moody Lagi

Lama tak menulis karena saya tengah memanjakan teman karibku, si moody, bukan Maudy Kusnaidi pemeran Zaenab di Si Doel Anak Sekolahan. Nah, si moody ini benar-benar ogah menyentuh keyboard, posting tulisan ke blog. Bosen. Ya udah, aku ikut aja walau sebenarnya ada banyak hal yang menarik untuk ditulis, hemm tapi nanti aja deh, begitu selalu si moody berbisik begitu saya siap menuliskan cerita di depan laptop pinjaman kantor yang sebentar lagi harus aku kembalikan, aku pasrah dengan bujukan moody begitu saja.


Tapi pagi ini, sepertinya moody sedang baik hati. "Eh, nulis dong" bisikinya. Maka sambil nunggu air bathtub penuh, di atas kasur yang masih berantakan saya menulis, dengan beberapa kali terhenti karena BAB, ritual pagi yang tidak bisa membuat saya bener-benar sigap di pagi hari karena bisa lebih dari dua kali. Jadi, bukanya menikmati udara pagi, tapi aroma “hajatan”.

Nggak tahu juga kenapa tiba-tiba mood pengen nulis. Mungkin karena energi Jogja. Ya, lagi-lagi saya terlempar ke kota yang sempat mewarnai hidup saya ini. Berbeda dengan kawan-kawan lain saat mengenang Jogja dengan beragam aktivitasnya terkait dengan masa-masa kuliah. Bagi saya, Jogja adalah Widya Wiwaha, Sobo Harsono, Perpustakaan lawas di Maliobor, Lapak-lapak buku Shoping dan tentunya juga Sego kucingan di sekitar Sarkem. Saya di Jogja ndak kuliah, tapi diuntungkan dengan tarif bus kotanya yang sensitive kantong anak kuliah, pada era itu, cukup nyangking buku agar hanya membayar 50% biaya naik bus ketika menuju tempat favorit saya, Widya Wiwaha, gedung bisokop! Sementara teman satu kamar saya yang kuliah di kedokteran UGM memilih naik sepeda dari Krapyak hingga Sardjito. Saya pun terpaksa beberapa kali juga harus meminjam sepeda teman untuk ke Perpus di Malioboro, saat kiriman wesel tak juga datang.

Saat terdampar di Jakarta sebulan sekali saya harus "pulang" ke Jogja walau uang mepet. Bayar di atas, tarif kongkalikong Rp 10 Ribu sampai Cirebon dan 10 Ribu lagi dari Cirebon hingga Jogja. Tempat duduk favorit yang segar plus aroma toilet, di bordes. Begitu sampai statiun Tugu, Jogja masih lengang. Naik becak atau jalan kaki menyusuri Malioboro tidur di losmen murahan di kawasan Sosrowijayan bila punya uang dan kembali lagi ke Jakarta esok hari dengan membawa koran untuk duduk di bordes kereta, cukup Rp 20 Ribu!

Kali ini untuk ke sekian kali aku ke Jogja lagi, cuma tak sekalipun pernah benar-benar dapat menikmati Jogja, terjebak di Hotel dari pagi hingga petang, lelah untuk bisa menulusuri peta ingatan Jogja di masa laluku.

Yang sedikit menghibur walau terjebak di Hotel dan hanya mencium udara Jogja, adalah melihat sekumpulan orang yang ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan, wuih....