Wednesday, November 26, 2008

Pusing, politik jilid 2

"Hati-hati nanti dipolitiki." Begitu beberapa orang tua di desa teman saya, memberi peringatan pada anak, kerabat atau tetangganya agar waspada, biar tak ditipu saat berniaga dengan orang yang belum benar-benar familiar.

Mendengar cerita kawan yang berasal dari derah yang terkenal dengan industri batik itu, saya ngakak. Berseloroh, saya bilang politik itu bak pisau. Di tangan orang baik akan dimafaatkan untuk hal-hal yang baik pula. Berada di tangan orang kepepet yang tak punya akal panjang dan hati seluas samudera, akan berubah menjadi alat yang menakutkan.

Seorang teman lain yang tengah kesengsem buku kecil karangan Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, nimbrung berkomentar "Politik adalah alat atau cara mencari dan mepertahankan kekuasaan," ujarnya persis isi buku edisi bajakan yang dibelinya di pasar loak tersebut. Saya manggut-manggut, diam.

"lah, kalau politik itu memang alat, kenapa nggak cari alat yang hanya bisa dipakai untuk kebaikan, bukan sebaliknya?" tanya kawan yang anak juragan batik itu.

"Memang ada?" pancing si pecinta buku bajakan.

"Ada. Ember plastik, alat untuk membawa air. " sekenanya, sambil menggulung sarung batiknya yang mlorot.

"Ember juga bisa jahat. Diisi air mendidih, disiramkan ke kamu," membalas, sekenanya juga.

Saya lupa kesimpulan dari diskusi gayeng ala kusir dokar yang terjadi puluhan tahun itu. Yang saya ingat, setelah itu kami lebih asyik ngobrolin anak kost baru di sebelah yang... ehem.

Tujuh hari yang lalu, saya terlibat obrolan tapi tak lagi soal apa itu politik, juga tak di kost yang kumuh tapi di kafe nan asyik dengan dua orang kawan, yang kali ini, politisi muda. Usia mereka belum lagi lebih dari 35 tahun dengan posisi strategis di partainya. Keduanya mantan aktivis, yang satu dari garis agak ke kiri-kirian yang satunya agak ke kanan kultural, setelah rezim Soeharto tumbang yang satu sempat jadi wartawan satunya pegiat LSM. Walau begitu mereka berada dalam sebuah partai yang sama. Bukan berarti mereka berkawan, keduanya saling berseteru, adu gertak hingga adu massa saat internal partai mereka konflik. Tapi kini keduanya, duduk bersama. Maju dari daerah pemilihan yang sama. Yang satu karena menang di konflik internal dapat nomor urut 1. Sedang yang kalah nomor urut 2. Mereka tampak akur.

Di depan keduanya saya menegaskan "saya bukan politisi". Maka kami gayeng ngobrol, ngalor ngidul soal cara mendapatkan kursi legislatif, sampailah kemudian pada hal yang paling teknis. Soal pendanaan. Mudah. Ada dana awal, bagi saya cukup besar, tapi sangat kecil untuk dana kampanye. Caranya, membuat proposal kegiatan untuk masyarakat sebanyak 5 kali, setiap kegiatan akan mendapatkan pendanaan sebesara Rp (Rahasia ya...) dana tersebut dapat diambil dari dana "perogratif" perangkat pimpinan dewan dengan peruntukan "kegiatan sosial".

Rumusnya, si pimpinan dewan akan memotong sekian persen, kemudian si anu akan memotong sekian persen. Sisa anggaran untuk kegiatan. Nanti dulu, untuk kegiatan juga harus dipotong lagi untuk dana politik, baiya kampanye. "Kalau perlu kegiatannya, dibikn fiktif juga nggak apa-apa," ujar kawan no urut 1.

Saya yang bukan politisi, diminta bantu membuat proposal kegiatan tersebut dan strategi untuk below the line dan above the line. Sampai hari ini belum saya buat, agak bingung karena ini duit rakyat. Pusing!

Karena pusing itulah saya jadi ingat nasehat juragan batik "Hati-hati, nanti dipolitiki." Mungkin bagus untuk dicetak di T shirt, menyaingi T-shirt "Jangan takut Bicara Politik" produksi M Thoriq di era 80-an yang kini juga jadi politisi.

Wednesday, November 19, 2008

Pelajaran Politik 1

Politik itu cenderung memecah, sedang kebudayaan cenderung menyatukan.

Makanya, cukup menggemparkan jagad politik ketika sebuah partai politik menggagas rekonsiliasi dengan membuat iklan pendek berdurasi 15 detik. Bertema Pahlawan dan Guru Bangsa.

Berbagai protes yang diselubungi beragam argumentasi ilmiah hingga sekadar argumentasi ”ah,ah” menyalak bak senjata otomatik menghamburkan peluru dengan sasaran yang tak terlalu ter-presisi dengan baik. No problem, karena dalam politik yang penting adalah menembak. Bukankah politik itu alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan? So, bila Anda tak meletakkan kecurigaan pada setiap sel jaringan tubuh, Anda bukanlah politisi yang “sukses”.

Namun walau tebal dengan rasa curiga, sebagai politisi anda harus dapat duduk berdampingan, makan bersama, bercanda dan tertawa bersama dengan “mitra” politik Anda. Terserah saja walau sebenarnya Anda ingin atau sedang saling menusuk. Secara dlahir maupun dlamir, kasar maupun tersamar.

Begitulah yang diajarkan politik. Kawan bukanlah sahabat. Musuhnya musuh adalah kawan. Anda tak perlu merasa terhubung secara batin untuk dapat bersahabat. Cukup anda ketahui siapakah lawannya, dan apakah kepentigannya. Bila ia memeliki musuh yang sama dengan Anda maka ia layak menjadi teman. Soal kepentingan, bisalah didiskusikan. Tak ada perkawanan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Para politisi mengistilahkannya dengan aliansi taktis. Perkawanan yang selayaknya segera diputus, begitu tujuan sesaat tercapai.

Seorang guru saya di desa, bukan guru bangsa, tak lekang mewanti-wanti para muridnya agar menjauhi wilayah politik praktis. Kekhawatiran yang sering kami anggap sebagai berlebihan, karena bagi kami saat itu politik sangatlah memikat.

Namun kini beberapa diantara kami, mulai muak. Tapi sebagian lainnya, mulai menikmati. Seorang kawan yang termasuk dalam kaun penikmat politik dan mendapatkan kemewahan harta benda dari politik menasehatikan, jangan gunakan hati gunakan saja akal. Dalam politik tak ada baik dan buruk. Yang ada adalah kalah dan menang.

Sang kawan ini juga memberi nasehat ketika terlontar iseng sekalian ingin bertarung dalam partai politik di tempatnya merumput. “Lebih baik jangan, nanti persahabatan kita akan terampas. Kita akan tetap bisa berjalan bersama, tapi tak lagi seiring setulus hati.”

Wednesday, November 12, 2008

Cerita Lama

Gugatan Dua Bintang Kejora

Berontaklah berkali-kali karena hidup hanya sekali!

Orang biasa hidup dan mati sekali.
Pemberontak mati dan hidup berkali-kali.


Sunday, November 9, 2008

Cerita Nonton Laskar Pelangi

Akhirnya nonton Laskar Pelangi. Minggu, pukul 11.30 WIB berangkat dari rumah, untuk pemutaran pukul 12.15. Sampai di depan loket Citra pukul 12.10, antri, tidak dapat tiket. Pindah ke E Plaza, sama, tiket tersedia hanya untuk pemutaran pukul 19-an, full booked. Ogah, langsung balik kanan. Ngurusin hal lain dulu.

Pukul 15.00 balik lagi antri di depan loket Citra. Begitu nyampe depan penjual, tinggal dua kursi, pojok kanan paling depan, nomor 1 dan 2. Alamak, padahal butuh tiga kursi. Bocahku yang melangkah 6 tahun, boleh ikut masuk tanpa perlu beli tiket. Perempuan kawan hidupku yang perutnya telah membuncit, menunggu hari untuk mengejankan generasi baru kami, dari kejauhan, tersenyum, mengangguk.

Dua tiket segera dicetak. Ngirit Rp 20 Ribu, untuk beli jajanan! Gilanya, Citra tak menyediakan kursi tunggu bagi calon penonton. Beberapa orang, bergerombol duduk lesehan di atas karpet penuh debu. Pun kami, bersila memojok, di bawah patung kertas filem kutunggu jandamu, bersama Jupe. Hot! Bocahku nyengir liat dada montok Jupe. Kali ini dia tidak mengucapkan kata favoritnya "hina wahina". Mungkin tahu, kalo bokapnya suka.

Security, tiba-tiba menyuruh seorang calon penonton ke luar dari ruang tunggu karena membawa minuman yang dibelinya dari luar area 21-an itu. Perempuan kawan hidupku, mengernyitkan dahi dan cemberut melihat itu. Aku bereaksi menenangkan, "Satpam, menjalankan tugas, kalo diprotes kasihan, nggak paham apa-apa".

Tibalah saatnya menonton. Ini kali pertama bagi bocahku ke bioskop. "Yah, gambarnya lebih besar dari TV!," celetuknya, saat filem mulai diputar. Aku menahan tawa, plus tersenyum kecut, membayangkan cibiran penonton yang mendengar celetukan lugu itu. Untung ruangan gelap.

Duduk paling depan, pojok kanan, membuat filem terlihat unik. Gambar sebelah kanan terlihat lebih besar dan tinggi. Nggak apa-apa, yang penting bocahku bisa belajar soal semangat anak-anak Belitong. Agar lebih nyaman, kubiarkan bocahku duduk di kursi, aku pilih lesehan, seperti nonton misbar.

Jadi teringat pengalaman nonton bioskop di Rembang awal 1980-an, waktu itu aku juga masih bocah, sedikit lebih tua dari bocahku sekarang. Filem laga. Juga dapat tempat paling depan, jongkok bersama penonton lainnya yang berjubel. Saat adegan tarung, semua berteriak-teriak memberi semangat, bertepuk tangan agar sang jagoan menang. Ketika sang-antagonis menang, teriakan menghujat bersahutan terlontarkan. Seru!

Pengalaman "partisipasi" penonton yang spontan itu, masih sering saya rasakan ketika beranjak remaja. Namun syaratnya harus di bisokop-bisokop daerah pinggiran. Untuk penonton bioskop kota, hal itu dianggap sebagai urakan, tak beradab, uncivilized.

"Yah, filemnya kok, nggak selesai-selesai," bocahku nyeletuk. Ups, aku kembali tersenyum kecut ia tak jenak, beberapakali menghadap ke belakang, lebih tertarik melihat proyektor yang memancarkan gambar yang lebih besar daripada teve di rumah. Ibunya sigap menerangkan, sambil berbisik-bisik takut mengganggu penonton lainnya, yang tentunya jauh lebih civilized dibanding aku dan bocahku. Akhirnya, ia tercenung ketika adegan Lintang yang tak kembali ke sekolah karena ayahnya, tewas saat melaut. Dahsyat, bocahku nangkep adegan itu. Aku pun, sempat menitikkan air mata. Cuma dikit.

Tirai pintu keluar dibuka, menganggu, lagi-lagi security. Padahal filem belum benar-benar usia. Penonton bertahan duduk, memastikan filem benar-benar selesai. Mereka baru beranjak ketika "teve besar" itu memunculkan kutipan “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” Pasal 31 ayat 1 UU 45 .

Filem yang bagus. Memang tak bisa dibanding-bandingkan dengan bukunya. Dua media yang berbeda, tak fair bila itu dilakukan. Selera tak bisa diperdebatkan. Semoga, saling melengkapi.

Bagiku laskar pelangi membantu mengingat kembali madrasah kayu kami di desa yang kini telah berganti tembok, bayangan temen-teman kecilku yang mengenakan peci bulukan, buku tulis cap banteng, potlot yang memendek karena sering diserut, plastik warna hitam sebagi tas kebanggan, kaki-kaki berkapal tebal tanpa sandal dan sepatu, dan minyak goreng, untuk merapikan rambut. Sekarang? Jangan, minyak goreng mahal!

Friday, November 7, 2008

Obama, Harapan dan Kekecewaan

Saya termasuk orang yang bersuka saat Obama terpilih sebagai Presiden AS. Bahkan jauh-jauh hari saking kesengsemnya dengan strategi kampanye Obama, saat terdampar di Bandung, saya sempatkan membeli Majalah Rolling Stone yang bercover Obama tersenyum menunjukkan giginya yang putih rapi. Bagi saya majalah musik franchise itu tak menarik karena musik tak perlu diulas, cukup dinikmati. Gambar Obama-lah yang mendorong saya membeli majalah itu.

Cuma, saat melihat Obama menang, kemarin, saya mulai melihat banyak pintu kekecewaan yang telah dibuka oleh para pemilihnya di AS, pendukung dan fans-nya dari berbagai penjuru Dunia, termasuk Indonesia. Hidup ini tak selalu ramah pada harapan. Semakin banyak berharap, semakin banyak kekecewaan yang akan Anda tunai.

Apalagi bagi Anda yang selama ini meletakan harapan sebagai reaksi atas situasi yang tak Anda sukai karena faktor eksternal yang sebenarnya telah mampu Anda prediksi, namun tak mempersiapkan antisipiasi sehingga saat datang tak mampu mengendalikan.

Bila Anda meletakkan harapan pada posisi semacam itu, sebaiknya Anda bersiap-siap untuk kecewa. Atau kalau tidak, lebih baik jadi kaum pragmatis, mencoba "beradaptasi"dengan situasi yang tak menyenangkan tersebut. Berlakulah seperti ketika Anda mencium bau tak sedap di toilet, pada saat perut melilit harus buang air besar. Lama-lama hidung Anda yang sensitif bereaksi, menerima dengan ikhlas bau tak sedap itu, bahkan Anda juga rela berlama-lama di dalamnya sambil berkhayal, membaca koran atau bikin buku puisi.

Saran saya, bagi Anda penggemar Obama yang meletakkan harapan pada posisi semacam itu, segeralah mencari stiker wajah Obama dan menempelkan di tembok kakus Anda.

Harapan Anda tak laik digantungkan pada pundak orang lain, padahal pundak Anda kosong. Hemm... benar! Memang kalau itu yang Anda pikirkan, maka sesungguhnya Anda tak memiliki pundak, karena itu selalu mencari pundak orang lain untuk apa yang Anda inginkan dan mencercanya begitu pundak mereka tak mampu menopang harapan Anda.

Monday, November 3, 2008

Iseng

Satu-satunya yang kekal di Dunia ini hanyalah perubahan. Scientist berujar "Perubahan adalah hukum alam". Para Paderi menyebutnya sunnatullah, ketentuan sang kreator alam semesta.

Soal apa itu hukum alam atawa sunnatullah, Kyai Newton memberi contoh gamblang dengan hukum gravitasi; Suatu benda selalu bergerak jatuh ke bawah. Kyai Fadloli, guru madrasah saya saat kanak-kanak, memberi contoh yang tak kalah nyata. Kalau tidak makan sehari penuh, akan lapar. Saya menyebutnya hukum midafas; miskin dan fakir sekali.

Seorang motivator ulung pernah berujar, bila Anda ingin sukses, jangan pernah menentang hukum alam. Bila tak percaya, cobalah angkat ketel yang tengah menahan air mendidih di atas kompor yang masih menyala tanpa menggunakan pelapis tangan. Sang motivator yang botak tapi mempesona itu melanjutkan, "Kekayaan adalah hasil kerja keras, karena itu jangan berharap kaya bila malas, karena begitulah hukum alam". Simpulnya sambil tersenyum ala orang kaya.

Saya yang termasuk kategori pemalas, mengangguk-angguk. Tapi sebagai pemalas sejati, otak saya beberapa hari kemudian mulai menggeliat, menggugat statement sang motivator. Tapi dasar otak pemalas, cuma menggugat saja kerjaanya. Ogah merumuskan gugatan terhadap statement sang motivator. Yang jelas si otak itu mencoba meyakinkan saya bahwa tanpa kerja keras juga bisa kaya. Caranya? Si otak belum memberi tahu jawabanya.

Dampaknya, mulailah otak itu bergerilya, mulai menyerang dari pinggir. Bila perubahan itu hukum alam, sunnatullah, ketentuan sang kreator kenapa zaman yang telah sangat berubah berbanding ratusan tahun yang lalu, tetap dikendalikan dengan nilai-nilai yang "diwahyukan" saat mobil belum ada, pesawat belum dikhayalkan, minyak belum disemprotkan?

Jangan-jangan, perubahan itu godaan. Seperti setan yang menggoda Adam dan Hawa?

Note :
Ini belum selesai, tapi karena otak saya sedang malas, akan dilanjutkan dan diubah alur pikirnya kalau si otak mau dan sempat.