Tuesday, October 6, 2009

Lamban

Lamban, kata yang tersusun dari Enam huruf ini adalah lawan kata cepat. Namun dalam makna praktikalnya, bisa jadi perdebatan -bagi yang suka berdebat dan berpikir- karena tak ada satu alat ukur yang benar-benar betul guna menetapkan sesuatu itu sejati lamban dan sesuatu itu sejati cepat.

Waktu, yang berpondasi angka, bisa jadi akan sangat membantu sebagai alat yang cukup adil untuk menengarai bahwa sesuatu hal berjalan dengan lamban atau cepat. Maka, seluruh Dunia sepakat bahwa satu hari terdiri atas 24 jam. Satu jam tersusun dari 60 menit, 1 menit menjelma dari 60 detik dan 1 detik adalah seper 60 menit.

Selesai sudah ketentuan arti lamban dan cepat, seharusnya. Namun angka ternyata bukan panduan tunggal dan akhir untuk syarat kelayakan penyematan kata lamban atau cepat. Dengan pembilang yang sama, sesuatu bisa disebut cepat di sebuah negeri tapi disebut lamban di negeri lain. Hal yang dikerjakan dan usai dalam hitungan 1 jam, bisa jadi dimaknai cepat di Negara Antah, namun dimaknai lamban di Negeri Berantah.

Situasi, suasana batin dan fisik yang terjadi pada ruang proses, turut memberikan andil dalam penyematan kata lamban atau cepat dan pemaknaanya.

Dalam banyak hal, angka memang memberikan kepastian. Tapi menggantungkan semua pemaknaan hanya pada angka akan membuat Dunia ini terasa gelap karena angka tak memiliki mata hati.


Surabaya,
7 Oktober 2009

Sunday, June 7, 2009

Identitas

Membaca ulang bukun AMin Maalouf, "In The Name of Identity", seperti membuka kembali peta perjalanan hidup. Berlebihan? Bisa jadi.

Tapi bagiku, buku ini membantu mengingatkan soal baju identitas yang sering menjadi bahan bakar munculnya silang sengkarut, adu otot, senyum permakluman hingga prasangka yang menahun, di semua negeri tanpa terkecuali.

Sebuah negeri yang berslogan bhineka tunggal ika-pun, ketika tiba masanya mencari seorang presiden nan ideal, juga sibuk bicara soal identitas, bak mencari kepala suku, pimpinan sekte dan semacamnya. Apakah negeri lain tidak? Hemm...sepertinya juga tak jauh beda.

Soal Identitas, Maalouf menulis, "Kita semua mengira kita paham apa makna kata itu dan terus mempercayainya, bahkan ketika dengan culasnya ia mulai berucap yang sebaliknya."

Sunday, April 5, 2009

Seratus Hari ku Merindui

Bangsal persalinan itu penuh. Di pojok, ranjang ke sepuluh dari pintu masuk sebelah kiri, perempuan paruh baya itu terbaring lemah, kelopak matanya terpejam, dua buah selang kecil yang menjulur dari tabung oksigen berkarat, menempel di hidungnya yang mbangir mungil. Dadanya bergerak naik turun, teratur. Seulas senyum menyembul.

Seorang perempuan remaja, duduk di samping ranjang besi bercat putih yang ke sepuluh. Tanganya terus bergerak mengibaskan kipas dari anyaman bambo, mengusir gerah. Sesekali ia berdiri, merapikan selimut bermotif garis-garis panjang yang mulai pudar yang tersingkap gerakan lemah perempuan paruh baya berhidung mbangir mungil.

Kantuk dan pegal di punggung, ditahannya. Sesekali ia menatap kalender yang tertempel di tembok bangsal. Lima hari telah berlalu. Februari berganti Maret. Tahunnya tetap, 1972. Jam yang tertempel di atas pintu bangsal menunjukkan pukul Tiga sore. Ia bergegas menuju ruang bayi. Senyumnya merekah, pandanganya terpaku pada bayi laki-laki gemuk, 4,5 kg yang menangis keras, dimandikan perawat.

Lima hari lalu, 27 Februari. Pagi hari, perempuan paruh baya itu gelisah. Perutnya yang membuncit kian terasa berat, melilit-lilit. Wajah putihnya yang ayu, tak mampu menyembunyikan kerut-kerut kesakitan. Keringatnya berkucur jauh lebih deras dibanding peluh tukang becak yang mengantranya ke Rumah Sakit Sebiset. Sang suami yang duduk di sisinya, mencoba menenangkan tanpa mampu menyembunyikan rasa paniknya sendiri. Beberapakali i peci hitam yang dikenakanya terjatuh.

Pagi itu menjadi segerah siang, tendangan bertubi-tubi dari dalam perut membuat nafasnya tercekat, wajahnya memerah, mulas tak terperi. Si jabang bayi sungsang, membelit. Wahnan ‘ala wahnin. Dokter cepat memutuskan. Bedah. Tak ada kemewahan dan kenyamanan ala operasi casar era kini. Namun ia bisa tersenyum, saat lamat mendengar bayinya menangis, menghirup udara pertama di bumi.

Bius yang dihirupkan melalui hidung saat pembedahan, pelan-pelan menghilang, meninggalkan rasa kering yang mencekat di kerongkongan, menimbulkan rasa haus nan mencekik. Ia segera minum habis segelas air putih, untuk menuntaskan rasa haus. Fatal. Nafasnya tersenggal-sengal, pandangan menjadi gelap, tersungkur. Panik, perawat dan dokter berpacu membuatnya sadar kembali.

Enam hari berlalu, senyum mulai mengambang di bibirnya yang kering. Kelopak matanya kian lebar membuka, tubuhnya pelan-pelan bergerak siaga, masih lemah, namun keperkasaan seorang ibu telah kembali, mandat mejaga sang bayi, membuatnya bangkit.

Bangsal itu tak seluas yang dulu. Berjajar empat buah ranjang besi warna putih. Antar ranjang dibatasi satir kain hijau yang bisa digeser, bertumpu pada rel gorden di langit-langit bangsal. Di pojok, ranjang keempat, perempuan tua terbaring menahan perih di perut yang terus melilit. Kedua bibirnya bergerak-gerak lirih melantunkan harap dan doa. Saat sakit mereda, ia pun bercerita tentang bahagia.

Seorang perempuan paruh baya dan seorang pria dewasa, duduk di sisinya. Sang perempuan paruh baya tak mampu menyembunyikan rasa lelah di punggungya. Tiap minggu fisio terapi dijalaninya. Sang pria dewasa, berdiri. Memijit-mijit telapak kaki perempuan tua. Mereka berbincang bahagia. Soal bayi perempuan berusia satu bulan. Sang perempuan tua itu berbinar, bertutur bahwa sang bayi perempuan itu segendut pria dewasa kala bayi. Sang pria dewasa tersenyum, membayangkan si bayi perempuan di rumahnya.

Penghujung 2008. Perempuan tua itu tertidur lemah. Dua buah selang kecil terhubung ke hidungnya yang mbangir mungil. Matanya terpejam rapat. Bibirnya terkatup. Lelaki tua yang dulu bersamanya menahan panik di becak, menitikkan air mata. Tanganya mendekap bahu perempuan tua itu. Teringat janjinya mengajak perempuan tua itu, bersama anak-anak dan cucu-cucunya, kembali menengok sanak saudara di tanah kelahiranya bila sehat.

Adzan jum’at berkumandang. Memanggil.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sesungguhnya kami milik Allah dan pada Allah pula kami kembali.

Ibu, seratus hari berlalu, aku masih sering merindukanmu..
Ibu, maafkan atas luka sayatan di perutmu…
Ibu, luka sayatan di batinmu karena lakuku jauh lebih banyak…
Ibu, bayi perempuan itu kian lucu, moga kelak jadi cucu yang membanggakanmu…
Ibu, tak ada upah yang layak bagi ibu selain surga….

Thursday, March 5, 2009

Political Cost ala Caleg

Industri pendidikan, tahun ini, bersaing ketat dengan industri politik. Kedua jenis industri ini memang unik. Walau sebenarnya berbeda tapi karakterisktik peminatnya nyaris sama, suka berebut kursi. Untuk itu, mereka siap adu pintar, hoki, dan tentunya uang. Hoki ataw nasib baik, di negeri ini, senang berkawan dengan uang.

Bagi peminat industri pendidikan perguruan tinggi, yang disebut Cama (Calon Mahasiswa) minimal harus sedia duit Rp 175 Juta agar peluang mendapat kursi kuliah lebih besar. Bila tidak, peluang hoki hanya 20 persen. Estimasi hoki ini, merunut UU Badan Hukum Pendidikan. Dua Puluh persen kursi PTN (Perguruan Tinggi Negeri) untuk kaum miskin. Sayangnya, belum satu PTN pun yang memenuhinya. Jadi, hoki kaum miskin kian kecil.

Bagi peminat industri politik, disebut Caleg (Calon Legislative), minimal harus sedia Rp 75 Juta untuk tingkat DPR Kab/kota, Rp 300 Juta untuk DPR Propinsi, dan minimal Rp 500 Juta untuk DPR RI. Bahkan, Seorang Caleg DPR RI dari Jateng 7, mengaku hingga Februari lalu, telah mengeluarkan lebih dari Rp 1 Miliar.

Soal duit untuk mendapatkan kursi, bila ditimbang-timbang, jadi Caleg relative lebih menjanjikan dan ringan dibanding Cama. Lebih menjanjikan karena bila jadi anggota dewan, jelas kembali modal berikut keuntungan. Lebih ringan karena pesaing untuk sebuah kursi DPRD lebih sedikit. Seratus kursi di DPRD Jawa Tengah, misalnya, satu kursi hanya diperebutkan 14 Caleg.

Kalau uang yang dikeluarkan Caleg lebih besar itu sesaui dengan prinsip ikan besar, perlu umpan besar. Saat ini, banyak umpan yang tersebar di Jawa Tengah. Agar umpan itu tak tumpang tindih, maka KPU (Komisi Pemilihan Umum) membagi Jawa Tengah dalam Sepuluh kapling, biasa disebut Dapil (Daerah Pemilihan).

Meliputi Jateng 1: Kendal, Salatiga, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang, 10 kursi. Jateng 2: Demak, Jepara dan Kudus, 9 kursi. Jateng 3: Blora, Grobogan, Rembang dan Pati, 12 kursi. Jateng 4: Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri , 8 kursi. Jateng 5: Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Surakarta, 10 kursi. Jateng 6: Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Purworejo, Wonosobo, dan Temanggung, 11 kursi. Jateng 7: Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga, 9 kursi. Jateng 8: Cilacap dan Banyumas, 10 kursi. Jateng 9: Brebes, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal, 11 kursi. Dan Jateng 10: Batang, Kab Pekalongan, Kota Pekalongan, dan Pemalang, 10 kursi.

Guna mendapatkan kursi, caleg perlu memprediksi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) untuk Dapil-nya. Misal, untuk Jateng 1, bercermin Pemilu 2004, nilai satu kursi DPRD Propinsi adalah 187 Ribu suara. Caleg tak perlu mendapatkan suara sebanyak itu. Dengan mematok angka 25-50 persen suara dari BPP, dipastikan akan dapat kursi DPRD. Cukup 46 Ribu suara.

Rata-rata dana terbesar caleg di Jateng dikeluarkan untuk memperkenalkan dirinya ke calon pemilih dengan cara memasang baliho, spanduk, stiker dan poster wajah dengan beragam gaya, ala KTP hingga senyum bak produk pasta gigi. Alasanya untuk mendapatkan suara terbanyak, perlu memperkenalkan dirinya ke calon pemilih.

Dana yang tak kalah penting adalah untuk biaya pertemuan calon simpatisan. Bila dianggap perlu, caleg tak ragu untuk memberikan uang amplop agar mereka memilihnya. Caleg menyebut ini sebagai political cost, bukan money politics.

Soal tim sukses. Banyak caleg di Jateng meyakinkan tim suksesnya dengan upah pasca bayar. Akan dibayar setelah si caleg jadi wakil rakyat. Caranya? Hanya tuhan dan caleg itu yang tahu.

Yang jelas, bila boleh membayangkan, Gedung DPRD Jateng Kelak, akan semakin ramai karena tim sukses yang wira-wiri ambil upah pasca bayarnya, sambil menenteng proposal.

Thursday, February 19, 2009

Malang, Jalan Kaki, dan Konyol

Usai makan malam, tak ada kerjaan dan malas nyari-nyari kerjaan, kuputuskan untuk memanfaatkan kaki, menulusuri jalan Letjend Sutoyo, Kota Malang. Tak ada tujuan pasti, asal melangkah, lumayan 2 km terlalap, tanpa terasa. Sepanjang jalan celingak-celinguk persis orang hilang, hilang ingatan. Selain diriku, tak ada orang lain yang berjalan kaki.

Kali pertama ini aku menginjak Malang. Berdasarkan desas-desus, suhu malam hari kota apel ini dingin. Setidaknya lebih dingin dibanding Jakarta, Semarang, Jogja atau Cirebon. Seorang kerabat sempat mengingatkan agar membawa jaket begitu tahu saya akan ke Malang, agar tak menggigil saat malam hari. Namun, sepanjang jalan nan temaram, aku yang hanya mengenakan T-shirt tak meresakan gigitan udara malam yang menusuk tulang. Jauh lebih dingin saat tersekap di ruang pertemuan hotel dan kamar yang ber AC central.

Seorang kawan berujar kalau ingin merasakan dinginya Malang, pergilah ke Batu, dataran yang lebih tinggi. Hemm, kalu begitu Jogja juga tak kalah dingin, di Kaliurang. Semarang juga tak kalah dingin, di Bandungan, pun Jakarta, di Puncak dan kamar-kamar atawa kantor ber-AC.

Jalan kaki di kota asing, malam hari, sendiri, menjadi ritual olah batin nan mengasyikan. Kecanggungan seorang pejalan kaki di kota yang masih asing, mudah sekali dilihat oleh para pelalu lalang dan segerombolan warga asli yang nongkrong di pojok-pojok jalan. Kegamangan-kegamangan kecil yang menyelinap di hati pejalan kaki seperti pencuri yang mengintip-intip kesempatan untuk kabur, setelah menyikat harta berharga.

Ini penulusuran jalan tanpa tujuan. Eh, ada warnet. Iseng mampir, nulis di Blog yang lama tak berisi ini. Usai nulis ini, aku akan balik kembali ke hotel, jalan kaki. Menikmati kegamangan, di kota asing ini.

Bisa jadi Anda akan bilang ini tindakan konyol dan absurd. Tidak apa, saya sendiri juga merasa absurd dan konyol. Melakukan sesuatu tanpa alasan dan tujuan yang jelas, irasional, tak ada raison detre (apa nih?) atas tindakan yang dilakukan. Why, limadzya, kenapa? Harus selalu terjawab gamblang. Bila tidak, menurut standart perdaban dan ke-terakalan, maka itulah kekonyolan.

Pertanyaanya. Lantas, kenapa tuhan mencipataka alam semesta, beserta seluruh isinya bila kemudian akan melulhlantakanya dengan kiamat? Hus..! Jangan tergesa bikin penilaian. Tuhan jelas tak konyol.

Monday, January 19, 2009

Kawan, Berhentilah...

Berhentilah kawan...

Memang belum usai apa yang kau kerjakan. Belum tergapai apa yang kau inginkan. Namun ragamu lelah, jiwamu kelu.

Berhenti itu indah, seperti nafas. Tak melulu menghirup oksigen, pun tak melulu menghempaskan asam arang. Waktu di antaranya, yang sangat sesaat itu, adalah rehat. Indah bukan?

Kawan, manusia moderen sering abai tentang berhenti. Karena itu, mereka perlu dipaksa dengan lampu merah, agar menyempatkan berhenti ketika berkendara. Tak sedikit yang uring-uringan karena itu. Seolah hidup mereka akan hancur karena berhenti. Lupa, bahwa jeda bukanlah usai.

Bagi manusia moderen, kantuk bukanlah tanda bagi tubuh untuk beranjak tidur. Mereka melawan. Maka beragam obat diramu untuk melenyapkan kantuk, laris manis terjual. Aneh. Pun soal hasrat, satu atau dua kali dianggap belum hebat, maka terjelmalah obat kuat. Hak istirahat bagi "burung" pun terlanggar. Aneh.

Istirahat, berhenti sesaat, jeda, tak membuat hidup ini usai. Hidup tak pernah usai. Karena itu kita perlu istirah...

Bagi manusia, mati berkalang tanah pun bukan pertanda usai, itu hanya istirahat untuk kehidupan abadi. Bisa melelahkan. Bisa Menyenangkan.

Kawan, berhentilah karena berhenti itu indah.