Sunday, April 5, 2009

Seratus Hari ku Merindui

Bangsal persalinan itu penuh. Di pojok, ranjang ke sepuluh dari pintu masuk sebelah kiri, perempuan paruh baya itu terbaring lemah, kelopak matanya terpejam, dua buah selang kecil yang menjulur dari tabung oksigen berkarat, menempel di hidungnya yang mbangir mungil. Dadanya bergerak naik turun, teratur. Seulas senyum menyembul.

Seorang perempuan remaja, duduk di samping ranjang besi bercat putih yang ke sepuluh. Tanganya terus bergerak mengibaskan kipas dari anyaman bambo, mengusir gerah. Sesekali ia berdiri, merapikan selimut bermotif garis-garis panjang yang mulai pudar yang tersingkap gerakan lemah perempuan paruh baya berhidung mbangir mungil.

Kantuk dan pegal di punggung, ditahannya. Sesekali ia menatap kalender yang tertempel di tembok bangsal. Lima hari telah berlalu. Februari berganti Maret. Tahunnya tetap, 1972. Jam yang tertempel di atas pintu bangsal menunjukkan pukul Tiga sore. Ia bergegas menuju ruang bayi. Senyumnya merekah, pandanganya terpaku pada bayi laki-laki gemuk, 4,5 kg yang menangis keras, dimandikan perawat.

Lima hari lalu, 27 Februari. Pagi hari, perempuan paruh baya itu gelisah. Perutnya yang membuncit kian terasa berat, melilit-lilit. Wajah putihnya yang ayu, tak mampu menyembunyikan kerut-kerut kesakitan. Keringatnya berkucur jauh lebih deras dibanding peluh tukang becak yang mengantranya ke Rumah Sakit Sebiset. Sang suami yang duduk di sisinya, mencoba menenangkan tanpa mampu menyembunyikan rasa paniknya sendiri. Beberapakali i peci hitam yang dikenakanya terjatuh.

Pagi itu menjadi segerah siang, tendangan bertubi-tubi dari dalam perut membuat nafasnya tercekat, wajahnya memerah, mulas tak terperi. Si jabang bayi sungsang, membelit. Wahnan ‘ala wahnin. Dokter cepat memutuskan. Bedah. Tak ada kemewahan dan kenyamanan ala operasi casar era kini. Namun ia bisa tersenyum, saat lamat mendengar bayinya menangis, menghirup udara pertama di bumi.

Bius yang dihirupkan melalui hidung saat pembedahan, pelan-pelan menghilang, meninggalkan rasa kering yang mencekat di kerongkongan, menimbulkan rasa haus nan mencekik. Ia segera minum habis segelas air putih, untuk menuntaskan rasa haus. Fatal. Nafasnya tersenggal-sengal, pandangan menjadi gelap, tersungkur. Panik, perawat dan dokter berpacu membuatnya sadar kembali.

Enam hari berlalu, senyum mulai mengambang di bibirnya yang kering. Kelopak matanya kian lebar membuka, tubuhnya pelan-pelan bergerak siaga, masih lemah, namun keperkasaan seorang ibu telah kembali, mandat mejaga sang bayi, membuatnya bangkit.

Bangsal itu tak seluas yang dulu. Berjajar empat buah ranjang besi warna putih. Antar ranjang dibatasi satir kain hijau yang bisa digeser, bertumpu pada rel gorden di langit-langit bangsal. Di pojok, ranjang keempat, perempuan tua terbaring menahan perih di perut yang terus melilit. Kedua bibirnya bergerak-gerak lirih melantunkan harap dan doa. Saat sakit mereda, ia pun bercerita tentang bahagia.

Seorang perempuan paruh baya dan seorang pria dewasa, duduk di sisinya. Sang perempuan paruh baya tak mampu menyembunyikan rasa lelah di punggungya. Tiap minggu fisio terapi dijalaninya. Sang pria dewasa, berdiri. Memijit-mijit telapak kaki perempuan tua. Mereka berbincang bahagia. Soal bayi perempuan berusia satu bulan. Sang perempuan tua itu berbinar, bertutur bahwa sang bayi perempuan itu segendut pria dewasa kala bayi. Sang pria dewasa tersenyum, membayangkan si bayi perempuan di rumahnya.

Penghujung 2008. Perempuan tua itu tertidur lemah. Dua buah selang kecil terhubung ke hidungnya yang mbangir mungil. Matanya terpejam rapat. Bibirnya terkatup. Lelaki tua yang dulu bersamanya menahan panik di becak, menitikkan air mata. Tanganya mendekap bahu perempuan tua itu. Teringat janjinya mengajak perempuan tua itu, bersama anak-anak dan cucu-cucunya, kembali menengok sanak saudara di tanah kelahiranya bila sehat.

Adzan jum’at berkumandang. Memanggil.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sesungguhnya kami milik Allah dan pada Allah pula kami kembali.

Ibu, seratus hari berlalu, aku masih sering merindukanmu..
Ibu, maafkan atas luka sayatan di perutmu…
Ibu, luka sayatan di batinmu karena lakuku jauh lebih banyak…
Ibu, bayi perempuan itu kian lucu, moga kelak jadi cucu yang membanggakanmu…
Ibu, tak ada upah yang layak bagi ibu selain surga….