Kondisi sosial politik Indonesia pasca orde baru memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah yang berkuasa. Namun, tak berjalan efektif.
Terbukti, berbagai kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip demokrasi tetap saja terjadi. Berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi biang kerok kehancuran perekonomian Indonesia juga tetap tinggi.
Dalam kondisi semacam itu idealnya pers, sebagai salah satu pilar demokrasi dan alat kontrol sosial, meneguhkan perannya dengan melancarkan berbagai kritik obyektif demi terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif dan efesien.
Namun peran ideal itu sulit dilakukan pers Indonesia karena dalam waktu yang bersamaan, jurnalis juga sibuk berjuang menghadapi berbagai tekanan yang menumpulkan sikap obyektif, independen, dan kritis mereka.
Ada dua macam persoalan yang dapat menumpulkan sikap kritis, indepen dan obyektifitas jurnalis. Pertama, datang dari kondisi internal, yakni lemahnya posisi tawar jurnalis di hadapan manajeman perusahaan pers. terlihat pada rendahnya gaji yang diterima dan diabaikannya aspirasi mereka. Jika memprotes kondisi itu, maka ancaman pemecatan akan segara datang. Anehnya, untuk menghadapi persoalan semacam ini, wartawan ogah membentuk serikat pekerja. Sebagian besar jurnalis, pasrah, mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Yang paling fatal, untuk menutupi kebutuhan hidup yang tak cukup dengan gaji dari perusahaan, beberapa wartawan menerima dan mencari amplop.
Persoalan kedua yang dihadapi oleh jurnalis, berkaitan dengan belitan gurita korupsi yang sangat kuat mengakar ke setiap sektor. Termasuk di dalamnya sektor pers atau media massa.
Berdasar penelitan, 1999-2000, uang negara sebanyak Rp 864 miliar yang dialokasikan kepada 64 BUMN, ludes tanpa bisa dipertanggungjawabkan hanya untuk dana pembinaan (baca: amplop) wartawan yang diberikan secara periodik tiap bulan dan pada setiap acara konferensi pers.
Anggaran “pembinaan” wartawan itu, diambilkan langsung dari departemen yang diajukan melalui RAPBN oleh Sekjen dan Direktur Keuangan ke Depkeu untuk digabung menjadi belanja pemerintahan pusat. Dalam tampilan satuan satu di APBN, dana pembinaan wartawan disamarkan sebagai anggaran belanja barang pemerintahan pusat guna pembelian alat tulis kantor (ATK).
Berdasarkan catatan AJI Indonesia yang dihimpun dari 18 AJI kota dan biro, terlihat bahwa pada setiap Anggaran Belanja dan Pembangunan Daerah (APBD), selalu dialokasikan anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan.
Sebagai sebuah gambaran, Pemerintah Propinsi (Pemprop) Bali pada tahun anggaran 2000-2001 mengalokasikan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 100 juta guna merehabilitasi gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Pemprop Sulawesi Utara (Sultra), menurut catatan AJI Kota Kendari, pada tahun anggaran 2000/2001 tidak menganggarkan dana secara khusus bagi wartawan. Namun setiap konferensi pers sekretariat Pemprop membagikan amplop kepada tiap wartawan yang meliput sebesar Rp 100 ribu per wartawan. Hal itu memang agak berbeda dengan tahun anggaran 1999/2000, yang menyediakan dana khusus untuk pembinaan media dan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Sedang menurut catatan AJI Biro Lampung, pada APBD 2001 Pemprop mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 100 Juta untuk rehabilitasi gedung PWI Cabang Lampung. Uniknya dana itu diambilkan dari pos pembinaan dan pengawasan aparatur di bawah Dinas Pembangunan dan Pemukiman. Di samping itu, DPRD I Lampung setiap bulan membagikan amplop berisi sedikitnya Rp 200 ribu untuk 12 wartawan yang ngebeat.Sedang Pemprop Lampung melalui Biro Humas Setwilda, setiap bulannya juga membagi amplop untuk 50 jurnalis masing-masing sebesar Rp 50 ribu.
Menurut AJI Kota Semarang, Pemprop Jawa Tengah (Jateng) dalam APBD 2001 menganggarkan dana sebanyak Rp 100 juta untuk wartawan yang ngepos di DPRD I Jateng. Dana tersebut kemudian dibagi Rp 20 juta untuk Forum Wartawan Pemda Jateng (FWJT), Rp 30 juta untuk PWI, Rp 40 juta untuk kelompok wartawan lainnya, dan Rp 20 juta untuk seminar yang akan diselenggarakan oleh FWJT. Selain itu, FWJT juga mendapat bantuan mobil dinas Colt T-300 dari Gubernur yang digunakan untuk liputan. Mobil dinas berplat merah ini, bertuliskan Forum Wartawan Pemda Jateng.
Seakan tidak mau kalah, Pemkot Semarang dalam APBD 2001 juga menganggarkan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 83.896 ribu yang dirinci sebagi berikut. Bantuan untuk media cetak Rp 14 juta, bantuan media elektronik Rp 10 juta, bantuan operasioanl siaran langsung Rp 34.898 ribu, forum interaktif media Rp 25 juta, dana pengelolaan Rp 1 juta, dan persiapan untuk itu semua dianggarkan Rp 1,5 juta.
Pemkot Semarang juga memberikan uang amplop secara berkala kepada redaksi kota atau kepala biro antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta bila medianya rutin menayangkan berita-berita pembangunan Kota Semarang.
Sebenarnya, masih banyak data yang dapat dikumpulkan berkaitan dengan jatah amplop yang biasa pula disebut sebagai dana pembinaan wartawan itu, karena hampir setiap instansi pemerintah, mulai dari Tk II hingga pusat, selalu mengalokasikan anggaran untuk waratawan. Uniknya dana itu juga selalu diambil dari alokasi APBD yang seharusnya dikonsentrasikan penuh untuk pembangunan rakyat.
Yang lebih parah lagi, anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan tak pernah dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Hal itu sebenarnya wajar saja, karena memang tidak mungkin dapat dipertanggungjwabkan.
Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang didapatkan dari keringat rakyat dan hutang ke bank dunia, atau semacamnya, amblas begitu saja untuk sebuah program pembinaan yang konyol. Menggaji wartawan yang jelas-jelas bukan pegawai negeri. Pegawai sebuah perusahaan pers yang telah mereguk banyak untung dari industri informasi.
Bisa jadi dana amplop yang diterima dengan gembira oleh wartawan, sebenarnya berasal dari hutang Bank Dunia yang karenanya tiap bayi Indonesia pada tangis pertamanya, harus menanggung beban hutang kakek dan neneknya sebesar Rp 7,3 juta.
------------------------------------------------
Ini merupakan tulisan lama saya yang pernah dimuat di Majalah Independent
No comments:
Post a Comment