”Mari kita bertarung,” ujarnya sambil tersenyum dingin, khas dia. ”Kalau ideologi yang kamu yakini menang, saya rela Anda bunuh. Kalo saya menang, begitu pula sebaliknya,” lanjut dia.
Saya menjawab pendek, ”Ayuk,” juga dengan senyum yang tak kalah dingin. Kami bersalaman. Setelah itu, kami ngobrol hal-hal ringan, saling lempar joke dan tertawa-tawa.
Beberapa kali setelah perbincangan itu, kami masih suka bertemu karena memang komunitas dan jaringan sosial kami sama. Tetap saling menyapa, bercanda, bikin aksi bersama bila merasa cocok, dan bila lapar, juga jajan bersama. Favorit kami di angkringan, nasi kucing. Kami bergantian saling mentraktir, bila punya uang.
Tujuh tahun berlalu, ideologi yang ia yakini maupun aku yakini, sama-sama belum menjadi pemenang. Jadi dia belum bisa membunuh saya.
Di tengah kejenuhan terhadap diri sendiri yang kian ringkih, tak jelas arah, aku merindukan masa-masa saat garis pembatas dimana saya berdiri terlihat begitu gamblang. Saat itu, nilai profesional adalah nilai pribadi yang saya yakini. Tak ada ambigu, tak ada soal kepribadian terpecah.
Laras Asri,
Salatiga 28 Nov 2007
No comments:
Post a Comment