Lebaran itu Bahasa Jawa, dari kata dasar lebar, artinya rampung. Diberi akhiran "an" yang berati rampungan. Di Jawa Tengah, kata lain lebaran yang mashur adalah Bodo. Ini kata serapan dari Bahasa Arab Ba'da yang berarti telah. Para khotib ato tukang khotbah, setelah mengucapkan sukur dan pujian pada Allah yang Maha Suci dan Rasul Muhammad SAW saat pembukaan pidato biasanya akan berujar "amma ba'duh" artinya, adapun setelah itu.
Di kampung saya tinggal, lebaran atau bodo itu tak cuma hari raya idul fitri dan idul adha. Tapi ada lagi, bodo syawal atau disebut juga bodo kupat, lebaran ketupat. Dirayakan Enam hari setelah lebaran idul fitri. Menurut para leluhur, lebaran itu untuk merayakan kesuksesan orang-orang yang berpuasa syawal, puasa selama Enam hari setelah lebaran. Appresiasi untuk mereka yang tak terlena dengan pesta makan-makan setelah satu bulan menahan lapar dan dahaga dari subuh hingga maghrib. Pada bodo kupat inilah, sebenarnya ketupat disajikan, bukan pada saat idul fitri.
Setahu saya, di Demak dan Kendal, bodo kupat dirayakan dengan acara syawalan, semacam pesta rakyat. Ada acara ziarah, wisata, dan pasar malam. Konon, begitu pula di Pekalongan dan beberapa kabupaten atau kota di wilayah Pantura lainnya.
"Laisal 'id liman la yalbisal jadid" begitu syair bahasa arab yang sebenarnya adalah syair guyonan yang artinya, tiada lebaran tanpa baju baru. Maka, di desa tempat saya tinggal, lebaran berarti pula baju baru. Pilihan favoritnya adalah warna-warna mencolok, ngejreng, dari bayi hingga kakek-nenek. Norak? Bisa jadi pangamat fashion yang nyiyir akan bilang begitu. Tapi menurutku, inilah moment yang mengalahkan "kenorakan" model-model ala harajuku. Apalagi semua pengguna warna cerah yang saling bertabrakan itu, berwajah ceria, tanpa bermaksud untuk pamer. Ini hanyalah tradisi.
Bagi orang di desa saya, baju baru, bisa jadi memang hanya satu tahun sekali. Karena itu, anak-anak desa hapal betul parian ledekan "Doro mangan pari durung bodo wis nganayari" yang sering ditujukan pada temannya yang menggunakan baju baru bukan pada hari lebaran, "merpati makan padi, belum lebaran kok sudah nganyari".
Jadi, bapak-bapak dai yang terhormat, warga desa, tidak konsumtif kok, cuma satu tahun sekali. Ini pun, lebih karena bentuk syukur. Bukankah dalam Al-kitab diujarkan "Faama bini'mati rabbika fahaddist; Maka tampakkanlah nikmat tuhanmu". Punya sedikit uang adalah nikmat bagi kami, orang-orang desa, dan karena tak ingin menyembunyikan nikmat Tuhan yang telah terkaruniakan, lihatlah kami punya baju baru. Thanks, ya Allah...
Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin.
No comments:
Post a Comment