Sunday, July 6, 2008

Dagang Sekolah*

Era perdagangan bebas, ternyata tak cukup dimaknai sebagai tak ada sekat Negara dalam berdagang, tapi apapun bisa diperdagangkan Tidak percaya? Datanglah ke Semarang.

Di Ibu Kota Jawa Tengah yang konon menggratiskan biaya pendidikan ini, kini sedang demam dagang bangku sekolah. Harganya, tidak mahal, untuk masuk SMP lewat jalur khusus, cuma perlu membayar Rp 6 Juta hingga Rp 20 Juta, lebih murah dibandingkan membangun gedung sekolah sendiri. Oh, maaf. Bukan membayar, tapi menyumbang.

Guru-guru sekolah di Semarang, pada era perdagangan bebas ini juga kian kreatif menciptakan rumus. Sebuah SMP membuat rumus (X+Y): 2. X adalah skor besarnya sumbangan dan Y skor nilai UASBN. Sumbangan Rp 10 Juta ke atas diberi skor 100, Rp 9,5 Juta skornya 95. Semakin kecil sumbangan semakin kecil nilai X. Sedang Y adalah hasil UASBN. Nilai UASBN 27.01-30 diberi skor 100. Sedang 25.01-27.00 skornya 90, semakin kecil nilai Y semakin kecil pula skor Y. Tidak perlu mengerutkan kening untuk memaknai rumus tersebut.

Pepatah lama mengatakan, “Orang bodoh membuat hal-hal yang mudah menjadi sulit. Sedang orang pandai membuat hal-hal yang sulit menjadi mudah”. Rumus ala para guru hebat itu, semakin meneguhkan kepandaian mereka membuat hal-hal mudah menjadi sulit. Padahal sederhana saja, semakin kecil sumbangan semakin kecil kesempatan masuk sekolah tersebut.

Jadi, kalau mau sekolah pandailah dahulu. Atau kalau tidak, kayalah dahulu. Lebih bagus lagi kalau kaya dan cerdas. Kalau tak cerdas dan kere pula. Maaf, lebih baik jangan sekolah, hanya akan merepotkan para guru dan pengelola sekolah.

Mandat bahwa sekolah seharusnya mendidik, memberdayakan kaum papa dan bodoh sehingga mampu setara, sejajar dengan warga lainnya harus segera dikuburkan. Tak cukup relevan di jaman yang menghitung segala sesuatunya dengan logika dagang ini.

Logika yang menghubung-hubungkan antara harga dengan kwalitas. Antara permintaan dan ketersediaan serta mengambil keuntungan atas situsi tersebut, dengan embel-embel, peningkatan mutu pendidikan.

Sekolah memang membutuhkan biaya untuk fasilitas pendukung proses belajar mengajar sehingga berkwalitas. Tidak ada yang menolak hal itu. Namun itu bukan berarti mengabsahkan cara-cara penggalian dana yang jauh dari nilai-nilai pendidikan itu sendiri, menjadikan ilmu dan sekolah sebagai komoditas, barang dagangan.. Ilmu untuk semua, menjadi ilmu hanya untuk yang cerdas dan kaya.

Dalam hal pendidikan, subsisidi pemerintah mutlak diperlukan. Kalau pemerintah bilang gratis, seharusnya konsekwen dengan hal tersebut serta memberikan informasi yang utuh pada setiap warga. Jangan muter-muter seperti para pedagang jasa operator telepon yang selalu menyembunyikan kalimat yang tertulis kecil-kecil “ketentuan dan syarat berlaku”.

Penarikan sumbangan terhadap orang tua siswa dapat saja dijalankan, dalam kerangka partisipasi, namun harus dengan aturan yang jelas dan monitoring yang ketat agar tak mencederai norma kewajaran dan keadilan yang mencoreng wajah dunia pendidikan.

Pak Wali, pengusaha ya pengusaha, tapi mbok ya, jangan menjadikan ilmu jadi komoditas. Bisa kuwalat.


*(Tulisan ini diterbitkan Koran Tempo 03/07/2008, di kolom Angkringan dengan editan redaktur yang lebih "baik")