Sunday, June 15, 2008

Lelaki Keras Itu

Lelaki yang rambutnya mulai terkikis habis itu terbaring di atas kasur akibat luka menganga di telapak kaki kirinya. Air matanya sesekali bergulir melewati pipi yang keriput, membuka tabir bahwa ia coba menyembunyikan rasa ngilu yang mendera. Lantunan lirih nama Sang Pencipta yang Maha Pengasih keluar dari mulutnya.

Tiga tahun yang lalu Tiga jemari kaki kananya dipotong di meja bedah dokter, namun tak juga membaik. Karena itu begitu kaki kirinya mulai luka akibat “gula” yang terus merecokinya, ia bersikukuh menolak saran dokter untuk kembali merelakan kakinya dipotong.

“Tiga tahun lalu saya percaya dokter, saya telah ikuti saran itu, tapi tak lebih baik,” ujarnya soal keengganan mengikuti petunjuk dokter. Apalagi, menurutnya, saat menyarankan untuk kembali memotong bagian tubuhnya itu sang dokter, lebih banyak menakut-nakuti daripada memberi informasi yang lengkap.

Lelaki itu menolak. Ia adalah lelaki keras hati yang pantang mendapatkan teror. Baginya hidup yang lebih menakutkan dari masa kecil hingga kini tergeletak lemah telah dilaluinya. Bayangan buruk ancaman adalah hidupnya. Masa remaja, ia pernah mashur dengan panggilan Macan karena membekuk lima orang pencuri sekaligus hanya dengan gertakan.

Ia lelaki yang pertama kali keluar kampungnya untuk belajar di perguruan tinggi. Saat pulang ia tak hanya membawa gelar sarjana tapi juga membawa seorang istri dengan tiga bocah kecil yang kini telah memberikan beberapa ”cucu” dan ”cicit” yang membanggakan.

Ia lelaki asing yang membangun sekolah di sebuah desa di tepi kali Pleret, Bantul hingga namanya masuk dalam daftar orang yang harus dibunuh saat PKI begitu kuat. Ia berontak, memobilisasi massa bergaya dengan kedigdayaan mudanya, pamer menaiki kayu beranak tangga pedang menganga, memecahkan kelapa dengan batok kepalanya.

Ia lelaki yang tak gentar untuk dikucilkan karena yakin dengan apa yang dijalaninya. Ia lelaki yang dijebloskan aparat berseragam ke kamar sempit seusai berceramah. Ia lelaki yang menghentikan laju motornya saat gerombolan pemuda mabuk berteriak padanya.

Ia lelaki yang selalu duduk di baris depan forum-forum diskusi saat yang lain memilih duduk di belakang. Ia lelaki yang menggantungkan mimpinya di atas kemampuan mimpinya, mimpi orang-orang yang dikasihinya.

Ia lelaki yang mengajari seorang bocah dengan mengajaknya pergi ke kota-kota yang disingahinya dengan bus, angkot, bemo, opelet, kereta api, kapal laut dan berjalan kaki saat panas kerontang, menggandengnya penuh sayang, meletakkan kepala bocah itu dipangkuanya saat mual mendera dan menggendongnya saat benar-benar lelah.

Ia lelaki yang mengarahkan telunjuknya ke sebuah lembaga pendidikan tinggi sambil berujar kelak bocah itu akan belajar di situ, namun bocah itu tak mewujudkanya. Ia lelaki keras yang senang bercanda dengan bocah itu seolah pemain gulat profesional atau petinju sambil tertawa, saat memeluk dan melontarkan jab-jabnya. Mereka tertawa bersama. Ia lelaki keras dan bocah itu pun keras, hingga mereka tak lagi berbagi sapa hangat untuk waktu yang lama.

Dan kini bocah yang telah menjelma lelaki dewasa itu, hanya dapat bersimpuh tak berdaya, menyembunyikan air mata agar tak terlihat oleh lelaki yang tetap saja keras di usia senja itu.

Untung ia masih ingat sebuah doa yang diajarkan lelaki tua itu saat ia bocah. Terbata-bata dilantunkanya sambil mendukkan muka, meyembunyikan air mata. "Rabbi ighfirli waliwalidayya, warhamhuma kama robbayani soghiro".

"Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaiamana mereka menyayangiku saat aku kecil". Amin...

Sunday, June 8, 2008

Jenggot

Konon katanya Mabes Polri sempat salah tangkap warga saat menggrebek markas FPI, beberapa waktu lalu. Polisi bersikeras warga yang ditangkap tersebut adalah anggota FPI karena ber-jenggot. Setelah sempat menginap di belik jeruji besi, warga tersebut akhirnya dilepas karena terbukti bukan anggota FPI. Naas benar nasibnya, gara-gara jenggot harus menikmati jeruji besi.

Mendengar cerita yang berembel-embel konon katanya itu, saya tersenyum sambil menahan bibir agar tak terbahak-bahak (lawan katanya termehek-mehek). Apalagi si kawan ini, matanya terus memandang jenggot yang menggelantung di dagu saya. Seolah berujar "Cukur deh, jenggot loe daripada jadi korban salah tangkap".

Ngomong-ngomong soal jenggot, saya jadi teringat H Agus Salim, politikus dan diplomat handal pada zaman kemerdekaan. Intelektual otodidak yang memelihara jenggot ini, diledek oleh kaum SI merah saat berpidato pada kongres SI di Semarang. Kaum SI Merah serempak menirukan suara kambing mengembik saat H Agus Salim hendak berpidato. Pria yang suka mengenakan peci buatanya sendiri itu, dengan cerdik menukas "Wah, ternyata banyak kambing yang ikut kongres". Mendapat tohokan yang tak terduga itu, seketika kaum SI merah terdiam. H Agus Salim tersenyum sambil mengelus-ngelus jenggotnya.

Memang mengherankan. Rambut yang tumbuh di dagu itu, bisa menjadi hal sensitif. Ada kaum yang menganggap memelihara jenggot sebagai kewajiban, berdasar interpretasi mereka atas beberapa dalil keagamaan. Beberapa agamawan Islam mengatakan sunah. Tapi soal memelihara jenggot atau berewok, bukan hanya agama Islam. Para Rabi Yahudi semuanya berjenggot. Bahkan kaum Amish, salah satu sekte kristen, di Amerika Serikat melarang kaum lelakinya menyukur jenggot.

Makanya, saya sempat bingung ketika ada kawan aktivis NGO yang hendak belajar ke Amerika sampai-sampai secara khusus ke salon untuk memastikan janggutnya benar-benar klimis, tanpa satu helai rambutpun sebelum pengambilan foto untuk pasport. Dia takut kalau di dagunya yang indah itu tumbuh jenggot dikira teroris dan dilarang masuk Amrik, apalagi namanya agak berbau-bau Arab. Kawan ini ternyata pemerhati filem-filem pabrikan Holywood dan media massa yang selalu menggambarkan teroris berjenggot dengan nama Arab.

Saya teringat beberapa koleksi kaos yang tak lagi muat untuk kupakai bergambar lelaki berjenggot seperti Che Guevara, Karl Marx, Stalin, Ho Chin Min, Fidel Castro dan H Agus Salim. Hemm... otak cerdas saya tiba-tiba membuat sebuh kesimpulan genius, "Kalau mereka bukan teroris, pasti anggota FPI!". Rasanya saya ingin segera lari seperti Arcimides, meneriakan pengambilan kesimpulan yang genius ini.

Cuma kalo sambil telanjang ikut-ikuat Arcimides, bisa-bisa yang diperkarakan bukan hanya soal bulu yang tumbuh di dagu saya.

Jogja, 8 Juni 08