Sunday, December 30, 2007

Hilangnya Sawah Kami

“Kalo sawah jadi pabrik, nanti makan apa?”
“Ya, makan roti.”
“Hahaha..,” Aku tak bisa menahan tawa mendengar jawaban dari bocahku yang kini duduk di TK nol kecil. Alih-alih mau melatih nalar kritis, untuk menerangkan bahwa roti dibuat dari gandum yang juga dipanen dari ladang untuk bocah seusianya, aku sudah kebingungan.

Ya udah, akhirnya aku beralih ngobrol dengan petani baik hati yang mengizinkan ladangnya menjadi tempat bermain bocahku. Petani pemilik tanah seluas tiga bahu itu bercerita bahwa tanahnya sedang ditawar orang kota untuk disulap menjadi pabrik.

“Harga yang diajukan lumayan mas, 150 Ribu per meter. Tapi belum saya lepas, eman-eman,” ujarnya sambil mencabuti benih padi yang siap dipindah tanam di galengan yang lebih luas.

“Iya Bu, eman-eman, bisa-bisa semua tanah nanti jadi milik orang kota, mereka jadikan pabrik atau tetap dibiarkan jadi ladang, tapi kita jadi buruhnya,” aku memprovokasi.

Sebagai wong ndeso, walupun tidak sempurna karena tak punya lahan dan mencangkulpun tak bisa, aku masih saja ngeman-ngeman bila tanah petani satu persatu berpindah kepemilikannya. Beralih profesi menjadi pekerja pabrik, kuli bangunan, pembantu atau tetap menjadi petani tetapi hanya sebagai buruh penggarap, landless.

Sebagai rakjat jelata, aku tak habis pikir kenapa pemerintah negeri agraris ini tak pernah benar-benar peduli terhadap kesejahteraan petani. Pada 1984 dan konon juga 2004, para petani menjadikan negeri ini ber-swasembada pangan (beras), tapi nasib mereka baik pada 1984 mauapun 2004 tetap aja swarba swusah sampai sekarang.

Dibandingkan dengan petani di Thailand, petani kita memang kasihan. Di Negeri Gajah Putih itu, rata-rata pendapatan perkapita petani adalah US$ 2.190. Sedang petani kita US$ 810. Kalau diasumsikan US$ 1 = Rp 9000, maka dalam sebulan petani Thailand mengantongi Rp 1.642.500 sedang petani kita Rp 607.500.

Salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani kita konon karena keterbatasan lahan. Saat ini, lahan pertanian kita cuma 8 Juta hektar dengan jumlah 40 Juta oetani. Bila dirata-rata, maka tiap petani hanya memiliki lahan 0,2 atau 1/5 hektar. Padahal, menurut ahli skala ekonomi, untuk tanaman pangan, khususnya padi, kepemilikan lahan minimal agar petani sejahtera adalah 2 hektar. Itupun dengan asumsi minimal harga gabah kering Rp 1000 per Kg, kurs 1 dolar Amerika sama dengan Rp 9000 dan tiap hektarnya menghasilkan 2 ton gabah kering. Bila itu terwujud maka petani kita menurut standart Bank Dunia baru bisa masuk ke level middle income, nyaris mendekati Thailand.

Tapi, alih-alih melakukan land reform, mengusahakan lahan pertanian untuk petani. Dengan lahan sawah yang cuma 8 Juta hektar, pemerintah malah membiarkan pencaplokan tanah untuk disulap menjadi pabrik. Lantas apakah arti dari pernyataan Presiden SBY soal ketahanan pangan, memperbaiki pendapatan petani, dan pembangunan sektor pertanian? Kalau hal itu aku tanyakan pada bocahku, pasti jawabannya tak kalah lucu dengan jawaban pemerintah.

“Ayo, cukup mainnya, besok lagi,” aku mengajak bocahku yang legam berbalut lumpur sawah untuk pulang. “Bilang terima kasih ke Bu tani sudah boleh main di sawahnya,” ujarku lanjut.

Berjalan pulang, dalam batin aku berharap semoga sawah itu tak dijual untuk diubah menjadi pabrik. Dalam hitunganku telah 5 buah bangunan pabrik yang berdiri di sekitar lahan pertanian di desa kami, 1 buah pabrik dalam proses pembangunan. Itu berarti selain lahan pertanian berkurang, cerobong-cerobong yang menyemburkan asap hitam akan lebih banyak kulihat saat duduk santai melepas penat di beton atap rumah pada sore sepulang memburuh dari kota.

Wednesday, December 26, 2007

Diskusi, Adzan, Kaligrafi dan Lokalisasi

Suara adzan dluhur menghentikan diskusi yang tengah berjalan. Empat pembicara di depan, diam menanti adzan usai. Lamat-lamat saya teringat pelajaran dari guru madrasah yang menyarankan kita diam saat adzan dikumandangkan, dan baru bicara lagi begitu adzan usai.

Begitu adzan usai diskusi dilanjutkan. Belum lagi 15 menit, terdengar adzan lagi. Diskusi kembali dihentikan. Wah, kapan diskusi akan selesai kalau tiap adzan berhenti. Tapi keputusan untuk diam saat adzan kali ini, adalah pilihan yang bijak karena kalau memaksakan tetap ngomong tak akan terdengar, kalah keras dibanding suara TOA dari masjid yang tepat di samping gedung kami berkumpul.

Diam saat adzan terlantunkan sebenarnya bukanlah wajib, hanya sunah muakad, dianjurkan untuk diam tapi kalo tetap nyerocos ngomong juga nggak apa-apa. Semoga aja diskusi tak berhenti lagi begitu terdengar suara adzan, bisa-bisa diskusi tak akan pernah selesai karena jumlah mushola begitu banyak dan adzannya tidak kompak, bersamaan. Mungkin nggak ya, diatur cukup satu masjid yang adzan menggunakan pengeras suara untuk area jangkauan 1 Km persegi, umpanya, sedang mushola atau masjid lainnya adzan tanpa perlu menggunakan pengeras suara. Jaman nabi adzan kan juga nggak pake pengeras suara.

Agak mengherankan juga diskusi yang dilakukan bukan di pesantran ini, tingkat adab majlisnya nyaris seperti bahtsul masail di pesantren. Mungkinkah karena di sisi kiri dan kanan pembicara terdapat lukisan kaligrafi arab yang sangat besar, bertuliskan surat Al-Fatihan dan sebuah ayat yang menceritakan proses reproduksi manusia? Atau karena salah seorang pembicaranya Masruhan Syamsurie Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, partai politik berlambang Ka’bah dari DPRD Propinsi Jateng?

Saya datang terlambat dan tak terlalu menyimak apa yang dipaparkan para pembicara di depan. Tapi intinya, menurut teman panitia diskusi ini dilakukan untuk membahas kerja kreatif seniman lukis Maman Suparman yang memajang 20 kaligrafinya di sudut-sudut kampung Argorejo selama Dua minggu.

Lho, memang apa yang istimewa dengan itu? Para pedagang kaki lima jauh telah lebih dahulu melakukannya, memajang kaligrafi di pinggir jalan, kenapa tidak menjadi bahan diskusi?

Karenanya saya agak takjub juga ketika segerombolan seniman begitu bersamangat mendiskusikan hal tersebut. Oalah, selidik punya selidik ternyata yang dianggap luar biasa itu karena Argorejo alias Sunankuning merupakan lokalisasi terbesar di Semarang yang menampung 578 Wanita Penjaja Seks (WPS).

Bila memang benar itu alasannya, saya menjadi lebih takjub lagi. Lha, emang apa hebatnya pameran kaligrafi di lokalisasi? Ingin meneguhkan bahwa WPS sampah masyarakat dan ayat-ayat Al-Quran sebagai kalam suci yang tak layak disandingkan? Mungkin akan lebih asyik kalo diskusinya diganti membahas kaligrafi yang banyak terpampang di kantor-kantor dinas pemerintah, Depag misalnya, dan korupsi tetap aja tinggi.

Thursday, December 20, 2007

Andai Kutahu

Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar, 10 orang perempuan duduk saling berjejer di antara 22 perempuan lainnya, membentuk bulatan tanpa rongga. Tak ada meja yang menjadi pembatas, tak ada meja yang menjadi tempat bersandar, hanya kursi berjajar.

Saya sendiri duduk di sebuah sofa yang ada di pojok dalam ruangan. Hanya memandang, menyimak, sesekali keluar untuk menghempaskan napas, menumpahkan perasaan dengan pura-pura ke toilet.

Tak boleh ada nama disebut, tak boleh ada gambar diambil. Namun peristiwa haruslah dikabarkan karena ini hikayat tentang ketabahan dan harapan yang terus hidup di tengah belitan akar rimba raya penistaan.

Dari sofa di sudut, kulihat seorang perempuan yang belum lagi genap berusia 20 tahun, memegang mike. Ia menegakkan pandangan bak mesin pemindai, menatap sekilas, satu persatu mereka yang duduk melingkar. Dua bola matanya jernih.

“Saya pekerja seks. Baru dua bulan lalu saya tahu terinfeksi HIV. Saya menangis untuk beberapa hari. Namun kini tidak lagi. Saya harus tetap hidup karena saya harus mencari duit untuk adik-adik dan keluarga,” tuturnya gamblang. Ia memberikan mike ke teman yang duduk di sebelahnya yang bercerita hal yang sama, positif terinfeksi HIV, begitu juga teman yang ada di sebelahnya.

Sepuluh orang perempuan, semuanya terinfeksi HIV, semuanya adalah penjaja seks. Dan semuanya tetap bekerja sebagai penjaja seks karena hidup bagi mereka adalah memberi sesuatu yang tak mereka punya untuk satu-satunya yang mereka punya; keluarga.

Menjadi penjaja seks bukanlah cita-cita yang pernah terlintas di benak mereka saat belia pun hingga kini. Tetap menjadi penjaja seks bukanlah soal kesetiaan profesi. Pun bukan karena dendam berbagi virus dengan para lelaki yang meniduri mereka bergantian tiap malam. “Kami sedih. Di antara kami, masih juga menangis. Tapi tangis tak membuat kami hidup,” begitu mereka berujar. “Saya tak ingin menyebarkan HIV pada sesama perempuan karena perilaku suami mereka,” lanjut salah seorang yang diikuti dengan anggukan setuju yang lainnya.

Mereka belum bisa berhenti menjadi penjaja seks, tapi mereka berupaya menghentikan penyebaran HIV. Memaksa para lelaki untuk mengenakan kondom saat meniduri mereka adalah salah satu upaya. No condom, no sex. “Cukup kami yang terinfeksi HIV”.

Dua Puluh Dua perempuan lainnya mulai sembab mata, beberapa menangis. Mereka adalah bagian dari sepuluh teman mereka yang telah terinfeksi. Bisa jadi soal waktu. Bisa jadi soal belum tahu. Tiba-tiba, beberapa di antara mereka berdiri menyayi.

Andai ku tahu
Kapan tiba ajalku
Ku akan memohon, tuhan tolong panjangkan umurku

Andai kutahu
Kapan tiba masaku
Ku akan memohon, tuhan jangan kau ambil nyawaku

Aku takut akan semua dosa-dosa ku
Aku takut dosa yang terus membayangiku

Andai kutahu
Malaikat Mu akan menjemputku
Izinkan aku, mengucap kata taubat pada Mu

Ampuni aku dari segal dosa-dosa ku
Menangis ku bertobat padamu

Aku manusia yang takut neraka
Namun aku juga tak pantas di surga

Saya kembali ke luar ruangan, pura-pura mau pipis, masuk ke toilet. Di depan cermin toilet kutatap wajahku, gema lagu yang dinyayikan bersama itu masih terdengar. Andai Kutahu…

Denpasar, 14 Desember 2007

Tuesday, December 18, 2007

Malas Nulis


Ada banyak gagasan.
Ada banyak bahan cerita.
Ada banyak perjalanan.
Tapi tak cukup banyak keinginan untuk menulis.
Aku hanya menunggu hujan.

Sunday, December 2, 2007

Merdeka, Kondom dan WPS

Satu Desember 2007, aku menghabiskan waktu tiduran di depan TV. Berkali-kali mengganti chanel, mencari acara yang berkenan di hati namun nihil. Berita-berita didominasi oleh peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) dan berita demo menuntut Papua Merdeka.

Soal berita demo menuntut Papua merdeka, aku tak risau. Adalah hak setiap orang untuk memperjuangkan kemerdekaanya bila merasa terjajah. Sesuatu yang wajar. Jadi ingat permainan sahabat rahasia dalam training yang baru saja usai. Melalui foto yang diedarkan secara acak, aku mendapatkan teman asal Papua. Namanya Paul. Ia aktivis peduli HIV dan AIDS, salah satu kegiatannya adalah menjangkau kawan-kawan Papua yang tengah belajar di Jakarta, ia mendatangi mereka satu per satu atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menerangkan cara penularan dan pencegahan HIV. Paul, tipikal mesin diesel, mulanya pendiam, tapi menjelang akhir pelatihan mulai banyak ngomong dan melucu. Sebagai sahabat rahasia, dia memberiku sebuah kalung dengan gambar Bob Marley. Aku memberinya CD interaktif, learn how to learn dengan memaksimalkan otak kanan. Saat bersalaman untuk berpisah, sambil bercanda aku memekikan kata "Merdeka!". Dia tertawa, wajahnya sumringah.

Soal berita Hari AIDS Sedunia, aku sedikit lebih menyimak. Salah satunya soal demo penolakan pekan kondom nasional yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka mencegah penularan HIV. Menurut para pendemo, pekan kondom nasional, hanya akan menyuburkan free sex! Wow, benarkah, bukankah dengan atau kondom, praktik seks bebas di Indonesia juga terjadi? Tiba-tiba saya teringat syair Minangkabau lawas, yang dikutip oleh Mochtar Lubis dalam
bukunya Manusia Indonesia.

Ke teluk sudah
Ke bukit sudah
Ke Mekah saja yang belum

Berpeluk sudah
Bercium sudah
Menikah saja yang belum

Dengan mengutip syair tersebut, Mochtar Lubis, hendak berujar salah satu sifat Manusia Indonesia adalah munafik. Praktik seks bebas, sudah sejak jaman dahulu terjadi, tapi sok menganggap tak mungkin terjadi di negeri yang agamis ini.

Bila ada yang membuat risau dengan program penanggulangan HIV dan AIDS, bagiku adalah program yang menjadikan Wanita Penjaja Seks (WPS) sebagai target utamanya. Sejak 1997 hingga 2007, program untuk WPS belum menghasilkan apapun. Tingkat Infeksi Menular Seksual di kalangan WPS masih sangat tinggi, rata-rata 80 persen. Tingkat penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks dengan tamu lelakinya juga masih sangat rendah. Satu-satunya hasil kongkrit program semacam itu adalah kian melekatnya label bahwa para WPS lah yang menjadi sumber penularan IMS, HIV dan AIDS di kalangan khalayak luas.

Padahal jumlah lelaki yang suka membeli seks jauh lebih besar dibanding jumlah WPS, sekadar contoh di Semarang, Jawa Tengah jumlah WPS adalah 0,35 persen sedang jumlah lelaki pembeli seks 5 persen. Masa kerja WPS rata-rata 5 tahun, sedang lelaki yang hoby membeli seks bisa menjalaninya hingga 20 tahun. WPS biasanya berpraktik dengan menetap di suatu lokasi. Sementara lelaki yang hoby ngeseks, sering berpindah lokasi hingga ke kota lain untuk meyalurkan hasratnya.

Merisaukan. Kasihan benar teman-teman WPS, tak hanya dituding sebagai tak bermoral, tapi juga diteguhkan harkatnya sebagai penyebar HIV karena program yang tak tepat. Padahal...

Friday, November 30, 2007

Kawan, Aku Merindukanmu

Di tengah kejenuhan, tiba-tiba aku teringat perbincangan pendek saya dengan seorang kawan yang lebih dari 7 tahun ini, tak pernah bersua. Perbincangan pendek di tengah rehat sebuah diskusi di Museum Ronggowarsito itu, bener-benar pendek!

”Mari kita bertarung,” ujarnya sambil tersenyum dingin, khas dia. ”Kalau ideologi yang kamu yakini menang, saya rela Anda bunuh. Kalo saya menang, begitu pula sebaliknya,” lanjut dia.

Saya menjawab pendek, ”Ayuk,” juga dengan senyum yang tak kalah dingin. Kami bersalaman. Setelah itu, kami ngobrol hal-hal ringan, saling lempar joke dan tertawa-tawa.

Beberapa kali setelah perbincangan itu, kami masih suka bertemu karena memang komunitas dan jaringan sosial kami sama. Tetap saling menyapa, bercanda, bikin aksi bersama bila merasa cocok, dan bila lapar, juga jajan bersama. Favorit kami di angkringan, nasi kucing. Kami bergantian saling mentraktir, bila punya uang.

Tujuh tahun berlalu, ideologi yang ia yakini maupun aku yakini, sama-sama belum menjadi pemenang. Jadi dia belum bisa membunuh saya.

Di tengah kejenuhan terhadap diri sendiri yang kian ringkih, tak jelas arah, aku merindukan masa-masa saat garis pembatas dimana saya berdiri terlihat begitu gamblang. Saat itu, nilai profesional adalah nilai pribadi yang saya yakini. Tak ada ambigu, tak ada soal kepribadian terpecah.

Kawan, aku merindukanmu. Apakah kamu juga mengalami seperti yang aku alami saat ini?

Laras Asri,
Salatiga 28 Nov 2007

Sunday, November 11, 2007

Beda Pemimpin dan Manager

Pernah kecewa terhadap atasan? Tahan dulu, bisa jadi perasaan itu muncul karena kita tak bijak menilai atasan. Kalau dia memang manager ya, jangan memaksa dia untuk berlaku selayaknya pemimpin.

Nah, inilah beda pemimpin dan Manager :

Pemimpin

Manager

Diangkat oleh pengikut

Mengandalkan kewibawaan personal power

Bertindak sebagai pencetus ide

Bertanggung jawab pada anak buah

Bagian dari pengikut

Diangkat oleh kekuasaan

Mengandalkan pada kekuasaaan

Bertindak sebagai penguasa

Bertanggung jawab pada atasan

Bagian dari organisasi

Tuesday, November 6, 2007

Bertanya + Tepat = Pandai

Kocap Kacarito....

Saat tengah bete abis. Tiba-tiba otak kanan dan otak kiri saya ngelantur, ribut berdiskusi, saya sendiri terlelap dalam mimpi siang bolong. Untung hati saya cepat bekerja, merekam dialog itu dan menuturkannya kembali ketika terjaga. Tapi dasar hati, diapun merekamnya sesuka hati, tak jelas mana yang pernyataan otak kanan, manapula pernyataan otak kiri.

"Bagaiamana cara Anda menilai seseorang itu cerdas?"
"Dari cara dia bertanya."
"Loh, kok begitu. Kenapa?"
"Karena menjawab lebih mudah daripada bertanya. Jawaban sesuai belum tentu pandai, jawaban ngawur belum tentu pandir. Jawaban berbeda dari pertanyaan yang sama itu soal sisi pandang."
"Jadi, menuru kamu?"
"Orang pandai, orang yang tahu bagaimana, kapan, dimana dan kenapa bertanya,"
"Hemm..."
"Dengan cara bertanya yang cerdas, jawaban-jawaban yang benar, benar-benar akan didapatkan. Pertanyaan adalah kompas, ketika Anda tak bisa menggunakan kompas maka anda akan salah arah."
"Jadi, orang yang mampu menggunakan kompasnya untuk menentukan arah, orang cerdas?"
"Iya. Cara bertanya Anda, akan menentukan Anda kemana akan melangkah.”
”Ooo.., kalo sekarang saya tanya 8 X 234 : 692 + 2,5 /33. Apa jawabmu?
”XXX*****$#@!... sialan loe!”
”Ayo... apa jawabmu?”
”Itu pertanyaan sulit. Tapi nggak cerdas,”
”Hahahaha.... silan juga loe!”
"Hahahaha...."

Ups, tiba-tiba saya terhenyak. Sudah saatnya makan siang nih, saya harus segera menjawab pertanyaan perut yang sangat cerdas.

Wednesday, October 24, 2007

Ya Udah


T: Suka baca?
J: Iya
T: Paling suka baca apa?
J: Baca buku.
T: Iya, buku apa?
J: Buku bacaan.
T: Huh, dasar. Topik yang kamu suka apa?
J: Apa aja. Topik Savalas dan Topik Hidayat juga suka.
T: Ooo....
J: Ooo... juga.
T: Tiap bulan rata-rata berapa buku yang kamu beli?
J: Tergantung.
T:Tergantung pada apa?
J: Ya, tergantung pada cantelan tho...
T: Huahahahaha.....
J: Huahahahaha ....
T : Bulan ini beli berapa buku?
J: Enam buku.
T: Bulan kemarin?
J: Empat buku.
T: Bulan kemarinnya lagi?
J: Empat juga.
T: Buku baru semua?
J: Nggak, ada yang udah dibaca dipinjem teman, dicuri, ilang. Beli lagi.
T: Sempat baca semua?
J: Enggak.
T: Lah, ngapain beli buku nggak dibaca?
J: Ya iseng aja.
T: Katanya hobi baca buku.
J: Memang.
T: Kok nggak dibaca?
J: Iya ya... kenapa ya?
T: Yee... kok balik tanya?
J: Nggak boleh ya?
T: Nggak.
J: Ya udah.

Friday, October 19, 2007

Skeptisme

Kamu bilang:
Skeptisme muncul bukan karena keraguan pada kebenaran, tapi ketiadaan alat yang membantu orang untuk mengetahui kebenaran.

Dia bilang:
Apa saja yang mengandung keraguan, tentu saja, adalah subyek untuk diperdebatkan.

Aku bertanya:
Lantas, apa yang diperlukan untuk membuktikan sesuatu itu benar?

Thursday, October 18, 2007

Lebaran, Usai, Baju Baru

Lebaran itu Bahasa Jawa, dari kata dasar lebar, artinya rampung. Diberi akhiran "an" yang berati rampungan. Di Jawa Tengah, kata lain lebaran yang mashur adalah Bodo. Ini kata serapan dari Bahasa Arab Ba'da yang berarti telah. Para khotib ato tukang khotbah, setelah mengucapkan sukur dan pujian pada Allah yang Maha Suci dan Rasul Muhammad SAW saat pembukaan pidato biasanya akan berujar "amma ba'duh" artinya, adapun setelah itu.

Di kampung saya tinggal, lebaran atau bodo itu tak cuma hari raya idul fitri dan idul adha. Tapi ada lagi, bodo syawal atau disebut juga bodo kupat, lebaran ketupat. Dirayakan Enam hari setelah lebaran idul fitri. Menurut para leluhur, lebaran itu untuk merayakan kesuksesan orang-orang yang berpuasa syawal, puasa selama Enam hari setelah lebaran. Appresiasi untuk mereka yang tak terlena dengan pesta makan-makan setelah satu bulan menahan lapar dan dahaga dari subuh hingga maghrib. Pada bodo kupat inilah, sebenarnya ketupat disajikan, bukan pada saat idul fitri.

Setahu saya, di Demak dan Kendal, bodo kupat dirayakan dengan acara syawalan, semacam pesta rakyat. Ada acara ziarah, wisata, dan pasar malam. Konon, begitu pula di Pekalongan dan beberapa kabupaten atau kota di wilayah Pantura lainnya.

"Laisal 'id liman la yalbisal jadid" begitu syair bahasa arab yang sebenarnya adalah syair guyonan yang artinya, tiada lebaran tanpa baju baru. Maka, di desa tempat saya tinggal, lebaran berarti pula baju baru. Pilihan favoritnya adalah warna-warna mencolok, ngejreng, dari bayi hingga kakek-nenek. Norak? Bisa jadi pangamat fashion yang nyiyir akan bilang begitu. Tapi menurutku, inilah moment yang mengalahkan "kenorakan" model-model ala harajuku. Apalagi semua pengguna warna cerah yang saling bertabrakan itu, berwajah ceria, tanpa bermaksud untuk pamer. Ini hanyalah tradisi.

Bagi orang di desa saya, baju baru, bisa jadi memang hanya satu tahun sekali. Karena itu, anak-anak desa hapal betul parian ledekan "Doro mangan pari durung bodo wis nganayari" yang sering ditujukan pada temannya yang menggunakan baju baru bukan pada hari lebaran, "merpati makan padi, belum lebaran kok sudah nganyari".

Jadi, bapak-bapak dai yang terhormat, warga desa, tidak konsumtif kok, cuma satu tahun sekali. Ini pun, lebih karena bentuk syukur. Bukankah dalam Al-kitab diujarkan "Faama bini'mati rabbika fahaddist; Maka tampakkanlah nikmat tuhanmu". Punya sedikit uang adalah nikmat bagi kami, orang-orang desa, dan karena tak ingin menyembunyikan nikmat Tuhan yang telah terkaruniakan, lihatlah kami punya baju baru. Thanks, ya Allah...

Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin.

Tuesday, October 9, 2007

Berbuka dengan yang Manis

Lima Oktober Hari ABRI. Dapat undangan makan-makan, dari Griya Asa. Tapi ini tidak terkait sama sekali dengan pesta memperingati hari Tentara Nasional Indonesia itu. Jauh banget. Cuma buka bersama, biasa banget kan? Yang nggak biasa, buka bersama itu di Sunankuning, sebuah lokalisasi terbesar di Semarang, bersama teman-teman Wanita Penjaja Seks (WPS) dan Para Mucikari. Kalau sampean tertarik singgah, hanya 15 menit dari bandara Ahmad Yani Semarang.

Saya didapuk memimpin diskusi hingga adzan maghrib. Karena bulan Romadlon dan tajuknya buka puasa bersama, maka pertama-tama, meniru beberapa ustadz, saya tak lupa menyinggung keagungan bulan puasa dan apa yang harus dilakukan saat puasa.

”Bapak, ibu, mbak-mbak dan temen-teman, Al-hamdulillah kita bisa berkumpul di acara diskusi sekaligus buka puasa bersama ini. Nah, dalam bulan yang mulia ini, kita dianjurkan untuk selalu husnu dlon, selalu berpikir positif.” Saya lihat Pak lurah, beberapa mucikari dan pengurus lokalisasi, terlihat mengangguk-angguk, wah jadi semangat, pengen ceramah ala Yusuf Mansur. Hehehe...

”Bila selama ini kita melihat segala sesuatu dari sisi masalah atau persoalan, dalam bulan puasa ini, mari kita coba ber-husnu dlon, berpikir positif, melihat sesuatu dari aspek potensi dan coba maksimalkan potensi itu,” saya lihat mbak-mbak WPS, kali ini, juga mengangguk-angguk, mungkin nggak mau kalah dari mucikari yang duluan mengangguk-angguk. Saya sendiri juga ikut mengangguk-angguk, berpikir apa lagi yang harus saya ujarkan biar tak terjebak jadi tukang ceramah.

”Nah, sambil nunggu buka, sore ini, mari kita berdiskusi. Ini ada hasil pemetaan di Sunankuning yang akan dipaparkan, untuk pengantar diskusi. Silahkan mas...” Saya mempersilahkan Abror untuk menyampaikan hasil pemetaan yang dilakukan beberapa aktivis HIV di Sunankuning beberapa waktu lalu.

Berdasarkan mapping, jumlah WPS yang tinggal dalam lokalisasi 578 orang, sedang yang kost di luar tapi tiap jam ”kerja” datang sebanyak 112 orang. Dari aspek kesehatan, baik yang menetap di SK atau kost, 100 persen positive Infeksi Menular Seksual (IMS)!

Temuan yang menarik, cuma sayangnya baru aspek kesehatan. Sementara aspek ekonomi, sosial, dan praktik-praktik eksploitatif belum muncul dari pemetaan tersebut. Karena keterbatasan waktu, menggunakan otoritas sebagai moderator, diskusi tersebut langsung saya tarik ke soal kesehatan, biar fokus. Soal-soal lain, mungkin pada kesempatan diskusi selanjutnya.

Dengan jumlah IMS sebesar itu, bisa dipastikan jumlah WPS yang rentan tertular HIV di Sunankuning sangatlah banyak apalagi penggunaan kondom sebagai alat pencegahan penularan IMS dan HIV sangatlah rendah. Kesadaran untuk memeriksakan diri ke klinik IMS juga sangat rendah.

”Melihat kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan, akankah kita diam saja melihat mbak-mbak WPS jadi korban HIV?” Saya memancing.

Pak RT, angkat bicara, ia menyoroti soal pencegahan. Menurutnya bila yang bisa digunakan mencegah IMS dan HIV adalah kondom, maka selayaknya distribusi kondom bagi para WPS diperjelas. ”Saya sendiri, menjual kondom di warung saya, tapi sering tidak dapat distribusi kondom sehingga harus membeli di apotik yang harganya lebih mahal jadi harga jual kembalinya juga jadi lebih mahal. Berat bagi mbak-mbak WPS,” ujarnya.

Seorang WPS yang menjadi peer educator angkat bicara. ”Teman-teman WPS sebenarnya sudah menawarkan kondom ke tamu, tapi banyak yang menolak pakai. Lah, daripada nggak dapat duit, walau nggak pake kondom ya, dilayani,” terangnya. Memang posisi tawar WPS sangatlah rendah.

”Para WPS yang kost di luar harus ditertibkan. Semuanya harus dalam lokalisasi,” ujar pengurus lokalisasi. Tapi usulan itu ditolak oleh Pak Lurah karena pasti akan menyebakan keributan karena para pemilik kos yang ditempati para WPS di luar adalah ”orang-orang kuat,” begitu istilah sang lurah.

Saya sendiri, hanya mengatur lalu lalang pembicaraan. Biarin aja, biar saling ngomong dulu, ini kan diskusi jadi bebas aja. Kegaduhan ide dan bicara antar peserta itu, ternyata tidak tahan lama juga. Nah, sekarang kesempatan saya untuk masuk kembali.

”Bapak, Ibu, Embak dan teman-teman, jelas bahwa saat ini angka IMS di Sunankuning sangat tinggi yang akan memacu penularan HIV. Nah, beberapa usulan tadi kita tampaknya ingin melakukan sesuatu, tapi ada beberapa hal yang harus kita selesaikan lebih dahulu yang sayangnya tak bisa sekaligus rampung dan tak bisa dilakukan sendiri-sendiri,” saya berancang-ancang. ”Kita harus bekerjasama bila ingin menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimana kalau kita bentuk pokja untuk mendiskusikan dan memilah-milah masalah yang ada sehingga kita bisa memberikan kontribusi positif bagi Sunankuning?” Saya mengusulkan, seluruh peserta diskusi setuju.

”Nah, karena sudah adzan, bagaimana kalau kita janjian mengadakan pertemuan lagi setelah lebaran dengan peserta yang lebih beragam biar diskusi kita lebih utuh dan bisa segera melakukan sesuatu?” Saya usul lagi dan disetujui lagi. ”Ok, kalau begitu, diskusi ini menyepakati untuk membentuk pokja guna membantu mengatasi persoalan di Sunankuning dan akan merencanakan pertemuan setelah lebaran dengan aganda yang lebih jelas. Sekarang silahkan menikmati buka puasa yang sudah disediakan panitia diskusi,” saya mengunci.

Es kelapa muda yang sejak tadi tersaji di meja, langsung saya sruput. Wuih segar banget! Karena rasa Es kelapa mudanya terasa manis, mbak-mbak WPS yang ikut diskusi juga ada yang manis, dan diskusi ini sendiri juga manis. Saya jadi ingat hadist, ”Berbukalah dengan yang manis”.

Wednesday, October 3, 2007

Vibrant Training

Awalnya adalah sekadar training. Sebagaimana layaknya training, pasti juga gitu-gitu aja. Apalagi, salah satu profesi yang pernah saya lakoni dahulu adalah participant training dan workshop. Dalam sebulan, saat itu, nyaris Dua hingga Tiga training dan workshop saya ikuti. Pesertanya? Ya, wajah-wajah itu juga. Mau soal resolusi konflik, managemen penanggulangan bencana, partisipasi publik, anti korupsi, hingga strategic planning penyusunan isu apapun semua terlahap. Jadi, training atawa workshop, selain menjadi moment untuk perbaikan gizi karena makanan terjamin, jalan-jalan ke luar kota gratis, juga menambah uang saku. Yah, lumayan untuk jatah hidup satu bulan ke depan. "Profesi yang mengasikan bukan?"

Bosen jadi peserta, mulailah saya menjadi fasilitator. Kerana telah kenyang pengalaman jadi peserta, saya mafhum juga, kalau dari satu workshop ke workshop lainnya, ada peserta yang itu-itu juga. Hemm... Profesi saya dahulu ternyata masih ada yang melanjutkan, hehehe...

Tapi beberapa hari lalu, saya mengikuti training yang, sejauh ini sih, lain daripada yang lain. Vibrant Training. Uniknya, sampai training itu selesai saya tak tahu juga apa arti Vibrant. Tapi, apalah arti sebuah nama. Yang jelas, mulai hari pertama hingga usai, saya benar-benar enjoy, peserta lain, tampaknya juga enjoy. Tiada hari tanpa tertawa, sempat ada tangis juga sih, saat sesi refleksi. Tapi bukan soal tawa dan tangis yang mengesankan dalam Vibrant training ini. Pun, sebenarnya, tidak semua sesi mengusung materi yang benar-benar baru. Lantas apa dong? Prosesnya! Fasilitator atau trainer benar-benar percaya pada proses yang berjalan di antara peserta training. Hasilnya? Imajinasi peserta menjadi liar, melihat semua dari sisi potensi, memandang persoalan dari aspek potensi bukan aspek masalah.

Maka, di hotel yang satpamnya pun sempat menolak saya masuk karena naik motor, dan baru mengjinkan begitu tahu saya menginap di hotel tersebut, beberapa hari itu, dibobol dengan kehadiran tukang becak, loper koran, dan pengamen jalanan yang diundang oleh peserta training untuk menjadi guru, teladan pembelajaran bagi kami. Dengan begitu, rasanya tak penting lagi bagi saya untuk mencari apa arti atau definisi vibrant.

Pada malam terakhir, kami yang rata-rata tak mahir memainkan alat musik, semuanya asyik memainkan perkusi di halaman hotel. Untung tidak ada FPI Jogja yang sedang senang-senangnya sweeping di malam bulan puasa. Tapi saya pribadi sih, berharap malam itu FPI sweeping, pasti seru, karena akan kami ajak gabung main perkusi. Lebih baik daripada main ancam dan main kayu bukan?

Monday, October 1, 2007

Kali Code

Tiga Belas hari di Jogja. Malam terakhir, saya harus sempatkan untuk nongkrong. Pukul 12 malam, bersama Budi dari Inspirit, Bangkit dari LPPSLH dan Kristo dari Grisa PKBI-Semarang, saya jalan kaki ke Kali Code. Malam itu rembulan, bulat, memancarkan cahaya dari atas langit Jogja, tertutup oleh awan, sesaat. Kemudian muncul kembali, begitu terus berulang, seperti mengajak bermain cilukba.

Hanya butuh waktu 15 menit jalan kaki dari Mercure ke Code. Dari atas jembatan, terlihat rumah-rumah panggung, tertata rapi, tepat di pinggir kali, para penghuninya mungkin telah lelap dalam mimpi. Sunyi di bawah, tidak dengan di atas, sepanjang trotoar yang tepat berada di atas Kali Code hingga Masjid Suhada, penuh dengan para penikmat warung lesehan, mayoritas mahasiswa, dugaanku. Kami harus jalan agak lama untuk menemukan tempat yang kosong. Syukurlah, sesuai dengan keinginan, ada tempat kosong di trotoar menghadap ke Kali Code.

Dua buah teh poci, ceker ayam goreng, kentang goreng, dan dua potong roti bakar pesanan kami akhirnya datang juga, perlu waktu 30 menit untuk diantar dari sejak pesan! Tak apalah, bukan cemilan yang kami cari, tapi tempat nongkrong. Dan bagi saya, inilah tempat nongkrong paling asyik, ke bawah melihat rumah-rumah mungil tertata rapi dengan beragam bentuk, kebanyakan panggung dan, ke atas melihat rembulan bulat berbinar.

Kami berempat, bertukar lelucon. Tapi saya lebih sering hanya mendengarkan, ikut tertawa bila merasa lucu. Saya tak punya perbendaharaan yang cukup untuk ber-anekdotria. Sebuah daun jatuh menimpa kepala, saya pungut, saya kantongi, dan kini menjadi pembatas buku.

Kali Code. Bukan pertama kali saya melewatinya. Tapi malam ini, rasanya begitu berbeda. Saya teringat sekitar 1986-an, sempat mengkliping sebuah berita dari koran Suara Merdeka, soal rencana penggusuran Kali Code yang ditentang keras oleh Romo Mangunwijaya dengan ancaman mogok makan, berita itu disertai foto Romo Mangun yang terlihat kusut. Tahun itu, saya tengah belajar di Pesantren. Dan Kyai saya yang lumayan melek informasi, seusai sholat maghrib, menceritakan peristiwa heroik yang dilakukan oleh seorang Romo di depan para santri dan jemaahnya. Saya ingat benar cerita itu.

Beberapa tahun kemudian, saya sempat bersua dengan Romo, tapi benar-benar hanya bersua. Dia tengah sibuk dikerubuti wartawan. Saya tak berani menyapanya, ikut berkerumun di sekelilingnya. Mendengarkan apa yang ia katakan. Orang inilah yang bab terakhir novel-nya, Burung-Burung Manyar, menemani saya menunggu tukang tambal ban memperbaiki motor saya yang bocor dalam perjalanan dari Pati ke Semarang.

Dan malam itu, saya kembali menikmati karya seorang anak manusia, bernama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang kembali pada khaliknya pada 1999. Mengapa saya pilih nongkrong di Kali Code, sebetulnya saya ingin bercerita pada dua aktivis muda yang saat itu ikut nongkrong, bagaimana menjadi aktivis sejati dengan bercermin pada karya mendiang Romo Mangun. Tapi malam itu, kami lebih asyik ber-anekdot ria. Memang hidup tak selalu harus tampak tegang dan serius. Mungkin itu pula dulu yang dilakukan oleh Romo Mangun.

Ops, sudah pagi, pukul 2 dini hari kami kembali ke Mercure. Saya tak berani tidur, karena sesaat lagi harus sahur, untuk puasa. Hemm... bilakah ini malam lailatul qodar?

Sunday, September 23, 2007

Ziarah Ke Jogja

Jogja adalah kota banyak orang. Hem.. Sebenarnya saya pingin bilang, Jogja kota semua orang, tapi sepertinya berlebihan, walaupun bisa jadi nyaris benar. Yup, tentunya kebenaran subyektif. Oh, really? Bukankah kebenaran seharusnya obyektif, benar di sini benar juga di sana, benar di si A benar juga di si Z. Waks, saya sedang tak ingin berdebat soal definisi kebenaran.

Kembali ke Jogja. Delapan hari ini saya telah habiskan waktu di Jogja atau setidak-tidaknya Tujuh malam saya tidur menghirup udara Jogja, membuang air kecil dan besar ke bumi Jogja melalui toilet yang ada di Hotel Novotel selama Lima hari dan Hotel Grand Mercure selama Tiga hari. Hanya Tiga kali saya keluar menikmati malam Jogja.

Perjalanan malam pertama, saya nongkrong di warung angkringan Lek Man, samping stasiun kereta Tugu. Menyeruput kopi jos, kopi panas yang ditimpa arang membara, menimbulkan suara Jossss... Sedap, kental, hitam, dan manpit (Manis -manis Pahit) dengan cemilan sate kulit ayam yang lagi-lagi dibakar di atas arang, hangat di mulut. Lesehan, ngobrol ala kadarnya. Menikmati suara pengamen kanak-kanak yang sumbang. Hemm... Jogja malam pertama.

Malam kedua. Belanja buku. Jadi ingat, 15 tahun yang lalu, saya bersama keponakan bela-belain naik motor, selama lebih kurang 3 jam dari Semarang ke Jogja hanya untuk membeli buku di pasar shoping yang harganya jauh lebih murah dibanding tilang yang harus kami bayarkan kepada polisi Magelang yang menyumprit kami dengan alasan melanggar marka jalan. Hemm... semoga uang tilang yang kami sisihkan dengan telaten dari uang saku bulanan itu, benar-benar disetorkan ke kas negara. Dengan atau tanpa tilang, belanja buku di Jogja selalu mengasikkan.

Hanya, kini, ada yang hilang, pasar shoping yang menjadi favorit kami di masa dahulu, telah berubah menjadi kios-kios buku yang kaku. Tak ada lagi keasikan mencari buku dengan mandatangi lapak-lapak kayu yang bersahaja. Aku rindu shoping yang dahulu.

Malam ketiga. Olala..., itu nama kafe di Saphir Square. Meneguk kopi late sambil melihat jalan yang lengang, mungkin karena bulan Ramadlan. Hemm... Jogja sedang musim kafe. Jika mau iseng menghitung, bisa jadi jumlah kafe di Jogja nyaris sebanyak jumlah counter HP dan warung pecel lele! Hehe...

Aku merindui cerita-cerita romantik saat seni sono belum dibongkar. Merindui cerita-cerita tentang Umbu, Presiden Penyair jalanan Malioboro yang menjadi guru bagi penyair-penyair Jogja. Aku merindui Jogja yang tak kutemui di malam ketujuh membaringkan tubuh di kamar hotel.

Kepada guru-guruku di Al-Munawir Krapyak, maafkan aku belum punya ketertarikan kembali untuk menginjakan kaki di pelataranmu...

Thursday, September 13, 2007

Buku adalah Kemewahan dan Membaca Jauh Lebih Mewah

Tiga tahun terakhir ini, saya belum pernah membaca sebuah buku hingga benar-benar selesai, runtut dari awal; kata pengantar, daftar isi, hingga kata terakhir dalam bab akhir. Semenarik apapun buku itu, rasanya belum ada yang saya lahap habis. Bahkan adakalanya begitu memegang buku yang menarik, saya seperti seorang bocah miskin asal desa atau kolong jembatan yang tak pernah memegang makanan enak, saya akan cemil dikit-dikit lembaran buku itu, mencoba mengunyah-ngunyah dan menikmatinya dengan berlama-lama, berharap kelezatan yang saya rasakan tak segera habis karena tertelan masuk ke dalam perut.

Analogi tersebut mungkin tidak tepat, tapi setidaknya begitulah pengalaman kanak-kanak saya dengan makanan lezat saat tinggal di desa dengan rumah berdinding papan dan berlantai tanah.

Saya tetap rajin membeli buku, minimal Tiga buah setiap bulannya, jauh lebih sering dibandingkan membeli baju yang belum tentu Enam bulan sekali. Bagi saya sendiri, membeli buku adalah perilaku mewah di tengah harga buku yang mencekik dan tak semua orang mampu membelinya. Apalagi walau membeli buku bukan berarti saya membacanya. Mungkinkah saya telah menjelma seperti istri mendiang Diktator Filipina Marcos, Imelda yang rajin mengoleksi sepatu hingga ribuan tanpa sempat memakainya? Hemm, mungkin.

Jumlah buku yang saya baca dan beli tak sebanding. Berbalik dengan masa sekitar Sepuluh tahun lalu, saat saya harus meluangkan waktu mojok di perpustakaan agar dapat membaca buku. Saat itu, jumlah buku yang saya baca Sepuluh berbanding Nol dari buku yang saya beli. Sedang sekarang, dari Sepeluh buku yang saya beli, paling cuma satu yang saya baca, benar-benar baca dari awal hingga akhir. Walaupun begitu, begitu mampir ke toko buku, saya tetap keranjingan memborong buku. Begitu yang terjadi tiap bulan.

Di tengah beragam kesulitan hidup yang dialami saudara-saudaraku yang hidup di negeri kaya yang bernama Indonesia ini, membeli buku adalah kemewahan. Namun dapat membaca buku yang dibeli adalah kemewahan yang lebih tinggi satu derajat dari kemewahan membeli buku.

Bila buku dan membaca adalah kemewahan, maka saya berharap bila kelak meninggal maka saya dapat mewariskan kemewahan tersebut.

Tuesday, September 11, 2007

Babe Naas

"Duh ya, Allah aye nggak pantas masuk surga ente
Tapi kalo masuk neraka jahanam kagak kuat juga aye
Karenanye, tobatin dan ampunilah dosa-dosa aye".

Andaikan Abu Nawas, penyair, komedian yang penikmat khamar itu hidup di Betawi mungkin begitulah dia akan berteriak-teriak saat teler oleh tuak di sebuah warung pojok di kawasan Petojo Sabangan seperti gaya para seniman lenong Betawi yang suka bicara dengan suara full power nan cempreng. Namanya, mungkin juga Abu Nawas tapi Babe Naas.

Tapi sejarah bicara lain. Salah satu manusia unik itu lahir di Baghdad, Irak yang kini luluh lantak oleh tentara agresor dan bau darah yang dikucurkan oleh penyamun-penyamun padang pasir yang tak lagi bersenjata pedang, tapi beragam bahan peledak nan mematikan. Bukan lagi hanya buku yang mereka rompak seperti yang dilakukan kakek moyang mereka terhadap Imam Al-Ghozali yang kemudian menjadi mengilhaminya untuk menyimpan pengetahuan di bilik hati bukan di tumpukan buku. "Al-ilmu fi sudur, wala fi sutur" Pustaka ilmu selayaknya di bilik hati bukan hanya di tumpukan kertas. Berjarak ratusan tahun kemudian juga mengilhami Tan Malaka untuk selalu membuat jembatan keledai guna menyimpan buhul-buhul pengetahuan di akalnya, agar tak mudah dirampas oleh tentara agresor, hingga berbuahlah MADILOG yang dijadikan kitab suci kaum kiri kekanak-kanakan.

Para penyamun yang hidup di atas jenazah Abu Nawas, Abdul Qadir Jailani, Al-Halaj dan puluhan lagi jasad-jasad alim yang terkubur di bawah hamparan pasir itu, kini merampas kehidupan. Lupakah mereka dengan tuturan tuhan yang disampaikan dalam bahasa mereka, "Faman ahyannasa, fakaannama ahyannasa jami'a" Barang siapa menjaga kehidupan seorang saja, maka ia laksana menjaga kehidupan setiap orang yang berserak di jagat ini.

Bentar-bentar... Ini tulisan kok, nggak runtut sama sekali tho?
Yang mau ditulis itu soal Abu Nawas, ngejek pemain lenong Betawi, tentara agresor, penyamun, jembatan keledai atau bikin teks khotbah?

Ah, udah dulu ah, kalo mo lebih tahu soal Abu Nawas klik aja tuh.

Ingat Robin Hood atau Si Pitung?

Keduanya adalah pencuri. Yang satu dari England dan satunya lagi dari Batavia. Yang satu pemakan gandum, yang satunya lagi pemakan nasi. Yang satu suka bertopi, yang satunya lagi suka berpeci. Uniknya, sebagai pencuri, keduanya mendapatkan dukungan dari padri. Yang satu dikisahkan didukung seorang pendeta, yang satunya lagi juga direstui guru ngaji. Dan keduanya begitu legendaris, dikenang dalam cerita-cerita kepahlawanan.

Lantas, apa yang membedakan Robinhood dan Si Pitung dengan pencuri-pencuri lainnya? Bukankah mencuri, mengambil barang pihak lain tanpa perkenan siempunya, merupakan perbuatan tercela? Sama tercelanya dengan membunuh, menghabisi nyawa orang lain. Tentunya dengan kadar ketercelaan yang berbeda. Membunuh bisa jadi oleh kebanyakan orang dianggap lebih tercela dibanding mencuri. Tapi benarkah?

Mari kita coba dengan lemparkan pertanyaan, apakah membunuh diperbolehkan? Jawabannya bisa jadi;
a. Tidak boleh

b. Boleh jika Anda terancam.

c. Wajib jika Anda adalah seorang serdadu yang harus memusnahkan musuh. Situasi dan konteks keadaanlah yang menyebabkan jawaban yang berbeda.

Sekarang mari kita coba lemparkan pertanyaan, apakah mencuri dipebolehkan?
a.Tidak boleh

b.Tidak boleh walau Anda terancam lapar.

c.Tidak boleh walau Anda serorang ”pencuri”, cepatlah bertobat jangan jadi pencuri lagi dong! Situasi dan konteks keadaan, tidak akan menyebabkan jawaban tersebut berbeda-beda.

Walau kadar ”kebiadaban” lebih berat membunuh, tapi soal mencuri nyaris jawabannya tunggal. Tidak boleh. Situasi dan konteks keadaan yang menyebabkan dan atau jadi motive atas tindakan yang diambil, tetap saja tak bisa dijadikan eksepsi untuk mencuri. Kenapa? Mana lebih berharga nyawa atau harta?

Bisa jadi, ini patut didiskusikan lebih dalam lagi, kalau kita menggunakan pisau analisis marxian, strukturalis dan matrialisme, mungkinkah pencurian dilarang karena dilakukan oleh jelata yang membahayakan para pemilik modal yang kemudian dibungkus dengan dalih untuk menjaga ketertiban umum? Wee lhadalah, ini pisau analisis paling ngawur kali ya? Jelas iya! Hehehe....

Sunday, August 12, 2007

Doa Sufi Bayazid

Saya sedang gandrung dengan sebuah cerita tentang doa yang saya dapatkan dari iseng, browsing ngintip-ngintip blog secara acak, sambung sinambung tanpa juntrung. Saking gandrungnya dengan cerita doa itu, beberapakali saya tampilkan melalui LCD Proyektor di sela-sela diskusi dengan beberapa teman yang terlibat program pendampingan WPS (Wantia Penjaja Seks) lebih tepat disebut Pedila (Perempuan yang Dilacurkan). Cerita doa ini tak ada hubungannya dengan program pendampingan, tapi saya terlanjur suka untuk mempromosikannya.

Dahulu kala ada seorang Sufi asal Iran yang bernama Bayazid Bastami bercerita "Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!"

"Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas".

"Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’ Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak menyia-nyiakan hidupku!”.

Hemm... cerita yang bagus bukan?
---------------------------------------------------------------------------------
Oh, ya cerita itu saya dapatkan dari blog : mypastpresentandfuture.blogs.friendster.com keliatannya sih, si empunya ini wartawan bekerja untuk media milik istana negara. Mungkin blog-blog lain juga ada, tapi kebetulan aku dapat dari blog itu.

Amplop untuk Wartawan (2)

Adalah tanggung jawab dan kewajiban perusahaan pers untuk menggaji wartawannya secara layak, sebagaimana keuntungan yang telah direguk pihak perusahaan atas kerja keras yang telah dilakukan para wartawannya.

Bila pun, wartawan mendapatkan gaji tak layak karena perusahaan pers tempatnya bekerja belum mapan, bukanlah sebuah alasan yang dapat dibenarkan bila kemudian mencari tambahan dari pembagian amplop yang jelas bukan haknya!

Sebagai pekerja yang berkaitan langsung dan bersentuhan dengan kepentingan publik, selayaknya jurnalis tidak menyalahgunakan profesi atau posisinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang berakibat merugikan pihak lain.

Pendapat bahwa persoalan amplop lebih berkaitan dengan persoalan integritas jurnalis dan sangat personal adalah pendapat yang kurang tepat, karena dalih itu merupakan upaya menjadikan persoalan publik menjadi masalah domestik. Amplop adalah masalah publik karena dampaknya tak hanya ditanggung oleh jurnalis dan pemberi amplop.

Hakekatnya, seorang jurnalis menerima amplop karena posisinya (power) sebagi pewarta. Dia memiliki kekuasaan untuk menulis atau tidak menulis, meliput atau tidak meliput sebuah event. Amplop yang diterimanya karena profesinya sebagi jurnalis, bila bukan jurnalis tak mungkin ia diberi amplop.

Melihat itu jurnalis amplop, dalam bahasa sosiologi korupsinya Syed Hussein Nasar, dapat diklasifikasikan sebagai pelaku mercenary abused of power yang dalam bahasa lain dikenal sebagi kolusi. Amplop biasanya diberikan kepada jurnalis dengan tujuan mempengaruhi atau mendorong si jurnalis untuk tidak membuat atau membuat reportase yang sesuai dengan keinginan pemberi amplop.

Sungguh ironis bila jurnalis menerima atau meminta mplop dengan dalih gaji minim. Dalih semacam itu, sama sekali tak bisa diterima akal sehat. Seperti tak bisa diterimanya dalih aparat pemerintah yang melakukan pungli karena alasan gaji sedikit !

Menolak amplop, sekali lagi bukan sekadar persolan etik atau moral. Namun lebih merupakan bagian dari upaya meneguhkan mekanisme pengaturan yang mengembangkan standar tingkah-laku, akuntabilitas dan keterbukaan di kalangan jurnalis bagi upaya turut berpartisipasi mewujudkan negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta kehidupan demokrasi yang sehat. Inilah, yang penting dan mesti disadari oleh para jurnalis itu sendiri.

Wednesday, August 1, 2007

Amplop untuk Wartawan (1)

Kondisi sosial politik Indonesia pasca orde baru memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah yang berkuasa. Namun, tak berjalan efektif.

Terbukti, berbagai kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip demokrasi tetap saja terjadi. Berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi biang kerok kehancuran perekonomian Indonesia juga tetap tinggi.

Dalam kondisi semacam itu idealnya pers, sebagai salah satu pilar demokrasi dan alat kontrol sosial, meneguhkan perannya dengan melancarkan berbagai kritik obyektif demi terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif dan efesien.

Namun peran ideal itu sulit dilakukan pers Indonesia karena dalam waktu yang bersamaan, jurnalis juga sibuk berjuang menghadapi berbagai tekanan yang menumpulkan sikap obyektif, independen, dan kritis mereka.

Ada dua macam persoalan yang dapat menumpulkan sikap kritis, indepen dan obyektifitas jurnalis. Pertama, datang dari kondisi internal, yakni lemahnya posisi tawar jurnalis di hadapan manajeman perusahaan pers. terlihat pada rendahnya gaji yang diterima dan diabaikannya aspirasi mereka. Jika memprotes kondisi itu, maka ancaman pemecatan akan segara datang. Anehnya, untuk menghadapi persoalan semacam ini, wartawan ogah membentuk serikat pekerja. Sebagian besar jurnalis, pasrah, mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Yang paling fatal, untuk menutupi kebutuhan hidup yang tak cukup dengan gaji dari perusahaan, beberapa wartawan menerima dan mencari amplop.

Persoalan kedua yang dihadapi oleh jurnalis, berkaitan dengan belitan gurita korupsi yang sangat kuat mengakar ke setiap sektor. Termasuk di dalamnya sektor pers atau media massa.
Berdasar penelitan, 1999-2000, uang negara sebanyak Rp 864 miliar yang dialokasikan kepada 64 BUMN, ludes tanpa bisa dipertanggungjawabkan hanya untuk dana pembinaan (baca: amplop) wartawan yang diberikan secara periodik tiap bulan dan pada setiap acara konferensi pers.

Anggaran “pembinaan” wartawan itu, diambilkan langsung dari departemen yang diajukan melalui RAPBN oleh Sekjen dan Direktur Keuangan ke Depkeu untuk digabung menjadi belanja pemerintahan pusat. Dalam tampilan satuan satu di APBN, dana pembinaan wartawan disamarkan sebagai anggaran belanja barang pemerintahan pusat guna pembelian alat tulis kantor (ATK).

Berdasarkan catatan AJI Indonesia yang dihimpun dari 18 AJI kota dan biro, terlihat bahwa pada setiap Anggaran Belanja dan Pembangunan Daerah (APBD), selalu dialokasikan anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan.

Sebagai sebuah gambaran, Pemerintah Propinsi (Pemprop) Bali pada tahun anggaran 2000-2001 mengalokasikan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 100 juta guna merehabilitasi gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pemprop Sulawesi Utara (Sultra), menurut catatan AJI Kota Kendari, pada tahun anggaran 2000/2001 tidak menganggarkan dana secara khusus bagi wartawan. Namun setiap konferensi pers sekretariat Pemprop membagikan amplop kepada tiap wartawan yang meliput sebesar Rp 100 ribu per wartawan. Hal itu memang agak berbeda dengan tahun anggaran 1999/2000, yang menyediakan dana khusus untuk pembinaan media dan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Sedang menurut catatan AJI Biro Lampung, pada APBD 2001 Pemprop mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 100 Juta untuk rehabilitasi gedung PWI Cabang Lampung. Uniknya dana itu diambilkan dari pos pembinaan dan pengawasan aparatur di bawah Dinas Pembangunan dan Pemukiman. Di samping itu, DPRD I Lampung setiap bulan membagikan amplop berisi sedikitnya Rp 200 ribu untuk 12 wartawan yang ngebeat.Sedang Pemprop Lampung melalui Biro Humas Setwilda, setiap bulannya juga membagi amplop untuk 50 jurnalis masing-masing sebesar Rp 50 ribu.

Menurut AJI Kota Semarang, Pemprop Jawa Tengah (Jateng) dalam APBD 2001 menganggarkan dana sebanyak Rp 100 juta untuk wartawan yang ngepos di DPRD I Jateng. Dana tersebut kemudian dibagi Rp 20 juta untuk Forum Wartawan Pemda Jateng (FWJT), Rp 30 juta untuk PWI, Rp 40 juta untuk kelompok wartawan lainnya, dan Rp 20 juta untuk seminar yang akan diselenggarakan oleh FWJT. Selain itu, FWJT juga mendapat bantuan mobil dinas Colt T-300 dari Gubernur yang digunakan untuk liputan. Mobil dinas berplat merah ini, bertuliskan Forum Wartawan Pemda Jateng.

Seakan tidak mau kalah, Pemkot Semarang dalam APBD 2001 juga menganggarkan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 83.896 ribu yang dirinci sebagi berikut. Bantuan untuk media cetak Rp 14 juta, bantuan media elektronik Rp 10 juta, bantuan operasioanl siaran langsung Rp 34.898 ribu, forum interaktif media Rp 25 juta, dana pengelolaan Rp 1 juta, dan persiapan untuk itu semua dianggarkan Rp 1,5 juta.

Pemkot Semarang juga memberikan uang amplop secara berkala kepada redaksi kota atau kepala biro antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta bila medianya rutin menayangkan berita-berita pembangunan Kota Semarang.

Sebenarnya, masih banyak data yang dapat dikumpulkan berkaitan dengan jatah amplop yang biasa pula disebut sebagai dana pembinaan wartawan itu, karena hampir setiap instansi pemerintah, mulai dari Tk II hingga pusat, selalu mengalokasikan anggaran untuk waratawan. Uniknya dana itu juga selalu diambil dari alokasi APBD yang seharusnya dikonsentrasikan penuh untuk pembangunan rakyat.

Yang lebih parah lagi, anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan tak pernah dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Hal itu sebenarnya wajar saja, karena memang tidak mungkin dapat dipertanggungjwabkan.

Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang didapatkan dari keringat rakyat dan hutang ke bank dunia, atau semacamnya, amblas begitu saja untuk sebuah program pembinaan yang konyol. Menggaji wartawan yang jelas-jelas bukan pegawai negeri. Pegawai sebuah perusahaan pers yang telah mereguk banyak untung dari industri informasi.

Bisa jadi dana amplop yang diterima dengan gembira oleh wartawan, sebenarnya berasal dari hutang Bank Dunia yang karenanya tiap bayi Indonesia pada tangis pertamanya, harus menanggung beban hutang kakek dan neneknya sebesar Rp 7,3 juta.
------------------------------------------------
Ini merupakan tulisan lama saya yang pernah dimuat di Majalah Independent

Monday, July 30, 2007

The Power of Dream

Mengubah impian menjadi kenyataan itulah tekad yang tercermin dalam slogan korporat Honda the power of dream. Menerabas ruang yang semula dianggap mustahil menjadi hasil! Honda bisa jadi adalah perusahaan yang dibangun di atas kekuatan mimpi.

Maka meluncurlah berbagai impian itu memenuhi jalan-jalan. Kelibat bayangannya tak lagi cuma menggantang di awan dan buian yang hanya bisa dinikmati oleh sang pemimpi.

Bahkan, ketika kebanyakan orang baru pada tingkat “berencana” mimpi soal mobil cantik, canggih, irit dan ramah lingkungan maka “Honda sang pemimpi” pun, segera menjelmakannya dalam Honda Insight yang hanya memerlukan seliter bensin untuk melahap jarak 34,97 km. Dan itulah the power of dream!

Karena itu setiap manusia selayaknya memiliki mimpi hidup. Dengan keberanian bermimpi hidup akan bermakna lebih dalam, bergairah serta penuh warna. Ketika manusia berani dan berusaha mengejar mimpinya maka ia akan menjelma menjadi mahluk yang sangat bergairah.
Mimpi bak energi penghasil semangat yang mendorong kita bekerjasama dengan orang lain untuk mewujudkannya. Mimpi memberi kita kekuatan besar untuk mengatasi tantangan besar. Mimpi memberikan inspirasi kepada kita untuk menyebarkan kegembiraan mimpi kepada orang lain. Kekuatan mimpi adalah kekuatan kreatifitas yang mampu menghasilkan ide-ide cemerlang.
Bagi manusia, mimpi adalah sebuah energi yang mendorongnya terus bergerak di alam nyata. Untuk itu, memelihara keberanian untuk bermimpi tentang masa depan, tentang sesuatu yang dianggap tak lazim harus terus kita pelihara. Tanpa mimpi kita akan kehilangan energi. Bahkan saat fisik kita kepayahan hingga lelap dalam tidur, Tuhan pun memelihara semangat mimpi dengan menganugerahi kita mimpi.

Energi yang dihasilkan dari mimpi adalah sosok positif yang menganggap segala hambatan dan rintangan tak lebih dari sekadar bagian dari bunga mimpi yang indah. Ingat, hakekatnya tak ada mimpi yang total melenakan.
Dengan keberanian bermimpi kita juga menjadi sadar bahwa tiap orang memiliki mimpinya masing-masing, tak perlu melecehkan atau menghancurkan mimpi orang lain karena menghancurkan mimpi orang lain berarti kita telah mengahuncurkan energi, sumber kekuatan, dan kreatifitas hidup.

Bagi saya pribadi, mipi adalah bentuk kejujuran hati bahwa saya memiliki keinginan sebagaimana layaknya manusia lainnya yang tak bisa saya ingkari. Dan untuk itu saya harus mengerahkan segala daya guna mewujudkan impian tersebut. Yang jelas saya yakin dengan kekuatan mimpi, manusia akan menjadi kian kreatif dan dinamis.

Kalaupun boleh berharap mencampuri mimpi orang lain maka saya berharap setiap orang bermimpi tentang keindahan dan kedamaian bagi sesamanya.

“Aku ingin menjadi penjahat besar yang ditakuti!” pengakuan jujur Wahono , 14 tahun, seorang anak jalanan di Semarang. Bagi dia mungkin itulah mimpi terbesar yang ingin diwujudkannya. Apalah daya bagi Wahono kecuali bermimpi tentang itu.

“Wah, sekarang aku pingin jadi pilot pesawat terbang,” lontarnya beberapa hari kemudian setelah diajak seorang teman main melihat Bandara Ahmad Yani di Semarang. Semoga mimpi Wahono yang kedualah yang akan terwujud kelak!* Saya, lebih beruntung dari Wahono** tentunya.

Tak masuk akal bukan berarti tak mungkin diwujudkan. Pemimpi sejati yakin bahwa tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini.
--------------------------------------------
*Terima kasih untuk Bowo dan Novi yang telah mengajak Wahono 17 tahun yang lalu untuk berani bermimpi. Kawan, masihkah kita punya mimpi-mimpi, seperti waktu dulu?
**Wahono mungkin kamu tak juga jadi pilot. Tapi setidaknya kamu pernah bermimpi.

Wednesday, July 11, 2007

Menunggu Bintang Jatuh

Kawan,
Semalam saya takjub melihat ribuan bintang di langit, begitu indah. Nun agak jauh, saya melihat sambaran petir yang menyala terang, juga terasa begitu indah. Saya melangkah hati-hati di jalan setapak yang juga menjadi pemisah antara satu tambak dengan tambak lainnya, menapak pelan disinari cahaya bulan dan ribuan bintang.

Indah di langit, belum tentu indah di bumi. Bila mata saya begitu dimanjakan dengan keindahan taburan cahaya, maka hidung saya terasa sesak menahan bau amis ikan yang datang dari galengan tambak. Tidak hanya itu, hidung saya juga dipaksa membaui aroma parfum murahan.

Memang ikan pakai perfum? Tentu saja tidak. Bau parfum murahan itu datang dari puluhan perempuan paruh baya yang menjajakan layanan seks di areal tambak. Hemm, saya baru sadar kalau tambak ternyata tak hanya untuk budidaya ikan.

Tertarik? Cukup menyisihkan uang sebesar Rp 25 Ribu maka Anda akan mendapatkan pelayanan eksotik. Bersetubuh di atas tanah, di antara rerimbunan semak, beralas koran beratap ribuan bintang gemintang. Kalau tak punya uang dan tega menawar, dengan 10 Ribu pun Anda bisa menikmati layanan kelas ”bintang” itu. Santai aja, tak perlu takut dipatuk ular. Berdasarkan informasi relawan pendamping ibu-ibu penjaja seks (PS) di tambak itu, baru satu kasus pasangan yang dipatuk ular. Ular sungguhan!

Jadi berdasarkan statistik, tingkat risiko tergigit ular, saat bermain ”ular-ularan” sangatlah rendah. Cuma masalahnya, bisa jadi selamat tidak dipatuk ular sungguhan tapi ”ular” Anda dijamin tidak selamat dipatuk yang lain. Menurut Puji, relawan dari Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Pati, dari sekitar 35 ibu-ibu yang membudidayakan layanan seks di tambak itu, semuanya positif mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS). Jadi Anda bisa selamat dari patukan ular, tapi tidak dari patukan IMS.

Siti 43 tahun, bukan nama sebenarnya, salah seorang pembudidaya layanan seks di areal pertambakan yang terletak di Desa Bumirejo, Juwana, Pati itu, lelaki yang datang untuk main ular-ularan, kebanyakan adalah para penunggu tambak ikan dan para nelayan tradisional yang ada di sekitar tambak. ”Saya berangkat dari rumah setelah maghrib dan biasanya pulang jam sembilan. Kalau sedang ramai, bisa melayani Tujuh orang tamu”.

Tentunya tidak setiap malam ramai. Apalagi kalau sedang musim hujan. Kadang ia dan teman-temannya sama sekali tak mendapatkan tamu. Nah, daripada ”bobor” tidak dapat duit sama sekali, maka 10 Ribupun tidak masalah, yang penting besok masih bisa beli beras dan lauk pauk untuk bertahan hidup. Menawarkan kondom? Boro-boro. Para tamu selalu menolak untuk pakai itu, masak makan pisang dengan kulitnya, begitu dalih para tamu. Kalau tetap ngotot menawarkan pakai kondom, maka uang 10 Ribu pun akan melayang hilang.

Wow, rendah sekali kesadaran akan pentingya kesehatan. Bisa jadi iya. Tapi kesadaran untuk terus dapat makan agar tetap hidup Siti dan teman-temanya sangat tinggi.

Ribuan bintang di langit masih bercahaya indah saat saya hendak balik ke hotel. Hemm... adakah kita juga seperti bintang-bintang itu, indah dengan segala teori yang bercahaya. Namun sayang tetap saja di langit. ”Siti, maafkan kami, tak bersamamu di Bumi”.

Menunggu bintang jatuh dari langit.
Bak..
Menunggu Godot

Monday, July 9, 2007

Mari Bicara Seks!

Mohctar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia, yang sangat tajam mengupas sifat manusia Indonesia, mengutip sebuah pantun lawas dari Minangkabau.
Ke teluk sudah
Ke gunung sudah
Ke Mekah saja yang belum
Memeluk sudah
Mencium sudah
Menikah saja yang belum

Budayawan yang berjuluk wartawan jihad itu, sepertinya hendak mengkhabarkan bahwa praktik seks bebas, jauh-jauh hari telah terjadi di negeri ini. Dan itu terekam dalam jejak pantun yang dikutipnya. Secara telak, Mochta Lubis, merontokkan pendapat sebagian orang yang mengatakan seks bebas bukanlah budaya manusia ndonesia.

Tanpa bermaksud mengabaikan persoalan moral, selayaknya seks dilihat sebagai fakta sosial. Sehingga kacamata yang hitam putih dalam melihat praktik seksualitas di sekitar kita, perlu segera ditukar dengan dengan kacamata yang lebih berwarna dengan cara berpikir yang terbuka.

Perilaku seksual manusia sebenarnya merupakan fenomena yang beragam, baik secara geografis, konteks sosial budaya, kegiatannya, dan bahkan dipersepsikan berbeda antar individu.

Aktivitas seksual individu terkait dengan faktor internal dan eksternal. Karenanya bicara soal seks, perlu pemahaman yang utuh atas seksualitas. Tidak memfokuskan pembahasannya hanya pada fenomena level individual, sebagai unit analisis karena perilaku seksual bukanlah perilaku individual, selalu membutuhkan kehadiran orang lain, minimal satu orang. Pun bahkan saat seseorang masturbasi ia juga membutuhkan ”kehadiran” yang lain. Jadi, perilaku seksual merupakan perilaku sosial, karena :

  • Melibatkan negosiasi dan interplay
  • Kompromi pengharapan dan pengalaman antar individu yang terlibat
  • Kemitraan seksual atau dyadic sebagai unit paling esensial dalam studi seksualitas.
  • Selalu membutuhkan”kehadiran” yang lainnya.

Karenanya, berbicara soal seksualitas selayaknya tidak lagi terjebak pada orientasi faktor biologis dan psikologis. Tapi lebih menekankan pada dimensi-dimensi sosial, eksternal, relasional dan dimensi publik.

Ada tiga pisau analisis yang dapat kita gunakan untuk membedah seksualitas sebagai fenomena sosial : (1) Sripting Theory, (2) Choice theory, dan (3) Network Theory.

Dari ketiga teori tersebut di atas, mari kita mencoba menggunakan pisau analisis scripting theory ; penjelasan atas sexsual content. Pendekatan ini berangkat dari kritik atas cara pandang yang semata-mata menganggap faktor sosial sebagai penghambat kecenderungan seksual. Ortner and Whithead serta Herdt and Stoller berujar bahwa proses sosial budaya berperan sangat mendasar dalam mempengaruhi persepsi kita akan seksualitas dan bagaimana kita mengkonstruksikan dan menafsirkan fantasi dan pandangan-pandangan seksual kita. Faktor biologi hanya berpengaruh kecil atas perilaku seksual.
Beberapa asumsi dasar :

  • Perilaku seksual cenderung ‘lokalitas’
  • Perilaku manusia bukan karena dorongan insting biologis, tetapi lebih karena pengaruh budaya (skenario budaya)
  • Pola perilaku seksual merupakan hasil proses akulturasi dengan budaya yang dianutnya.
  • Perilaku seksual bukan semata demi tuntutan sekenario budaya, tetapi juga dimungkinkan telah termodifikasi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan individu.

Berdasarkan empat prinsip di atas, skenario seksual memfokuskan diri pada perbincangan sebagai berikut :

  • Dengan siapa individu berhubungan seks
  • Kapan dan dimana
  • Apa yang seharusnya mereka lakukan
  • Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut

Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, tak hanya dikaitkan dengan skenario individu, namun selalu dikaitkan dengan skenario budaya. Pemahaman atau keyakinan individu menyangkut domain seksualitasnya berdasar seknario budaya.

Kata kuncinya adalah adanya hubungan timbal balik antara individu dengan aktor-aktor yang merepresentasikan budaya kehidupan seksual seperti media massa, tokoh agama, pendidik, peneliti, aktivis LSM, pun bahkan para pesohor dari dunia hiburan dan seterusnya yang secara kontinyu mereproduksi serta mentransformasi kehidupan seksual di masyarakat.

Sekadar contoh : Promosi penggunaan kondom dalam aktifitas seksual sebagai bagian dari kegiatan pencegahan penyebaran HIV dan AIDS perlu pengkondisian adanya perubahan skenario tentang perilaku seksual individu. Jika sejumlah orang bersikap positif atas skenario baru, tentunya akan berpengaruh pada kesehatan seksual, termasuk menurunkan kasus unwanted pregnancy, aborsi, penyebaran IMS, HIV dan AIIDS.

Secara singkat, prespektif ini secara tegas membedakan antara (1) Skenario budaya (2) Skenario antar pribadi (3) Skenario pribadi (makna individual atas interpretasi dari skenario budaya) yang kemudian ketiga skenario itu dihubungkan satu dengan yang lainnya. Sumbangan penting dari pendekatan ini adalah perlunya membedakan antara persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor kondisional/situasional.

Jadi, bicara seksualitas bukan sekadar soal gaya 69, doggy style, mandi kucing dan besar kecilnya alat vital. Bukan. Walaupun ada kalanya itu memang lebih menarik dibicaran hehehe....

Thursday, June 28, 2007

Negara Tidak Berhak Menguji Saya!

“Negara tidak berhak menguji saya,” begitu selalu yang saya ucapkan, sekitar 10 tahun lalu, kepada teman-teman di sebuah PTS (Perguruan Tinggi Swasta) di Semarang, ketika melihat mereka mulai berduyun-duyun mendaftar ikut ujian negara yang diselenggarakan Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta).
Dan saat mereka sibuk serius menggarap soal-soal ujian negara, saya lebih memilih, menggelar tikar di bawah pohon halaman kampus, membaca buku atau majalah sambil tiduran. Beberapa teman lain yang sedang tidak ikut ujian negara karena bokek atau males seperti saya, biasanya akan ikut bergabung. Jadilah, seperti tamasya dengan pemandangan para mahasiswa yang sedang diuji oleh negara! Untungnya para dosen atu staff kampus tidak mengusik rombongan tamasya kami.

Beberapa tahun kemudian, muncullah kebijakan menghilangkan ujian negara bagi para mahasiswa PTS. Diganti dengan akreditasi untuk menunjukkan level kwalitas sebuah PTS. Kebijakan semacam ini menurut saya lebih baik karena mahasiswa tak perlu ikut dua kali ujian yang melecehkan kemampuan nalar. Tapi yang terpenting bagi para mahasiswa kere seperti saya, walaupun diongkosi beasiswa supersemar, berarti tak harus merogoh kocek lagi hanya untuk diuji.

Akreditasi PTS bisa jadi semacam ISO bagi perusahaan. Wajar diterapkan karena bukankah lembaga pendidikan sekarang juga tak beda-beda jauh dengan perusahaan? Bahkan, kalau Anda punya uang, ingin berinvestasi maka dirikanlah sekolah dan perguruan tinggi, dijamin tidak akan bangkrut! Keuntungan materiil sudah pasti Anda dapatkan. Hitung saja mulai dari pendaftaran, sumbangan gedung, semesteran, praktikum, hingga study banding alias darmawisata semuanya berarti ada uang masuk. Keharuman nama sebagai orang yang peduli pendidikan juga akan Anda sandang. Kagak ada matinye! Begitu kata orang Betawi.

Nah, kalo sekarang para murid SMP dan SMU pada pusing mengahadapi UAN (Ujian Akhir Nasional), takut tidak lulus, saya sebenarnya juga ikut pusing. Lebih tepatnya sih, kasihan atas pendeknya akal mereka akibat otak mereka telah dikebiri oleh sistem belajar yang bernama sekolah. Kenapa harus pusing? Kalaupun tidak lulus UAN, kan bisa ikut ujian persamaan paket B untuk yang setara SMP dan paket C untuk yang setara SMU. Jadi santai sajalah.

Kalau mau lebih bersabar dan cerdas, saat ujian, pergi tamasya saja. Yakinlah tidak lama lagi kebijakan UAN akan hilang. Ingat, ini Indonesia. Ganti menteri-ganti kebijakan.

Thursday, June 21, 2007

Jurnalis VS Realitas

Berita adalah pernyataan dari kenyataan. Ia dirangkai sedemikan rupa atas dasar fakta yang ditemukan oleh pencari berita (jurnalis) baik melalui wawancara dengan nara sumber yang dianggap kredible atau kunjungan langsung ke lapangan, sang jurnalis mengumpulkan dan melihat peristiwa dengan indera yang dimilikinya.

Berita adalah statement of facts. Tak ada berita yang dimunculkan oleh media massa cetak maupun elektronik, yang tak berdasarkan kenyataan. Karenanya berita, selalu bisa ditelusuri. Para koeli tinta, sangat akrab dengan rumus 5 W plus 1 H. What, where, when, who, why dan how. Kejadian apa, dimana, kapan, siapa yang terlibat, kenapa dan bagaimana itu terjadi.

Berita bukanlah kabar burung. Karena itu, harus ada proses chek and rechek yang dijalankan sebelum disiarkan. Ada cover both side, keberimbangan informasi yang harus dijaga bila kabar itu menyangkut kepentingan beberapa pihak, agar adil.

Berita bukanlah opini jurnalis. Bila tak ada peristiwa yang terjadi atau pernyataan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, kemanan, kenyamanan atau ha-hal lain dari ”orang lain”, jurnalis tak boleh berimajinasi dan menyajikan hayalan atau uneg-unegnya kepada khalayak sebagai berita. Jurnalis bukanlah pengarang cerpen, pembuat puisi atau penulis surat pembaca.

Saat kita baca majalah atau koran pagi ini, menonton berita dan gosip di teve, masihkah kita yakin bahwa apa yang kita baca sebagai realitas yang sesungguhnya ataukah hanya realitas media yang direka-reka oleh sang jurnalis?

Semarang, 22 Juli 07

Tuesday, June 5, 2007

Pertanyaan Seorang Pelacur

Bung,
Ada orang yang bersuara indah, banyak yang suka mendengarnya, maka ia menyayi, direkam dan dibeli banyak orang untuk dinikmati. Pun bahkan dengan memperdangarkan suaranya yang pas-pasan pengamen mendapatkan receh yang lumayan.

Bung,
Ada lelaki dan perempuan elok rupawan. Banyak orang suka memandangnya. Jadilah ia pelakon, ia dapat uang dari tiap pemotretan, filem, dan teater yang menampilaknnya.

Bung,
Ada perempuan berotot kuat, ia menjadi kuli panggul di pasar dan dapat uang dari itu.
Pun ada juga lelaki bertenaga, jadi kuli panggul, tukang becak bahkan body guard. Dan mereka mendapatkan uang dari itu.

Bung,
Sedang aku? Punya vagina dan sedikit kemampuan sandiwara, mendesah seolah menikmati tiap penetrasi yang dilakukan para lelaki. Dan kenapa tak boleh kudapatkan uang dari itu?

Bung,
Kamu mau bayar aku berapa..?

Carlita 206, Tegal
9 mei 2007
08.34

Thursday, May 10, 2007

Nak, Malam Ini Kudengar Tangis


Malam ini aku dengar tangis seorang bocah, memangil-manggil nama ayah dan ibunya bergantian. Suaranya serak, karena tangisnya yang berkepanjangan. Sementara suara sang ibu yang tak kalah parau terus meracau, berteriak-teriak penuh amarah kepada sang suami yang hanya dapat terpekur, duduk di atas ranjang papan tua dengan kasur apak.

Sang lelaki berbadan kurus dengan kaos lusuh itu sesekali menarik nafas panjang, melepas kacamata tebalnya yang tak lagi sempurna. Salah satu sisinya pecah, dan gagangnya diplaster agar tetap bisa ia pakai.

Ia mencoba untuk menyela, tapi tak pernah usai dengan sempurna kalimat yang hendak ia sampaikan. Ia sadar, tak bisa meredakan amarah sang istri dan membuat diam suara parau tangis anaknya yang belum lagi genap 6 tahun.

Nyaris 4 tahun ini ia hanya bekerja serabutan. Tak cukup untuk membiayai hidup dia, istri, anak perempuannya yang belum genap berusia 6 tahun, dan dua kakak lelakinya yang masing-masing baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar dan kelas 2 SMP.

Ini tahun ajaran baru, buku baru, seragam baru, iuran dan tetek bengek perlengkapan sekolah yang sangat murah bagi para tuan dan puan kaya, namun sangat berat baginya. Tangis sang balita dan serak parau istrinya yang tak lagi mampu menahan beban himpitan yang terus saja berdatangan, secara bersamaan, ia maklumi dengan hanya menunduk kelu.

Tangis bocah perempuan manis belum genap 6 tahun itu masih terdengar. Sangat sendu, ia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya, sambil terus berisak. “Ibu, ibu, ibu… ayah, ayah, ayah…,” ia kebingungan melihat kedua orang yang sama-sama mencintainya itu berseteru. Ia merindui peluk keduanya, yang sering ia rasakan, walau peluk itu datang tak selalu bersamaan. Ia ingin merasakan rasa kasih dari kedua oarng tunya yang papa yang tak kalah dahsyat dibanding kasih sayang orang tua keluarga mewah, rekaan mimpi sutradara payah! Yang sering ia lihat di kaca telivisi berwarna di rumahnya yang mulai kusam.

Aku ikut menangis. Sungguh, tangisnya yang tersedu-sedu menampar batinku. Aku menangis, kulihat anak dan istriku lelap tertidur, tak terganggu sedikitpun oleh berisik tangis dan suara parau istri tetangga. Aku menangis. Aku datangi bayiku yang baru satu tahun 4 bulan yang lelap dalam tidur. Aku cium keningnya, air mataku meleleh.
Nak ayahmu malam ini menangis. Karena temanmu yang belia tengah tersedu-sedu.
Nak ayahmu menangisi tetangga yang berbagi tembok rumah dengan kita. Mereka tengah galau dengan beban kehidupan.

Sepeda tua, lelaki kurus, memboncengkan perempuan yang sering tampak kuyu, dan seorang bocah perempuan belia yang manis saat tertawa, terlintas di benak. Itu tetangga kita nak, sering kita lihat lewat saat kita duduk di teras rumah kontrakan kita yang sempit, yang menjulur di jalanan gang kampung kita yang padat lalu lalang motor.

Nak, bocah itu sering masuk ke rumah kita, ia sering mengambil makanan kecil langsung dari toples kita tanpa permisi. Dan aku, ayahmu, sering masam muka karenanya, ia juga sering memainkan mainanmu hingga berserakan, dan aku ayahmu juga cemberut karenanya.

Namun nak, malam ini ayah menangis karenanya. Suaranya begitu sendu, seperti tangismu. Dan berjuta tangis bocah-bocah di dunia lainnya. Ia begitu terluka, walau ia sendiri belum tahu makna luka hati.

Nak, ayah ingin kelak bila kau dewasa, bangunlah dengan kesadaran penuh, ada temanmu yang menangis sendu saat kau tertidur lelap. Sadar saat kau tertawa sambil menepuk perut yang kenyang, temanmu kelaparan. Lakukanlah sesuatu, jangan hanya bisa menangis seperti ayahmu malam ini. Lakukanlah sesuatu nak…..

Nak, esok pagi saat kita kembali duduk di teras, berharaplah semoga sobat kecilmu, kembali tertawa riang di boncengan sepeda tua bersama ayah ibunya yang kembali akur tegar, menelusuri jalan kehidupan.

Ujung 12 malam
Semarang, 16 Juli 2004

Wednesday, May 9, 2007

Lelah, Bosan Ataukah...


Sering, aku merasa lelah. Bukan karena tenagaku terkuras usai kerja keras. Ia hinggap begitu saja menyergap bak musuh dalam selimut. Menelikung seluruh energiku hingga luruh, amblas melayang bersama angan yang menjadi bayang-bayang tanpa akhiran.

Kadang aku berpikir itu bukanlah rasa lelah, tapi hanyalah saudara kembar sang-lelah yang bernama kebosanan. Untuk itu, aku kemudian berusaha untuk tak melakukan segala sesuatu berulang-ulang agar bosan itu tak hinggap, menyerap sari semangat yang kian sulit untuk ditumpuk dan digerakkan. Namun, bagaimana aku bisa bosan hanya karena mengulang-ulang? Bukankah bila alasan kebosanan karena keberulangan, yang pertama layak kurasakan untuk bosan adalah bernapas! Karena puluhan tahun ia terus kuulang dalam ritme yang semuanya nyaris sama. Bosankah aku bernapas?

Lantas aku berpikir, ini mungkin bukan lelah atau bosan tapi lebih dahsyat dari keduanya, bisa jadi ini adalah ibu tiri dari rasa lelah dan bosan yang bernama malas! Hahaha… bisa jadi iya. Aku lebih sering berlindung di balik kata bosan untuk mengesankan telah sering kulakukan hingga tak lagi menantang dan menarik! Pun, aku sering menggunakan tameng kata lelah, untuk menunjukkan seolah ku telah bekerja keras saat melakukannya.

Dan saat menyebut kata pemalas, terbayang di benaku para pengemis yang menengadahkan tangan meminta-minta. Tapi beberapa hari ini aku mengamati para pengemis di lampu-lampu merah, juga mereka yang menelusuri gang-gang perkampungan, menyambangi pintu rumah satu persatu. Aku tidak menangkap tulisan kemalasan ada di kening mereka. Menurutku, para pengemis adalah kaum terbaik yang mempraktikan makna kata ketekunan. Bagaimana bisa pemalas jalan berkilo-kilo meter, bertahan di bawah terik matahari, menghadapi penolakan-penolakan hanya untuk receh seharga satu atau dua bungkus permen? Menurutku merekalah para nabi ketekunan.

Motivasi! Tiba-tiba aku ingat kata itu. Semua itu soal niat dan tujuan. Bisa jadi semua ini kurasakan karena aku sendiri tak paham apa arah akhir dari tiap upaya yang kujalankan. Yang kutahu aku tak bosan bernapas karena ingin tetap hidup!

Bagaimana dengan kamu?

Hotel Carlita 206, Tegal
9 Mei 2007 - 08.15 WIB