Tuesday, October 9, 2007

Berbuka dengan yang Manis

Lima Oktober Hari ABRI. Dapat undangan makan-makan, dari Griya Asa. Tapi ini tidak terkait sama sekali dengan pesta memperingati hari Tentara Nasional Indonesia itu. Jauh banget. Cuma buka bersama, biasa banget kan? Yang nggak biasa, buka bersama itu di Sunankuning, sebuah lokalisasi terbesar di Semarang, bersama teman-teman Wanita Penjaja Seks (WPS) dan Para Mucikari. Kalau sampean tertarik singgah, hanya 15 menit dari bandara Ahmad Yani Semarang.

Saya didapuk memimpin diskusi hingga adzan maghrib. Karena bulan Romadlon dan tajuknya buka puasa bersama, maka pertama-tama, meniru beberapa ustadz, saya tak lupa menyinggung keagungan bulan puasa dan apa yang harus dilakukan saat puasa.

”Bapak, ibu, mbak-mbak dan temen-teman, Al-hamdulillah kita bisa berkumpul di acara diskusi sekaligus buka puasa bersama ini. Nah, dalam bulan yang mulia ini, kita dianjurkan untuk selalu husnu dlon, selalu berpikir positif.” Saya lihat Pak lurah, beberapa mucikari dan pengurus lokalisasi, terlihat mengangguk-angguk, wah jadi semangat, pengen ceramah ala Yusuf Mansur. Hehehe...

”Bila selama ini kita melihat segala sesuatu dari sisi masalah atau persoalan, dalam bulan puasa ini, mari kita coba ber-husnu dlon, berpikir positif, melihat sesuatu dari aspek potensi dan coba maksimalkan potensi itu,” saya lihat mbak-mbak WPS, kali ini, juga mengangguk-angguk, mungkin nggak mau kalah dari mucikari yang duluan mengangguk-angguk. Saya sendiri juga ikut mengangguk-angguk, berpikir apa lagi yang harus saya ujarkan biar tak terjebak jadi tukang ceramah.

”Nah, sambil nunggu buka, sore ini, mari kita berdiskusi. Ini ada hasil pemetaan di Sunankuning yang akan dipaparkan, untuk pengantar diskusi. Silahkan mas...” Saya mempersilahkan Abror untuk menyampaikan hasil pemetaan yang dilakukan beberapa aktivis HIV di Sunankuning beberapa waktu lalu.

Berdasarkan mapping, jumlah WPS yang tinggal dalam lokalisasi 578 orang, sedang yang kost di luar tapi tiap jam ”kerja” datang sebanyak 112 orang. Dari aspek kesehatan, baik yang menetap di SK atau kost, 100 persen positive Infeksi Menular Seksual (IMS)!

Temuan yang menarik, cuma sayangnya baru aspek kesehatan. Sementara aspek ekonomi, sosial, dan praktik-praktik eksploitatif belum muncul dari pemetaan tersebut. Karena keterbatasan waktu, menggunakan otoritas sebagai moderator, diskusi tersebut langsung saya tarik ke soal kesehatan, biar fokus. Soal-soal lain, mungkin pada kesempatan diskusi selanjutnya.

Dengan jumlah IMS sebesar itu, bisa dipastikan jumlah WPS yang rentan tertular HIV di Sunankuning sangatlah banyak apalagi penggunaan kondom sebagai alat pencegahan penularan IMS dan HIV sangatlah rendah. Kesadaran untuk memeriksakan diri ke klinik IMS juga sangat rendah.

”Melihat kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan, akankah kita diam saja melihat mbak-mbak WPS jadi korban HIV?” Saya memancing.

Pak RT, angkat bicara, ia menyoroti soal pencegahan. Menurutnya bila yang bisa digunakan mencegah IMS dan HIV adalah kondom, maka selayaknya distribusi kondom bagi para WPS diperjelas. ”Saya sendiri, menjual kondom di warung saya, tapi sering tidak dapat distribusi kondom sehingga harus membeli di apotik yang harganya lebih mahal jadi harga jual kembalinya juga jadi lebih mahal. Berat bagi mbak-mbak WPS,” ujarnya.

Seorang WPS yang menjadi peer educator angkat bicara. ”Teman-teman WPS sebenarnya sudah menawarkan kondom ke tamu, tapi banyak yang menolak pakai. Lah, daripada nggak dapat duit, walau nggak pake kondom ya, dilayani,” terangnya. Memang posisi tawar WPS sangatlah rendah.

”Para WPS yang kost di luar harus ditertibkan. Semuanya harus dalam lokalisasi,” ujar pengurus lokalisasi. Tapi usulan itu ditolak oleh Pak Lurah karena pasti akan menyebakan keributan karena para pemilik kos yang ditempati para WPS di luar adalah ”orang-orang kuat,” begitu istilah sang lurah.

Saya sendiri, hanya mengatur lalu lalang pembicaraan. Biarin aja, biar saling ngomong dulu, ini kan diskusi jadi bebas aja. Kegaduhan ide dan bicara antar peserta itu, ternyata tidak tahan lama juga. Nah, sekarang kesempatan saya untuk masuk kembali.

”Bapak, Ibu, Embak dan teman-teman, jelas bahwa saat ini angka IMS di Sunankuning sangat tinggi yang akan memacu penularan HIV. Nah, beberapa usulan tadi kita tampaknya ingin melakukan sesuatu, tapi ada beberapa hal yang harus kita selesaikan lebih dahulu yang sayangnya tak bisa sekaligus rampung dan tak bisa dilakukan sendiri-sendiri,” saya berancang-ancang. ”Kita harus bekerjasama bila ingin menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimana kalau kita bentuk pokja untuk mendiskusikan dan memilah-milah masalah yang ada sehingga kita bisa memberikan kontribusi positif bagi Sunankuning?” Saya mengusulkan, seluruh peserta diskusi setuju.

”Nah, karena sudah adzan, bagaimana kalau kita janjian mengadakan pertemuan lagi setelah lebaran dengan peserta yang lebih beragam biar diskusi kita lebih utuh dan bisa segera melakukan sesuatu?” Saya usul lagi dan disetujui lagi. ”Ok, kalau begitu, diskusi ini menyepakati untuk membentuk pokja guna membantu mengatasi persoalan di Sunankuning dan akan merencanakan pertemuan setelah lebaran dengan aganda yang lebih jelas. Sekarang silahkan menikmati buka puasa yang sudah disediakan panitia diskusi,” saya mengunci.

Es kelapa muda yang sejak tadi tersaji di meja, langsung saya sruput. Wuih segar banget! Karena rasa Es kelapa mudanya terasa manis, mbak-mbak WPS yang ikut diskusi juga ada yang manis, dan diskusi ini sendiri juga manis. Saya jadi ingat hadist, ”Berbukalah dengan yang manis”.

No comments:

Post a Comment