Monday, October 1, 2007

Kali Code

Tiga Belas hari di Jogja. Malam terakhir, saya harus sempatkan untuk nongkrong. Pukul 12 malam, bersama Budi dari Inspirit, Bangkit dari LPPSLH dan Kristo dari Grisa PKBI-Semarang, saya jalan kaki ke Kali Code. Malam itu rembulan, bulat, memancarkan cahaya dari atas langit Jogja, tertutup oleh awan, sesaat. Kemudian muncul kembali, begitu terus berulang, seperti mengajak bermain cilukba.

Hanya butuh waktu 15 menit jalan kaki dari Mercure ke Code. Dari atas jembatan, terlihat rumah-rumah panggung, tertata rapi, tepat di pinggir kali, para penghuninya mungkin telah lelap dalam mimpi. Sunyi di bawah, tidak dengan di atas, sepanjang trotoar yang tepat berada di atas Kali Code hingga Masjid Suhada, penuh dengan para penikmat warung lesehan, mayoritas mahasiswa, dugaanku. Kami harus jalan agak lama untuk menemukan tempat yang kosong. Syukurlah, sesuai dengan keinginan, ada tempat kosong di trotoar menghadap ke Kali Code.

Dua buah teh poci, ceker ayam goreng, kentang goreng, dan dua potong roti bakar pesanan kami akhirnya datang juga, perlu waktu 30 menit untuk diantar dari sejak pesan! Tak apalah, bukan cemilan yang kami cari, tapi tempat nongkrong. Dan bagi saya, inilah tempat nongkrong paling asyik, ke bawah melihat rumah-rumah mungil tertata rapi dengan beragam bentuk, kebanyakan panggung dan, ke atas melihat rembulan bulat berbinar.

Kami berempat, bertukar lelucon. Tapi saya lebih sering hanya mendengarkan, ikut tertawa bila merasa lucu. Saya tak punya perbendaharaan yang cukup untuk ber-anekdotria. Sebuah daun jatuh menimpa kepala, saya pungut, saya kantongi, dan kini menjadi pembatas buku.

Kali Code. Bukan pertama kali saya melewatinya. Tapi malam ini, rasanya begitu berbeda. Saya teringat sekitar 1986-an, sempat mengkliping sebuah berita dari koran Suara Merdeka, soal rencana penggusuran Kali Code yang ditentang keras oleh Romo Mangunwijaya dengan ancaman mogok makan, berita itu disertai foto Romo Mangun yang terlihat kusut. Tahun itu, saya tengah belajar di Pesantren. Dan Kyai saya yang lumayan melek informasi, seusai sholat maghrib, menceritakan peristiwa heroik yang dilakukan oleh seorang Romo di depan para santri dan jemaahnya. Saya ingat benar cerita itu.

Beberapa tahun kemudian, saya sempat bersua dengan Romo, tapi benar-benar hanya bersua. Dia tengah sibuk dikerubuti wartawan. Saya tak berani menyapanya, ikut berkerumun di sekelilingnya. Mendengarkan apa yang ia katakan. Orang inilah yang bab terakhir novel-nya, Burung-Burung Manyar, menemani saya menunggu tukang tambal ban memperbaiki motor saya yang bocor dalam perjalanan dari Pati ke Semarang.

Dan malam itu, saya kembali menikmati karya seorang anak manusia, bernama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang kembali pada khaliknya pada 1999. Mengapa saya pilih nongkrong di Kali Code, sebetulnya saya ingin bercerita pada dua aktivis muda yang saat itu ikut nongkrong, bagaimana menjadi aktivis sejati dengan bercermin pada karya mendiang Romo Mangun. Tapi malam itu, kami lebih asyik ber-anekdot ria. Memang hidup tak selalu harus tampak tegang dan serius. Mungkin itu pula dulu yang dilakukan oleh Romo Mangun.

Ops, sudah pagi, pukul 2 dini hari kami kembali ke Mercure. Saya tak berani tidur, karena sesaat lagi harus sahur, untuk puasa. Hemm... bilakah ini malam lailatul qodar?

4 comments:

  1. wah wah wah... ternyata menyimpan kenangan banget nih bapak :)

    ReplyDelete
  2. 10 hari terakhir ramadhan 1428 H...adakah semangat yang lebih???lailatul qodar...moga kita bertemu dengannya...

    ReplyDelete
  3. wah.. sayang saya hanya tahu Romo mangun dari bukunya... Wastu Citra.

    andai bapak mau bercerita lagi sungguh saya akan menanti

    ReplyDelete
  4. sisi lain mangunwijaya

    Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.

    Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
    “…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
    Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.

    (dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)

    Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…

    Silah kunjung
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html

    ReplyDelete