Thursday, February 19, 2009

Malang, Jalan Kaki, dan Konyol

Usai makan malam, tak ada kerjaan dan malas nyari-nyari kerjaan, kuputuskan untuk memanfaatkan kaki, menulusuri jalan Letjend Sutoyo, Kota Malang. Tak ada tujuan pasti, asal melangkah, lumayan 2 km terlalap, tanpa terasa. Sepanjang jalan celingak-celinguk persis orang hilang, hilang ingatan. Selain diriku, tak ada orang lain yang berjalan kaki.

Kali pertama ini aku menginjak Malang. Berdasarkan desas-desus, suhu malam hari kota apel ini dingin. Setidaknya lebih dingin dibanding Jakarta, Semarang, Jogja atau Cirebon. Seorang kerabat sempat mengingatkan agar membawa jaket begitu tahu saya akan ke Malang, agar tak menggigil saat malam hari. Namun, sepanjang jalan nan temaram, aku yang hanya mengenakan T-shirt tak meresakan gigitan udara malam yang menusuk tulang. Jauh lebih dingin saat tersekap di ruang pertemuan hotel dan kamar yang ber AC central.

Seorang kawan berujar kalau ingin merasakan dinginya Malang, pergilah ke Batu, dataran yang lebih tinggi. Hemm, kalu begitu Jogja juga tak kalah dingin, di Kaliurang. Semarang juga tak kalah dingin, di Bandungan, pun Jakarta, di Puncak dan kamar-kamar atawa kantor ber-AC.

Jalan kaki di kota asing, malam hari, sendiri, menjadi ritual olah batin nan mengasyikan. Kecanggungan seorang pejalan kaki di kota yang masih asing, mudah sekali dilihat oleh para pelalu lalang dan segerombolan warga asli yang nongkrong di pojok-pojok jalan. Kegamangan-kegamangan kecil yang menyelinap di hati pejalan kaki seperti pencuri yang mengintip-intip kesempatan untuk kabur, setelah menyikat harta berharga.

Ini penulusuran jalan tanpa tujuan. Eh, ada warnet. Iseng mampir, nulis di Blog yang lama tak berisi ini. Usai nulis ini, aku akan balik kembali ke hotel, jalan kaki. Menikmati kegamangan, di kota asing ini.

Bisa jadi Anda akan bilang ini tindakan konyol dan absurd. Tidak apa, saya sendiri juga merasa absurd dan konyol. Melakukan sesuatu tanpa alasan dan tujuan yang jelas, irasional, tak ada raison detre (apa nih?) atas tindakan yang dilakukan. Why, limadzya, kenapa? Harus selalu terjawab gamblang. Bila tidak, menurut standart perdaban dan ke-terakalan, maka itulah kekonyolan.

Pertanyaanya. Lantas, kenapa tuhan mencipataka alam semesta, beserta seluruh isinya bila kemudian akan melulhlantakanya dengan kiamat? Hus..! Jangan tergesa bikin penilaian. Tuhan jelas tak konyol.