Thursday, June 28, 2007

Negara Tidak Berhak Menguji Saya!

“Negara tidak berhak menguji saya,” begitu selalu yang saya ucapkan, sekitar 10 tahun lalu, kepada teman-teman di sebuah PTS (Perguruan Tinggi Swasta) di Semarang, ketika melihat mereka mulai berduyun-duyun mendaftar ikut ujian negara yang diselenggarakan Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta).
Dan saat mereka sibuk serius menggarap soal-soal ujian negara, saya lebih memilih, menggelar tikar di bawah pohon halaman kampus, membaca buku atau majalah sambil tiduran. Beberapa teman lain yang sedang tidak ikut ujian negara karena bokek atau males seperti saya, biasanya akan ikut bergabung. Jadilah, seperti tamasya dengan pemandangan para mahasiswa yang sedang diuji oleh negara! Untungnya para dosen atu staff kampus tidak mengusik rombongan tamasya kami.

Beberapa tahun kemudian, muncullah kebijakan menghilangkan ujian negara bagi para mahasiswa PTS. Diganti dengan akreditasi untuk menunjukkan level kwalitas sebuah PTS. Kebijakan semacam ini menurut saya lebih baik karena mahasiswa tak perlu ikut dua kali ujian yang melecehkan kemampuan nalar. Tapi yang terpenting bagi para mahasiswa kere seperti saya, walaupun diongkosi beasiswa supersemar, berarti tak harus merogoh kocek lagi hanya untuk diuji.

Akreditasi PTS bisa jadi semacam ISO bagi perusahaan. Wajar diterapkan karena bukankah lembaga pendidikan sekarang juga tak beda-beda jauh dengan perusahaan? Bahkan, kalau Anda punya uang, ingin berinvestasi maka dirikanlah sekolah dan perguruan tinggi, dijamin tidak akan bangkrut! Keuntungan materiil sudah pasti Anda dapatkan. Hitung saja mulai dari pendaftaran, sumbangan gedung, semesteran, praktikum, hingga study banding alias darmawisata semuanya berarti ada uang masuk. Keharuman nama sebagai orang yang peduli pendidikan juga akan Anda sandang. Kagak ada matinye! Begitu kata orang Betawi.

Nah, kalo sekarang para murid SMP dan SMU pada pusing mengahadapi UAN (Ujian Akhir Nasional), takut tidak lulus, saya sebenarnya juga ikut pusing. Lebih tepatnya sih, kasihan atas pendeknya akal mereka akibat otak mereka telah dikebiri oleh sistem belajar yang bernama sekolah. Kenapa harus pusing? Kalaupun tidak lulus UAN, kan bisa ikut ujian persamaan paket B untuk yang setara SMP dan paket C untuk yang setara SMU. Jadi santai sajalah.

Kalau mau lebih bersabar dan cerdas, saat ujian, pergi tamasya saja. Yakinlah tidak lama lagi kebijakan UAN akan hilang. Ingat, ini Indonesia. Ganti menteri-ganti kebijakan.

Thursday, June 21, 2007

Jurnalis VS Realitas

Berita adalah pernyataan dari kenyataan. Ia dirangkai sedemikan rupa atas dasar fakta yang ditemukan oleh pencari berita (jurnalis) baik melalui wawancara dengan nara sumber yang dianggap kredible atau kunjungan langsung ke lapangan, sang jurnalis mengumpulkan dan melihat peristiwa dengan indera yang dimilikinya.

Berita adalah statement of facts. Tak ada berita yang dimunculkan oleh media massa cetak maupun elektronik, yang tak berdasarkan kenyataan. Karenanya berita, selalu bisa ditelusuri. Para koeli tinta, sangat akrab dengan rumus 5 W plus 1 H. What, where, when, who, why dan how. Kejadian apa, dimana, kapan, siapa yang terlibat, kenapa dan bagaimana itu terjadi.

Berita bukanlah kabar burung. Karena itu, harus ada proses chek and rechek yang dijalankan sebelum disiarkan. Ada cover both side, keberimbangan informasi yang harus dijaga bila kabar itu menyangkut kepentingan beberapa pihak, agar adil.

Berita bukanlah opini jurnalis. Bila tak ada peristiwa yang terjadi atau pernyataan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, kemanan, kenyamanan atau ha-hal lain dari ”orang lain”, jurnalis tak boleh berimajinasi dan menyajikan hayalan atau uneg-unegnya kepada khalayak sebagai berita. Jurnalis bukanlah pengarang cerpen, pembuat puisi atau penulis surat pembaca.

Saat kita baca majalah atau koran pagi ini, menonton berita dan gosip di teve, masihkah kita yakin bahwa apa yang kita baca sebagai realitas yang sesungguhnya ataukah hanya realitas media yang direka-reka oleh sang jurnalis?

Semarang, 22 Juli 07

Tuesday, June 5, 2007

Pertanyaan Seorang Pelacur

Bung,
Ada orang yang bersuara indah, banyak yang suka mendengarnya, maka ia menyayi, direkam dan dibeli banyak orang untuk dinikmati. Pun bahkan dengan memperdangarkan suaranya yang pas-pasan pengamen mendapatkan receh yang lumayan.

Bung,
Ada lelaki dan perempuan elok rupawan. Banyak orang suka memandangnya. Jadilah ia pelakon, ia dapat uang dari tiap pemotretan, filem, dan teater yang menampilaknnya.

Bung,
Ada perempuan berotot kuat, ia menjadi kuli panggul di pasar dan dapat uang dari itu.
Pun ada juga lelaki bertenaga, jadi kuli panggul, tukang becak bahkan body guard. Dan mereka mendapatkan uang dari itu.

Bung,
Sedang aku? Punya vagina dan sedikit kemampuan sandiwara, mendesah seolah menikmati tiap penetrasi yang dilakukan para lelaki. Dan kenapa tak boleh kudapatkan uang dari itu?

Bung,
Kamu mau bayar aku berapa..?

Carlita 206, Tegal
9 mei 2007
08.34