Sunday, August 12, 2007

Doa Sufi Bayazid

Saya sedang gandrung dengan sebuah cerita tentang doa yang saya dapatkan dari iseng, browsing ngintip-ngintip blog secara acak, sambung sinambung tanpa juntrung. Saking gandrungnya dengan cerita doa itu, beberapakali saya tampilkan melalui LCD Proyektor di sela-sela diskusi dengan beberapa teman yang terlibat program pendampingan WPS (Wantia Penjaja Seks) lebih tepat disebut Pedila (Perempuan yang Dilacurkan). Cerita doa ini tak ada hubungannya dengan program pendampingan, tapi saya terlanjur suka untuk mempromosikannya.

Dahulu kala ada seorang Sufi asal Iran yang bernama Bayazid Bastami bercerita "Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!"

"Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas".

"Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’ Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak menyia-nyiakan hidupku!”.

Hemm... cerita yang bagus bukan?
---------------------------------------------------------------------------------
Oh, ya cerita itu saya dapatkan dari blog : mypastpresentandfuture.blogs.friendster.com keliatannya sih, si empunya ini wartawan bekerja untuk media milik istana negara. Mungkin blog-blog lain juga ada, tapi kebetulan aku dapat dari blog itu.

Amplop untuk Wartawan (2)

Adalah tanggung jawab dan kewajiban perusahaan pers untuk menggaji wartawannya secara layak, sebagaimana keuntungan yang telah direguk pihak perusahaan atas kerja keras yang telah dilakukan para wartawannya.

Bila pun, wartawan mendapatkan gaji tak layak karena perusahaan pers tempatnya bekerja belum mapan, bukanlah sebuah alasan yang dapat dibenarkan bila kemudian mencari tambahan dari pembagian amplop yang jelas bukan haknya!

Sebagai pekerja yang berkaitan langsung dan bersentuhan dengan kepentingan publik, selayaknya jurnalis tidak menyalahgunakan profesi atau posisinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang berakibat merugikan pihak lain.

Pendapat bahwa persoalan amplop lebih berkaitan dengan persoalan integritas jurnalis dan sangat personal adalah pendapat yang kurang tepat, karena dalih itu merupakan upaya menjadikan persoalan publik menjadi masalah domestik. Amplop adalah masalah publik karena dampaknya tak hanya ditanggung oleh jurnalis dan pemberi amplop.

Hakekatnya, seorang jurnalis menerima amplop karena posisinya (power) sebagi pewarta. Dia memiliki kekuasaan untuk menulis atau tidak menulis, meliput atau tidak meliput sebuah event. Amplop yang diterimanya karena profesinya sebagi jurnalis, bila bukan jurnalis tak mungkin ia diberi amplop.

Melihat itu jurnalis amplop, dalam bahasa sosiologi korupsinya Syed Hussein Nasar, dapat diklasifikasikan sebagai pelaku mercenary abused of power yang dalam bahasa lain dikenal sebagi kolusi. Amplop biasanya diberikan kepada jurnalis dengan tujuan mempengaruhi atau mendorong si jurnalis untuk tidak membuat atau membuat reportase yang sesuai dengan keinginan pemberi amplop.

Sungguh ironis bila jurnalis menerima atau meminta mplop dengan dalih gaji minim. Dalih semacam itu, sama sekali tak bisa diterima akal sehat. Seperti tak bisa diterimanya dalih aparat pemerintah yang melakukan pungli karena alasan gaji sedikit !

Menolak amplop, sekali lagi bukan sekadar persolan etik atau moral. Namun lebih merupakan bagian dari upaya meneguhkan mekanisme pengaturan yang mengembangkan standar tingkah-laku, akuntabilitas dan keterbukaan di kalangan jurnalis bagi upaya turut berpartisipasi mewujudkan negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta kehidupan demokrasi yang sehat. Inilah, yang penting dan mesti disadari oleh para jurnalis itu sendiri.

Wednesday, August 1, 2007

Amplop untuk Wartawan (1)

Kondisi sosial politik Indonesia pasca orde baru memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah yang berkuasa. Namun, tak berjalan efektif.

Terbukti, berbagai kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip demokrasi tetap saja terjadi. Berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi biang kerok kehancuran perekonomian Indonesia juga tetap tinggi.

Dalam kondisi semacam itu idealnya pers, sebagai salah satu pilar demokrasi dan alat kontrol sosial, meneguhkan perannya dengan melancarkan berbagai kritik obyektif demi terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif dan efesien.

Namun peran ideal itu sulit dilakukan pers Indonesia karena dalam waktu yang bersamaan, jurnalis juga sibuk berjuang menghadapi berbagai tekanan yang menumpulkan sikap obyektif, independen, dan kritis mereka.

Ada dua macam persoalan yang dapat menumpulkan sikap kritis, indepen dan obyektifitas jurnalis. Pertama, datang dari kondisi internal, yakni lemahnya posisi tawar jurnalis di hadapan manajeman perusahaan pers. terlihat pada rendahnya gaji yang diterima dan diabaikannya aspirasi mereka. Jika memprotes kondisi itu, maka ancaman pemecatan akan segara datang. Anehnya, untuk menghadapi persoalan semacam ini, wartawan ogah membentuk serikat pekerja. Sebagian besar jurnalis, pasrah, mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Yang paling fatal, untuk menutupi kebutuhan hidup yang tak cukup dengan gaji dari perusahaan, beberapa wartawan menerima dan mencari amplop.

Persoalan kedua yang dihadapi oleh jurnalis, berkaitan dengan belitan gurita korupsi yang sangat kuat mengakar ke setiap sektor. Termasuk di dalamnya sektor pers atau media massa.
Berdasar penelitan, 1999-2000, uang negara sebanyak Rp 864 miliar yang dialokasikan kepada 64 BUMN, ludes tanpa bisa dipertanggungjawabkan hanya untuk dana pembinaan (baca: amplop) wartawan yang diberikan secara periodik tiap bulan dan pada setiap acara konferensi pers.

Anggaran “pembinaan” wartawan itu, diambilkan langsung dari departemen yang diajukan melalui RAPBN oleh Sekjen dan Direktur Keuangan ke Depkeu untuk digabung menjadi belanja pemerintahan pusat. Dalam tampilan satuan satu di APBN, dana pembinaan wartawan disamarkan sebagai anggaran belanja barang pemerintahan pusat guna pembelian alat tulis kantor (ATK).

Berdasarkan catatan AJI Indonesia yang dihimpun dari 18 AJI kota dan biro, terlihat bahwa pada setiap Anggaran Belanja dan Pembangunan Daerah (APBD), selalu dialokasikan anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan.

Sebagai sebuah gambaran, Pemerintah Propinsi (Pemprop) Bali pada tahun anggaran 2000-2001 mengalokasikan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 100 juta guna merehabilitasi gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pemprop Sulawesi Utara (Sultra), menurut catatan AJI Kota Kendari, pada tahun anggaran 2000/2001 tidak menganggarkan dana secara khusus bagi wartawan. Namun setiap konferensi pers sekretariat Pemprop membagikan amplop kepada tiap wartawan yang meliput sebesar Rp 100 ribu per wartawan. Hal itu memang agak berbeda dengan tahun anggaran 1999/2000, yang menyediakan dana khusus untuk pembinaan media dan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Sedang menurut catatan AJI Biro Lampung, pada APBD 2001 Pemprop mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 100 Juta untuk rehabilitasi gedung PWI Cabang Lampung. Uniknya dana itu diambilkan dari pos pembinaan dan pengawasan aparatur di bawah Dinas Pembangunan dan Pemukiman. Di samping itu, DPRD I Lampung setiap bulan membagikan amplop berisi sedikitnya Rp 200 ribu untuk 12 wartawan yang ngebeat.Sedang Pemprop Lampung melalui Biro Humas Setwilda, setiap bulannya juga membagi amplop untuk 50 jurnalis masing-masing sebesar Rp 50 ribu.

Menurut AJI Kota Semarang, Pemprop Jawa Tengah (Jateng) dalam APBD 2001 menganggarkan dana sebanyak Rp 100 juta untuk wartawan yang ngepos di DPRD I Jateng. Dana tersebut kemudian dibagi Rp 20 juta untuk Forum Wartawan Pemda Jateng (FWJT), Rp 30 juta untuk PWI, Rp 40 juta untuk kelompok wartawan lainnya, dan Rp 20 juta untuk seminar yang akan diselenggarakan oleh FWJT. Selain itu, FWJT juga mendapat bantuan mobil dinas Colt T-300 dari Gubernur yang digunakan untuk liputan. Mobil dinas berplat merah ini, bertuliskan Forum Wartawan Pemda Jateng.

Seakan tidak mau kalah, Pemkot Semarang dalam APBD 2001 juga menganggarkan dana pembinaan wartawan sebanyak Rp 83.896 ribu yang dirinci sebagi berikut. Bantuan untuk media cetak Rp 14 juta, bantuan media elektronik Rp 10 juta, bantuan operasioanl siaran langsung Rp 34.898 ribu, forum interaktif media Rp 25 juta, dana pengelolaan Rp 1 juta, dan persiapan untuk itu semua dianggarkan Rp 1,5 juta.

Pemkot Semarang juga memberikan uang amplop secara berkala kepada redaksi kota atau kepala biro antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta bila medianya rutin menayangkan berita-berita pembangunan Kota Semarang.

Sebenarnya, masih banyak data yang dapat dikumpulkan berkaitan dengan jatah amplop yang biasa pula disebut sebagai dana pembinaan wartawan itu, karena hampir setiap instansi pemerintah, mulai dari Tk II hingga pusat, selalu mengalokasikan anggaran untuk waratawan. Uniknya dana itu juga selalu diambil dari alokasi APBD yang seharusnya dikonsentrasikan penuh untuk pembangunan rakyat.

Yang lebih parah lagi, anggaran yang disebut sebagai dana pembinaan wartawan tak pernah dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Hal itu sebenarnya wajar saja, karena memang tidak mungkin dapat dipertanggungjwabkan.

Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang didapatkan dari keringat rakyat dan hutang ke bank dunia, atau semacamnya, amblas begitu saja untuk sebuah program pembinaan yang konyol. Menggaji wartawan yang jelas-jelas bukan pegawai negeri. Pegawai sebuah perusahaan pers yang telah mereguk banyak untung dari industri informasi.

Bisa jadi dana amplop yang diterima dengan gembira oleh wartawan, sebenarnya berasal dari hutang Bank Dunia yang karenanya tiap bayi Indonesia pada tangis pertamanya, harus menanggung beban hutang kakek dan neneknya sebesar Rp 7,3 juta.
------------------------------------------------
Ini merupakan tulisan lama saya yang pernah dimuat di Majalah Independent