Monday, July 9, 2007

Mari Bicara Seks!

Mohctar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia, yang sangat tajam mengupas sifat manusia Indonesia, mengutip sebuah pantun lawas dari Minangkabau.
Ke teluk sudah
Ke gunung sudah
Ke Mekah saja yang belum
Memeluk sudah
Mencium sudah
Menikah saja yang belum

Budayawan yang berjuluk wartawan jihad itu, sepertinya hendak mengkhabarkan bahwa praktik seks bebas, jauh-jauh hari telah terjadi di negeri ini. Dan itu terekam dalam jejak pantun yang dikutipnya. Secara telak, Mochta Lubis, merontokkan pendapat sebagian orang yang mengatakan seks bebas bukanlah budaya manusia ndonesia.

Tanpa bermaksud mengabaikan persoalan moral, selayaknya seks dilihat sebagai fakta sosial. Sehingga kacamata yang hitam putih dalam melihat praktik seksualitas di sekitar kita, perlu segera ditukar dengan dengan kacamata yang lebih berwarna dengan cara berpikir yang terbuka.

Perilaku seksual manusia sebenarnya merupakan fenomena yang beragam, baik secara geografis, konteks sosial budaya, kegiatannya, dan bahkan dipersepsikan berbeda antar individu.

Aktivitas seksual individu terkait dengan faktor internal dan eksternal. Karenanya bicara soal seks, perlu pemahaman yang utuh atas seksualitas. Tidak memfokuskan pembahasannya hanya pada fenomena level individual, sebagai unit analisis karena perilaku seksual bukanlah perilaku individual, selalu membutuhkan kehadiran orang lain, minimal satu orang. Pun bahkan saat seseorang masturbasi ia juga membutuhkan ”kehadiran” yang lain. Jadi, perilaku seksual merupakan perilaku sosial, karena :

  • Melibatkan negosiasi dan interplay
  • Kompromi pengharapan dan pengalaman antar individu yang terlibat
  • Kemitraan seksual atau dyadic sebagai unit paling esensial dalam studi seksualitas.
  • Selalu membutuhkan”kehadiran” yang lainnya.

Karenanya, berbicara soal seksualitas selayaknya tidak lagi terjebak pada orientasi faktor biologis dan psikologis. Tapi lebih menekankan pada dimensi-dimensi sosial, eksternal, relasional dan dimensi publik.

Ada tiga pisau analisis yang dapat kita gunakan untuk membedah seksualitas sebagai fenomena sosial : (1) Sripting Theory, (2) Choice theory, dan (3) Network Theory.

Dari ketiga teori tersebut di atas, mari kita mencoba menggunakan pisau analisis scripting theory ; penjelasan atas sexsual content. Pendekatan ini berangkat dari kritik atas cara pandang yang semata-mata menganggap faktor sosial sebagai penghambat kecenderungan seksual. Ortner and Whithead serta Herdt and Stoller berujar bahwa proses sosial budaya berperan sangat mendasar dalam mempengaruhi persepsi kita akan seksualitas dan bagaimana kita mengkonstruksikan dan menafsirkan fantasi dan pandangan-pandangan seksual kita. Faktor biologi hanya berpengaruh kecil atas perilaku seksual.
Beberapa asumsi dasar :

  • Perilaku seksual cenderung ‘lokalitas’
  • Perilaku manusia bukan karena dorongan insting biologis, tetapi lebih karena pengaruh budaya (skenario budaya)
  • Pola perilaku seksual merupakan hasil proses akulturasi dengan budaya yang dianutnya.
  • Perilaku seksual bukan semata demi tuntutan sekenario budaya, tetapi juga dimungkinkan telah termodifikasi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan individu.

Berdasarkan empat prinsip di atas, skenario seksual memfokuskan diri pada perbincangan sebagai berikut :

  • Dengan siapa individu berhubungan seks
  • Kapan dan dimana
  • Apa yang seharusnya mereka lakukan
  • Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut

Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, tak hanya dikaitkan dengan skenario individu, namun selalu dikaitkan dengan skenario budaya. Pemahaman atau keyakinan individu menyangkut domain seksualitasnya berdasar seknario budaya.

Kata kuncinya adalah adanya hubungan timbal balik antara individu dengan aktor-aktor yang merepresentasikan budaya kehidupan seksual seperti media massa, tokoh agama, pendidik, peneliti, aktivis LSM, pun bahkan para pesohor dari dunia hiburan dan seterusnya yang secara kontinyu mereproduksi serta mentransformasi kehidupan seksual di masyarakat.

Sekadar contoh : Promosi penggunaan kondom dalam aktifitas seksual sebagai bagian dari kegiatan pencegahan penyebaran HIV dan AIDS perlu pengkondisian adanya perubahan skenario tentang perilaku seksual individu. Jika sejumlah orang bersikap positif atas skenario baru, tentunya akan berpengaruh pada kesehatan seksual, termasuk menurunkan kasus unwanted pregnancy, aborsi, penyebaran IMS, HIV dan AIIDS.

Secara singkat, prespektif ini secara tegas membedakan antara (1) Skenario budaya (2) Skenario antar pribadi (3) Skenario pribadi (makna individual atas interpretasi dari skenario budaya) yang kemudian ketiga skenario itu dihubungkan satu dengan yang lainnya. Sumbangan penting dari pendekatan ini adalah perlunya membedakan antara persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor kondisional/situasional.

Jadi, bicara seksualitas bukan sekadar soal gaya 69, doggy style, mandi kucing dan besar kecilnya alat vital. Bukan. Walaupun ada kalanya itu memang lebih menarik dibicaran hehehe....

No comments:

Post a Comment