Wednesday, July 11, 2007

Menunggu Bintang Jatuh

Kawan,
Semalam saya takjub melihat ribuan bintang di langit, begitu indah. Nun agak jauh, saya melihat sambaran petir yang menyala terang, juga terasa begitu indah. Saya melangkah hati-hati di jalan setapak yang juga menjadi pemisah antara satu tambak dengan tambak lainnya, menapak pelan disinari cahaya bulan dan ribuan bintang.

Indah di langit, belum tentu indah di bumi. Bila mata saya begitu dimanjakan dengan keindahan taburan cahaya, maka hidung saya terasa sesak menahan bau amis ikan yang datang dari galengan tambak. Tidak hanya itu, hidung saya juga dipaksa membaui aroma parfum murahan.

Memang ikan pakai perfum? Tentu saja tidak. Bau parfum murahan itu datang dari puluhan perempuan paruh baya yang menjajakan layanan seks di areal tambak. Hemm, saya baru sadar kalau tambak ternyata tak hanya untuk budidaya ikan.

Tertarik? Cukup menyisihkan uang sebesar Rp 25 Ribu maka Anda akan mendapatkan pelayanan eksotik. Bersetubuh di atas tanah, di antara rerimbunan semak, beralas koran beratap ribuan bintang gemintang. Kalau tak punya uang dan tega menawar, dengan 10 Ribu pun Anda bisa menikmati layanan kelas ”bintang” itu. Santai aja, tak perlu takut dipatuk ular. Berdasarkan informasi relawan pendamping ibu-ibu penjaja seks (PS) di tambak itu, baru satu kasus pasangan yang dipatuk ular. Ular sungguhan!

Jadi berdasarkan statistik, tingkat risiko tergigit ular, saat bermain ”ular-ularan” sangatlah rendah. Cuma masalahnya, bisa jadi selamat tidak dipatuk ular sungguhan tapi ”ular” Anda dijamin tidak selamat dipatuk yang lain. Menurut Puji, relawan dari Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Pati, dari sekitar 35 ibu-ibu yang membudidayakan layanan seks di tambak itu, semuanya positif mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS). Jadi Anda bisa selamat dari patukan ular, tapi tidak dari patukan IMS.

Siti 43 tahun, bukan nama sebenarnya, salah seorang pembudidaya layanan seks di areal pertambakan yang terletak di Desa Bumirejo, Juwana, Pati itu, lelaki yang datang untuk main ular-ularan, kebanyakan adalah para penunggu tambak ikan dan para nelayan tradisional yang ada di sekitar tambak. ”Saya berangkat dari rumah setelah maghrib dan biasanya pulang jam sembilan. Kalau sedang ramai, bisa melayani Tujuh orang tamu”.

Tentunya tidak setiap malam ramai. Apalagi kalau sedang musim hujan. Kadang ia dan teman-temannya sama sekali tak mendapatkan tamu. Nah, daripada ”bobor” tidak dapat duit sama sekali, maka 10 Ribupun tidak masalah, yang penting besok masih bisa beli beras dan lauk pauk untuk bertahan hidup. Menawarkan kondom? Boro-boro. Para tamu selalu menolak untuk pakai itu, masak makan pisang dengan kulitnya, begitu dalih para tamu. Kalau tetap ngotot menawarkan pakai kondom, maka uang 10 Ribu pun akan melayang hilang.

Wow, rendah sekali kesadaran akan pentingya kesehatan. Bisa jadi iya. Tapi kesadaran untuk terus dapat makan agar tetap hidup Siti dan teman-temanya sangat tinggi.

Ribuan bintang di langit masih bercahaya indah saat saya hendak balik ke hotel. Hemm... adakah kita juga seperti bintang-bintang itu, indah dengan segala teori yang bercahaya. Namun sayang tetap saja di langit. ”Siti, maafkan kami, tak bersamamu di Bumi”.

Menunggu bintang jatuh dari langit.
Bak..
Menunggu Godot

No comments:

Post a Comment