Wednesday, December 26, 2007

Diskusi, Adzan, Kaligrafi dan Lokalisasi

Suara adzan dluhur menghentikan diskusi yang tengah berjalan. Empat pembicara di depan, diam menanti adzan usai. Lamat-lamat saya teringat pelajaran dari guru madrasah yang menyarankan kita diam saat adzan dikumandangkan, dan baru bicara lagi begitu adzan usai.

Begitu adzan usai diskusi dilanjutkan. Belum lagi 15 menit, terdengar adzan lagi. Diskusi kembali dihentikan. Wah, kapan diskusi akan selesai kalau tiap adzan berhenti. Tapi keputusan untuk diam saat adzan kali ini, adalah pilihan yang bijak karena kalau memaksakan tetap ngomong tak akan terdengar, kalah keras dibanding suara TOA dari masjid yang tepat di samping gedung kami berkumpul.

Diam saat adzan terlantunkan sebenarnya bukanlah wajib, hanya sunah muakad, dianjurkan untuk diam tapi kalo tetap nyerocos ngomong juga nggak apa-apa. Semoga aja diskusi tak berhenti lagi begitu terdengar suara adzan, bisa-bisa diskusi tak akan pernah selesai karena jumlah mushola begitu banyak dan adzannya tidak kompak, bersamaan. Mungkin nggak ya, diatur cukup satu masjid yang adzan menggunakan pengeras suara untuk area jangkauan 1 Km persegi, umpanya, sedang mushola atau masjid lainnya adzan tanpa perlu menggunakan pengeras suara. Jaman nabi adzan kan juga nggak pake pengeras suara.

Agak mengherankan juga diskusi yang dilakukan bukan di pesantran ini, tingkat adab majlisnya nyaris seperti bahtsul masail di pesantren. Mungkinkah karena di sisi kiri dan kanan pembicara terdapat lukisan kaligrafi arab yang sangat besar, bertuliskan surat Al-Fatihan dan sebuah ayat yang menceritakan proses reproduksi manusia? Atau karena salah seorang pembicaranya Masruhan Syamsurie Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, partai politik berlambang Ka’bah dari DPRD Propinsi Jateng?

Saya datang terlambat dan tak terlalu menyimak apa yang dipaparkan para pembicara di depan. Tapi intinya, menurut teman panitia diskusi ini dilakukan untuk membahas kerja kreatif seniman lukis Maman Suparman yang memajang 20 kaligrafinya di sudut-sudut kampung Argorejo selama Dua minggu.

Lho, memang apa yang istimewa dengan itu? Para pedagang kaki lima jauh telah lebih dahulu melakukannya, memajang kaligrafi di pinggir jalan, kenapa tidak menjadi bahan diskusi?

Karenanya saya agak takjub juga ketika segerombolan seniman begitu bersamangat mendiskusikan hal tersebut. Oalah, selidik punya selidik ternyata yang dianggap luar biasa itu karena Argorejo alias Sunankuning merupakan lokalisasi terbesar di Semarang yang menampung 578 Wanita Penjaja Seks (WPS).

Bila memang benar itu alasannya, saya menjadi lebih takjub lagi. Lha, emang apa hebatnya pameran kaligrafi di lokalisasi? Ingin meneguhkan bahwa WPS sampah masyarakat dan ayat-ayat Al-Quran sebagai kalam suci yang tak layak disandingkan? Mungkin akan lebih asyik kalo diskusinya diganti membahas kaligrafi yang banyak terpampang di kantor-kantor dinas pemerintah, Depag misalnya, dan korupsi tetap aja tinggi.

No comments:

Post a Comment