Thursday, December 20, 2007

Andai Kutahu

Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar, 10 orang perempuan duduk saling berjejer di antara 22 perempuan lainnya, membentuk bulatan tanpa rongga. Tak ada meja yang menjadi pembatas, tak ada meja yang menjadi tempat bersandar, hanya kursi berjajar.

Saya sendiri duduk di sebuah sofa yang ada di pojok dalam ruangan. Hanya memandang, menyimak, sesekali keluar untuk menghempaskan napas, menumpahkan perasaan dengan pura-pura ke toilet.

Tak boleh ada nama disebut, tak boleh ada gambar diambil. Namun peristiwa haruslah dikabarkan karena ini hikayat tentang ketabahan dan harapan yang terus hidup di tengah belitan akar rimba raya penistaan.

Dari sofa di sudut, kulihat seorang perempuan yang belum lagi genap berusia 20 tahun, memegang mike. Ia menegakkan pandangan bak mesin pemindai, menatap sekilas, satu persatu mereka yang duduk melingkar. Dua bola matanya jernih.

“Saya pekerja seks. Baru dua bulan lalu saya tahu terinfeksi HIV. Saya menangis untuk beberapa hari. Namun kini tidak lagi. Saya harus tetap hidup karena saya harus mencari duit untuk adik-adik dan keluarga,” tuturnya gamblang. Ia memberikan mike ke teman yang duduk di sebelahnya yang bercerita hal yang sama, positif terinfeksi HIV, begitu juga teman yang ada di sebelahnya.

Sepuluh orang perempuan, semuanya terinfeksi HIV, semuanya adalah penjaja seks. Dan semuanya tetap bekerja sebagai penjaja seks karena hidup bagi mereka adalah memberi sesuatu yang tak mereka punya untuk satu-satunya yang mereka punya; keluarga.

Menjadi penjaja seks bukanlah cita-cita yang pernah terlintas di benak mereka saat belia pun hingga kini. Tetap menjadi penjaja seks bukanlah soal kesetiaan profesi. Pun bukan karena dendam berbagi virus dengan para lelaki yang meniduri mereka bergantian tiap malam. “Kami sedih. Di antara kami, masih juga menangis. Tapi tangis tak membuat kami hidup,” begitu mereka berujar. “Saya tak ingin menyebarkan HIV pada sesama perempuan karena perilaku suami mereka,” lanjut salah seorang yang diikuti dengan anggukan setuju yang lainnya.

Mereka belum bisa berhenti menjadi penjaja seks, tapi mereka berupaya menghentikan penyebaran HIV. Memaksa para lelaki untuk mengenakan kondom saat meniduri mereka adalah salah satu upaya. No condom, no sex. “Cukup kami yang terinfeksi HIV”.

Dua Puluh Dua perempuan lainnya mulai sembab mata, beberapa menangis. Mereka adalah bagian dari sepuluh teman mereka yang telah terinfeksi. Bisa jadi soal waktu. Bisa jadi soal belum tahu. Tiba-tiba, beberapa di antara mereka berdiri menyayi.

Andai ku tahu
Kapan tiba ajalku
Ku akan memohon, tuhan tolong panjangkan umurku

Andai kutahu
Kapan tiba masaku
Ku akan memohon, tuhan jangan kau ambil nyawaku

Aku takut akan semua dosa-dosa ku
Aku takut dosa yang terus membayangiku

Andai kutahu
Malaikat Mu akan menjemputku
Izinkan aku, mengucap kata taubat pada Mu

Ampuni aku dari segal dosa-dosa ku
Menangis ku bertobat padamu

Aku manusia yang takut neraka
Namun aku juga tak pantas di surga

Saya kembali ke luar ruangan, pura-pura mau pipis, masuk ke toilet. Di depan cermin toilet kutatap wajahku, gema lagu yang dinyayikan bersama itu masih terdengar. Andai Kutahu…

Denpasar, 14 Desember 2007

2 comments:

  1. aih aih lelaki emang buaya jreng jreng kakakakakak

    ReplyDelete
  2. Bukan Bu_aya, tepatnya pak_aya... aya-aya wae hehehe...

    ReplyDelete