Sunday, December 2, 2007

Merdeka, Kondom dan WPS

Satu Desember 2007, aku menghabiskan waktu tiduran di depan TV. Berkali-kali mengganti chanel, mencari acara yang berkenan di hati namun nihil. Berita-berita didominasi oleh peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) dan berita demo menuntut Papua Merdeka.

Soal berita demo menuntut Papua merdeka, aku tak risau. Adalah hak setiap orang untuk memperjuangkan kemerdekaanya bila merasa terjajah. Sesuatu yang wajar. Jadi ingat permainan sahabat rahasia dalam training yang baru saja usai. Melalui foto yang diedarkan secara acak, aku mendapatkan teman asal Papua. Namanya Paul. Ia aktivis peduli HIV dan AIDS, salah satu kegiatannya adalah menjangkau kawan-kawan Papua yang tengah belajar di Jakarta, ia mendatangi mereka satu per satu atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menerangkan cara penularan dan pencegahan HIV. Paul, tipikal mesin diesel, mulanya pendiam, tapi menjelang akhir pelatihan mulai banyak ngomong dan melucu. Sebagai sahabat rahasia, dia memberiku sebuah kalung dengan gambar Bob Marley. Aku memberinya CD interaktif, learn how to learn dengan memaksimalkan otak kanan. Saat bersalaman untuk berpisah, sambil bercanda aku memekikan kata "Merdeka!". Dia tertawa, wajahnya sumringah.

Soal berita Hari AIDS Sedunia, aku sedikit lebih menyimak. Salah satunya soal demo penolakan pekan kondom nasional yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka mencegah penularan HIV. Menurut para pendemo, pekan kondom nasional, hanya akan menyuburkan free sex! Wow, benarkah, bukankah dengan atau kondom, praktik seks bebas di Indonesia juga terjadi? Tiba-tiba saya teringat syair Minangkabau lawas, yang dikutip oleh Mochtar Lubis dalam
bukunya Manusia Indonesia.

Ke teluk sudah
Ke bukit sudah
Ke Mekah saja yang belum

Berpeluk sudah
Bercium sudah
Menikah saja yang belum

Dengan mengutip syair tersebut, Mochtar Lubis, hendak berujar salah satu sifat Manusia Indonesia adalah munafik. Praktik seks bebas, sudah sejak jaman dahulu terjadi, tapi sok menganggap tak mungkin terjadi di negeri yang agamis ini.

Bila ada yang membuat risau dengan program penanggulangan HIV dan AIDS, bagiku adalah program yang menjadikan Wanita Penjaja Seks (WPS) sebagai target utamanya. Sejak 1997 hingga 2007, program untuk WPS belum menghasilkan apapun. Tingkat Infeksi Menular Seksual di kalangan WPS masih sangat tinggi, rata-rata 80 persen. Tingkat penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks dengan tamu lelakinya juga masih sangat rendah. Satu-satunya hasil kongkrit program semacam itu adalah kian melekatnya label bahwa para WPS lah yang menjadi sumber penularan IMS, HIV dan AIDS di kalangan khalayak luas.

Padahal jumlah lelaki yang suka membeli seks jauh lebih besar dibanding jumlah WPS, sekadar contoh di Semarang, Jawa Tengah jumlah WPS adalah 0,35 persen sedang jumlah lelaki pembeli seks 5 persen. Masa kerja WPS rata-rata 5 tahun, sedang lelaki yang hoby membeli seks bisa menjalaninya hingga 20 tahun. WPS biasanya berpraktik dengan menetap di suatu lokasi. Sementara lelaki yang hoby ngeseks, sering berpindah lokasi hingga ke kota lain untuk meyalurkan hasratnya.

Merisaukan. Kasihan benar teman-teman WPS, tak hanya dituding sebagai tak bermoral, tapi juga diteguhkan harkatnya sebagai penyebar HIV karena program yang tak tepat. Padahal...

3 comments:

  1. Mengapa kampanye kondom ditujukan kepada pekerja seks, utamanya pekerja seks perempuan. Padahal yang oake kondom kan laki.

    ReplyDelete
  2. itu yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga yah? kenapa ga ada yang peduli hal2 kayak gini yah?

    ReplyDelete
  3. Yah, begitulah. Naasnya lagi kejatuhan tangga berjalan, terlindasss abiss....

    ReplyDelete