Thursday, May 10, 2007

Nak, Malam Ini Kudengar Tangis


Malam ini aku dengar tangis seorang bocah, memangil-manggil nama ayah dan ibunya bergantian. Suaranya serak, karena tangisnya yang berkepanjangan. Sementara suara sang ibu yang tak kalah parau terus meracau, berteriak-teriak penuh amarah kepada sang suami yang hanya dapat terpekur, duduk di atas ranjang papan tua dengan kasur apak.

Sang lelaki berbadan kurus dengan kaos lusuh itu sesekali menarik nafas panjang, melepas kacamata tebalnya yang tak lagi sempurna. Salah satu sisinya pecah, dan gagangnya diplaster agar tetap bisa ia pakai.

Ia mencoba untuk menyela, tapi tak pernah usai dengan sempurna kalimat yang hendak ia sampaikan. Ia sadar, tak bisa meredakan amarah sang istri dan membuat diam suara parau tangis anaknya yang belum lagi genap 6 tahun.

Nyaris 4 tahun ini ia hanya bekerja serabutan. Tak cukup untuk membiayai hidup dia, istri, anak perempuannya yang belum genap berusia 6 tahun, dan dua kakak lelakinya yang masing-masing baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar dan kelas 2 SMP.

Ini tahun ajaran baru, buku baru, seragam baru, iuran dan tetek bengek perlengkapan sekolah yang sangat murah bagi para tuan dan puan kaya, namun sangat berat baginya. Tangis sang balita dan serak parau istrinya yang tak lagi mampu menahan beban himpitan yang terus saja berdatangan, secara bersamaan, ia maklumi dengan hanya menunduk kelu.

Tangis bocah perempuan manis belum genap 6 tahun itu masih terdengar. Sangat sendu, ia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya, sambil terus berisak. “Ibu, ibu, ibu… ayah, ayah, ayah…,” ia kebingungan melihat kedua orang yang sama-sama mencintainya itu berseteru. Ia merindui peluk keduanya, yang sering ia rasakan, walau peluk itu datang tak selalu bersamaan. Ia ingin merasakan rasa kasih dari kedua oarng tunya yang papa yang tak kalah dahsyat dibanding kasih sayang orang tua keluarga mewah, rekaan mimpi sutradara payah! Yang sering ia lihat di kaca telivisi berwarna di rumahnya yang mulai kusam.

Aku ikut menangis. Sungguh, tangisnya yang tersedu-sedu menampar batinku. Aku menangis, kulihat anak dan istriku lelap tertidur, tak terganggu sedikitpun oleh berisik tangis dan suara parau istri tetangga. Aku menangis. Aku datangi bayiku yang baru satu tahun 4 bulan yang lelap dalam tidur. Aku cium keningnya, air mataku meleleh.
Nak ayahmu malam ini menangis. Karena temanmu yang belia tengah tersedu-sedu.
Nak ayahmu menangisi tetangga yang berbagi tembok rumah dengan kita. Mereka tengah galau dengan beban kehidupan.

Sepeda tua, lelaki kurus, memboncengkan perempuan yang sering tampak kuyu, dan seorang bocah perempuan belia yang manis saat tertawa, terlintas di benak. Itu tetangga kita nak, sering kita lihat lewat saat kita duduk di teras rumah kontrakan kita yang sempit, yang menjulur di jalanan gang kampung kita yang padat lalu lalang motor.

Nak, bocah itu sering masuk ke rumah kita, ia sering mengambil makanan kecil langsung dari toples kita tanpa permisi. Dan aku, ayahmu, sering masam muka karenanya, ia juga sering memainkan mainanmu hingga berserakan, dan aku ayahmu juga cemberut karenanya.

Namun nak, malam ini ayah menangis karenanya. Suaranya begitu sendu, seperti tangismu. Dan berjuta tangis bocah-bocah di dunia lainnya. Ia begitu terluka, walau ia sendiri belum tahu makna luka hati.

Nak, ayah ingin kelak bila kau dewasa, bangunlah dengan kesadaran penuh, ada temanmu yang menangis sendu saat kau tertidur lelap. Sadar saat kau tertawa sambil menepuk perut yang kenyang, temanmu kelaparan. Lakukanlah sesuatu, jangan hanya bisa menangis seperti ayahmu malam ini. Lakukanlah sesuatu nak…..

Nak, esok pagi saat kita kembali duduk di teras, berharaplah semoga sobat kecilmu, kembali tertawa riang di boncengan sepeda tua bersama ayah ibunya yang kembali akur tegar, menelusuri jalan kehidupan.

Ujung 12 malam
Semarang, 16 Juli 2004

No comments:

Post a Comment