Thursday, February 14, 2008

Politik Lapak

Saya meneguhkan hati untuk menghindari berkegiatan di luar rumah pada Sabtu dan Minggu. Dua hari itu adalah hari rumah. Bangun siang, baca buku, nonton TV, atau menyalurkan hobi menukang. Gergaji, meteran, siku, pahat, palu, catut, bor listrik, dan paku yang tersimpan rapi dalam kotak dari Senin hingga Jum’at, kukeluarkan.

Tapi Minggu, 10 Pebruari 2008, saya tak bisa berteguh hati. Seorang kawan aktivis era 80-an, pengubah sumpah Mahasiswa Indonesia yang popular dibaca pada berbagai demonstrasi, datang bersama seorang kawanku lainnya, koresponden majalah yang dulu berslogan enak dibaca dan perlu.

Kawan aktivis 80-an yang selain seniman, juga pengacara, dan penulis artikel yang lumayan asyik dibaca ini, kini menambah predikatnya sebagai politisi. Ia bergabung pada badan otonom sebuah partai besar, menjadi litbangnya di Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Singkat cerita, setelah ngobrol ngalor-ngidul nan asyik, dua kawan yang sama-sama aktivis namun beda era ini, mengajak mencari kontrakan untuk kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ke sebuah kota di kawasan Pantura. Menolak jelas tak santun, lha mereka bersedia jauh-jauh menyambangiku di desa, masak aku menolak. Lagian tinggal duduk manis di mobil sambil ngrumpi. Pasti asyik.

Sepanjang perjalanan, banyak cerita menarik. Yang paling menarik, kawan ini berancang-ancang duduk di kursi DPR RI pada 2009. Mungkin bosan jadi rakyat. Saya sebagai rakyat, jelas mendukung, apalagi diwakili kawan sendiri. Bentuk dukungan pertama, menemaninya mencari kontrakan kantor LBH yang hendak didirikannya. Rakyat pasti membutuhkan bantuan hukum.

Tiba-tiba saya teringat artikel di Kompas yang mengulas sepak terjang Barack Obama sebagai politisi kaki lima, bergaul dan bekerja membantu rakyat, menguasai hal-hal teknis, hingga akhirnya memenangkan hati rakyat di distriknya. Tidak seperti politisi kita, begitu menurut artikel itu, yang baru mendatangi rakyat ketika masa pemilihan tiba.

Dahsyat, membayangkan kawanku ini akan bekerja bak Obama. Maka di tengah rintik hujan, kami menyambangi rumah-rumah yang akan disewakan. Mengontak kolega di kota bersangkutan, mencari informasi rumah kontrakan yang murah. Maklum, dana terbatas. Ini perjuangan, seorang mantan aktivis mahasiswa yang tak kaya-kaya amat, tengah merentas jalan politik, hendak mewakili rakyat.

Nah, di DPP Parpol si kawan ini, tengah terjadi pembagian daerah pemilihan (Dapil). Tiga bulan ke depan, Dapil masing-masing kandidat ditetapkan. Maka sebelum penetapan, kawan ini atas nasehat kawanya yang lebih awal berpartai, mendahului mencari Dapil.

Jadi nanti bila DPP tanya, ”Wahai engkau politisi, dimana wilayah konstituentmu,” maka si kawan ini akan menjawab. ”Kota A, B dan C. Buktinya saya punya kantor untuk rakyat di daerah tersebut.” Bila elit DPP menerima, maka ia akan ditetapkan masuk daftar urutan calon DPR di wilayah tersebut.

”Kalo tiga bulan ke depan, DPP memutuskan Dapil yang berbeda, gimana?”
”Ya, pindah. Tapi karena dah punya lapak, maka akan dapat lapak pengganti.” Jawabnya sambil mengistilahkan Dapil sebagai lapak.
”Terus, kantor yang di sini ditingal?”
”Ya iya, kan dah dapat lapak pengganti yang baru,”
”Ooo...” Aku mengangguk-angguk. Politik memang rumit.

Hilanglah bayanganku tentang Obama. Hari itu, perbendaharaan istilah politiku bertambah, ternyata di samping ada politik kaki lima ala Obama, adapula politik lapak alamak... Au, ah gelap!

Tapi saya tetap senang dengan perjalanan hari itu, dan tetap akan suka dengan kawan yang tengah merintis jalan ke DPR RI itu. Semoga cita-citanya menjadi wakil rakyat terkabul.

Kesimpulan :
-Politik itu rumit.
-Jadi teman politisi juga rumit.
-Lebih rumit lagi kalau jadi politisi.
-Mau jadi politisi? Silahkan buat hal-hal yang rumit.

1 comment: