Tuesday, February 26, 2008

Rembulan yang Terpisahkan Malam

Bocah perempuan 5 tahun itu, panggil saja Rembulan. Siang itu, ia mampir ke kantor bersama dua orang relawan pendamping Wanita Penjaja Seks (WPS). Semalam, ibunya tertangkap razia oleh Satpol PP Kota Semarang ketika tengah berada di jalan, menanti para lelaki hidung belang.

Wajah Rembulan sembab, kedua matanya menyisakan sedikit merah, bekas tangis, rambut pendeknya terlihat masai. Salah seorang kawan perempuan mengajaknya membersihkan diri. Usai mandi, Rembulan lebih segar, separo nasi bungkus padang amblas dilahapnya. Ia tersenyum malu, tapi menjawab lancar setiap pertanyaan. Anak yang lucu dan cerdas. Rembulan duduk di bangku TK. Tapi hari itu, dia membolos.

Semalam, ia tidur sendiri di kamar kost. Biasanya, selarut apapun sang ibu pulang, menemani tidur. Tapi malam 15 Februari 2008, belia berambut sebahu itu terpaksa tidur sendiri. Memendam tanya kenapa sang ibu tak jua pulang. Oleh-oleh tas kertas yang dipesannya sebelum sang ibu keluar “bekerja” menjadi mimpinya.

Malam di jalan, bagi ibu Rembulan tak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Berdiri di trotoar menanti lelaki hidung belang. Namun bagi satpol PP Kota Semarang, malam itu adalah malam perburuan! Para petugas berseragam coklat khaki yang kebanyakan lelaki, bersepatu lars ala serdadu itu, bersemangat memburu para perempuan di trotoar jalan. Mengejar, menangkap, dan menyeret mereka ke atas truk bak hewan. Ibu Rembulan tertangkap.

Di sudut lain kawasan kota lama, Semarang, malam itu adalah malam berbagi pengetahuan. Para relawan pendamping WPS menggelar tenda informasi kesehatan tentang Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV&AIDS. Tak lama berselang, serombongan Satpol PP datang, beberapa ”pemburu” turun bergegas mencari sasaran. Saat itulah terdengar teriakan memanggil dari truk yang berhenti dengan mesin yang tetap menyala. Ia adalah ibu Rembulan. Penuh khawatir ia bercerita tentang anaknya yang sendiri, menitipkan tas kertas pesanan putri semata wayangnya untuk disampaikan. Sambil meminta agar anaknya disusulkan hingga bisa bersamanya malam itu atau di pagi dini hari esok.

Truk tak lama berhenti, tak ada tangkapan di wilayah kota kuno itu, para pemburu segera melaju ke Polsek Semarang Tengah, dengan ”hanya” 13 tangkapan. Seorang relawan malam itu pula menyempatkan diri menengok ibu Rembulan yang ”ditangkarkan” para pemburu di kantor Polsek, namun ditolak penjaga piket karena tak membawa surat ijin dari satpol PP. Masgul, tapi tak berdaya. Inilah negeri hukum yang UUD mengamanatkan anak telantar dan orang tidak mampu dipelihara oleh negara.

Rembulan pagi itu bangun, mimpinya tentang tas kertas terwujud. Pagi-pagi sekali seorang relawan membawakan kepadanya, namun tidak sang ibu. Tanpa sempat mandi dengan tas kecil berisi sedikit pakaian dan tas kertas mimpinya, Rembulan bergegas duduk di depan motor sang relawan, ke Polsek Semarang Tengah.

Pagi itu, truk yang semalam, kembali terparkir di halaman Polsek Semarang Tengah, sama, dengan mesin menyala. Dalam bak truk, 13 tangkapan para lelaki bersepatu lars, duduk berjajar di bangku panjang saling berhadapan, kuyu semalam tak nyeyak tidur. Ibu Rembulan yang duduk di pinggir pintu bak truk gelisah. Pandanganya menyapu halaman kantor bertulisan ”Siap melayani dan melindungi”. Ia tak paham maknanya, yang ia tahu beberapa lelaki berseragam tampak sibuk.

Kegelisahannya terhenti begitu melihat Rembulan digendeng sang relawan, menuju ke arahnya. Seorang petugas Satpol PP melarangnya untuk turun dari bak truk, maka Rembulan dibantu sang relawan, naik ke bak truk. Keduanya menangis berpelukan. Bahagia. Tapi hanya sesaat.

Komandante sang satpol dengan suara keras memerintahkan Rembulan untuk turun. Anak buahnya dengan kepatuhan ala anggota pasukan berani mati, segera merenggut Rembulan. Tangis histeris Rembulan yang tak ingin berpisah dari sang ibu tak meluluhkan hati baja aparatur penegak Perda tersebut. Truk yang seolah mesinya tak pernah mati itu, segera melaju pergi mengangkut ibu Rembulan ke Kamp Rehabilitasi di Solo, Dua setengah jam perjalanan dari Semarang.

Rembulan terus menangis, sang ibu juga. Sang relawan berupaya meluruhkan hati sang komandante berseragam coklat khaki dengan beberapa emblem itu, namun sang komandante adalah lelaki berhati baja. Tangis Rembulan, kerinduan, dan ketakutan seorang anak yang akan sendirian tanpa sanak saudara dianggapnya hanya sebagai kentut.

Maka kini kulihat Rembulan, dengan mata sembab duduk di lantai lahap mengunyah nasi bungkus bersama kami. Untung ia masih dapat tersenyum.

5 comments:

  1. speechless....bagus tenan... ;)

    ReplyDelete
  2. anak yang ngga berdosa itu sekarang tinggal dimana jadinya?

    ReplyDelete
  3. Aku sedang membaca buku "Biografi Sex Worker", karya Nalini - Indian setting. Buku itu mengisahkan betapa seorang ibu, sex worker, berjuang keras menghidupi anak perempuannya, dan memprotect-nya agar tidak terjadi harashment.

    Banyak anak yang tumbuh dalam situasi seperti Rembulan. Bukan permasalahan baru, namun sering terlupakan. So...?

    ReplyDelete
  4. Kawans, Rembulan saat ini telah disusulkan pada ibunya di Panti Rehab di Solo. Semoga tak akan ada lagi pemisahan ibu dan anak ala jaman kegelapan ini.

    ReplyDelete
  5. geez..hidup itu emang ga pernah gampang yah?

    ReplyDelete