Monday, September 6, 2010

Lebaran 2010

Hari itu, pagi sekali, baju baru telah dibeli. Seember air telah siap di teras rumah. Aroma sedap terbaui, sangat khas. Seperti bau bumi yang terpercik hujan setelah lama kerontang. Namun pagi itu tak hujan. Ibu. Iya, ibulah penyebabnya.

Pada subuh yang masih gelap, saat kantukku masih berat. Dengan sapu lidi, ia sapu seluruh ruang rumah kami yang berlantai tanah. “Ssret, ssret, ssret..,” sapu lidi menggesek tanah berulang-ulang seperti berbisik. Air dalam gayung dari batok kelapa ia percikan tipis merata, agar debu tak mengudara. Seketika aroma tanah semerbak terasa gurih.

Baju itu berwarna merah mencolok dengan motif hitam gambar beberapa kuda, aku agak lupa. Usai menyapu, Ibu manghampiriku, menggerak-gerakan tubuhku agar bangun. “Ayo bangun, bangun hari ini lebaran, sholat ied,” ujarnya berkali-kali dalam bahasa jawa, agar aku segera beranjak dari dipan, tempat tidur papan beralas tikar pandan, yang sangat nyaman.

Tak sabar menunggu, Ibu segera membopong tubuh kurusku ke depan, teras rumah. Di samping pilar pertama bercat hijau kusam, seember air telah siap. Aku diturunkan di atas kepingan batu belah, berjongkok. Ibu menata kerudungnya seperti sorban, dan mulai menyirami badanku. Dingin. Sabun segera digosokan ke seluruh tubuhku, coba menghilangkan daki. Aku bertanya, dimana abah. Ibu terus menyiram dan menggosok-nggosok seluruh tubuhku, sambil bercerita tentang baju baruku dan kicau burung perenjak yang bising di pagi itu.
“Itu pertanda akan ada banyak tamu datang,” terangnya.
”Termasuk abah ya?”
“Iya, termasuk abah-mu,” sambil mengangkat badanku yang diselimuti handuk ke dalam rumah.

Baju baru itu segera dikenakanya padaku. Pas. Kontras dengan warna kulitku yang legam. Aku mengenakan sarung tanpa dibantu ibu. Sarung itu tidak baru, tapi masih sangat bagus. Hanya ujungnya saja yang terlihat terlipat-lipat, ngeper, seperti per, begitu teman-temanku menyebutnya. Dan bukan cuma sarungku yang ngeper. Tak bisa dihilangkan bila tak diseterika.

Peci hitam yang agak memerah karena sering diterpa matahari saat sekolah madrasah siang, bertengger di kepala. Ibu tersenyum, dan segera menuntunku kembali ke teras. Salah seorang pamanku, adik abah, telah menunggu, aku memboceng sepedanya pergi ke masjid desa, untuk sholat idul fitri. Lebaran. Bakdo.

****
Abah. “cetak, cetak, cetak..,” terdengar dari mesin ketik berwarna seperti kulit telur asin. Benda itu di seantero desa sepertinya hanya dimiliki abah. Aku dan temen-teman, sering berdiri tak jub saat benda itu dipijit-pijit hingga terdengar bunyi “ting” tanda satu baris kalimat telah mencapai batas pinggir kertas. Bagiku itu seperti mainan kereta-keretaan. Kami menontonya dari jarak kurang dari satu depa, hingga sering disuruh menjauh, abah menyuruh kami bermain ke tempat lain. Kami akan menolak itu. Tapi akhirnya kami juga bosan sendiri, dan lebih memilih pergi ke kebun, memanjat pohon mangga atau main perang-perangan.

Kaleng kotak itu bergambar ibu muda bersama anak-anaknya berambut pirang dengan secangkir teh di meja makan, terlihat akrab berbincang sambil menyantap roti. Iya, roti Khongguan. Abah sering membawa itu sebagai oleh-oleh untuk aku dan ibu, saat pulang dari bepergian dari jauh. Tapi adakalnya hanya sekotak permen keras berwarna coklat dibungkung kotak karton seukuran wadah rokok filter, cuma terlihat lebih tipis. Katanya dari Jakarta.

Kaleng itu sudah lama kosong. Wafernya yang berbungkus plastik favoritku, sudah jauh-jauh hari habis. Kadang aku membawanya ke sekolah untuk kubagi atau kujual kepada teman-temanku. Hingga aku mandi tadi, tak ada juga kaleng baru yang berisi roti. Menurut ibu, tak mengapa, masih ada sepiring jenang berminyak yang kenyal di meja, dan beberapa cemilan jajanan pasar, siap menyambut tamu.

Aku masih terlalu kecil untuk menghitung bulan, di sekolah aku masih belajar mengeja “ I ni I bu Bu di”. Aku sempat menulis surat untuk abah, dan saat kutunjukan ke ibu, ia hanya tersenyum. Aku sadar mungkin yang kuanggap sebagai surat itu, tak lebih dari susunan huruf yang tak berbunyi apapun. Lagi pula aku juga tak tahu kemana surat itu harus dikirim. Di lipatan terluar dari surat itu kucoba menuliskan kota tujuan: Jakarta. Aku tak yakin apakah tulisanya benar terbaca begitu. Yang jelas aku juga tak tahu bahwa Jakarta itu 1000 kali lebih luas dibanding desaku.

Sumbu lampu dari lubang-lubang kecil bambu yang dipancang di depan tiap rumah sudah dinyalakan. Lampu yang hanya ada pada bulan puasa dan lebaran. Benar kata ibu, kicau burung prenjak pertanda banyak tamu. Namun hingga lampu petromak dalam rumah padam, dan lampu sentir dari bambu meredup, tak ada yang datang membawa kaleng roti bergambar keluarga bule yang ceria.

Malam itu, aku tidur di samping ibu dengan baju baru warna merah mencolok. Dari surau lamat-lamat takbir terdengar, dilantunkan tanpa speaker, hanya masjid yang punya TOA dan itu juga sering tak dinyalakan karena aki yang menopang energinya sering tekor, harus disetrum lebih dahulu ke kecamatan. Butuh Tiga hari untuk siap digunakan kembali.

Suara mercon terdengar diledakan, bersahut-sahutan, ramai. Ini malam lebaran, malam kegembiraan. Aku sebenarnya ingin bergabung dengan teman-temanku yang tidur di surau. Tapi ibu tak memberikan izinya. Ibu melingkarkan tanganya di tubuhku, memeluk badanku yang mengenakan baju baru.

Lampu petromax telah padam, hanya sentir kecil di pojok sentong yang menyala lamat-lamat, nafas ibu begitu lembut. Aku mencoba memejamkan mata.

****
2010. Tak ada kotak biskuit bergambar keluarga bule yang ceria. Demikian pula baju baru. Ini lebaran keduaku tanpa Ibu.

Lamat-lamat penggalan kalimat khutbah sekian tahun lalu, terputar ulang. “Lebaran adalah saat paling tepat menatap dan mencium wajah orang-orang yang kita kasihi. Karena lebaran yang akan datang bisa jadi wajah itu tak lagi bersama kita”.

1 comment: