Wednesday, April 23, 2008

Oh, Netral...

Netralitas. Aku tak tahu kenapa kosa kata semacam itu muncul dalam kehidupan dan setia mengikuti peradaban yang terus berjalan.

Kata yang sering dimaknai sebagai sikap tidak memihak dalam pikir dan perilaku itu menjadi tembok teguh dunia kampus di masa lalu dan kini. Menjadi tameng bagi para cerdik cendekia ketika membedah persoalan yang ada di depannya bak malaikat yang dapat mengambil jarak ruang dan waktu.

Tak henti-henti kata-kata absurd itu terus diproduksi, reproduksi dan dicekokan ke dalam kepala para maha murid di kelas-kelas yang dikontrol ketat oleh sistem quality control yang nyaris sempurna! Maka, perguruan tinggi yang berisi banyak orang pintar itu menjelma menjadi menara gading.

Untung kemudian datang badai yang meretakkan menara gading itu sehingga para malaikat gadungan itu mulai melongok, mencium dan menyentuh persoalan yang selama ini mereka perbincangkan di ruang hampa. Namun seiring waktu menara itu mulai dibangun kembali, derajat ala malaikat terlalu berharga untuk dicampakkan. Jubah-jubah keagungan yang disulam dengan benang-benang netralitas mulai kembali dikenakan. Itu soal pilihan, tidak mengapa bila memang bisa.

Ironisnya, beberapa penghuni menara gading yang memasang tulisan besar-besar netralitas di jubah mereka itu menjalankan beragam proyek dari para kaum yang tak netral, terlibat di dalamnya sepenuh hati sebagaimana kantong mereka yang penuh, namun tetap mengenakan jubah itu. Sepertinya jubah netralitas adalah jubah ala Hary Potter yang bisa jadi tameng sekaligus tempat bersembunyi.

Jubah netralitas tak hanya menjadi trend para penghuni menara gading. Netralitas yang diusung oleh kaum positivistik itu menggoda banyak pihak karena juga dapat dijadikan tameng untuk mengelak. Maka beberapa jurnalis, beberapa aktivis LSM, bahkan beberapa tokoh agama, dan juga politisi tak jarang berujar ”kami netral”. Sugguh absurd!

Karena absurdnya, saat menulis ini, tiba-tiba saya merasa seperti terlempar dalam sebuah mobil balap dengan sopir yang sangat jago tapi dengan mudah puluhan angkot menyalip kami begitu saja. Bahkan beberapa tukang becak membunyikan bel berkali-kali sambil mengumpat. Saya melirik sang pembalap di samping saya, wajahnya tenang penuh percaya diri. Mesin mobil kami telah dari tadi menyala. Begitu saya melirik ke samping kursi, alamak... ternyata persneling gigi pada posisi netral!

Kalo boleh melakukan tafsir mbeling, maka saya akan bilang bahwa netral adalah selemah-lemahnya iman. Lebih hina lagi orang yang mendeklarasikan dirinya netral tapi terdapa sebiji dzarah ketidaknetralan dalam hatinya. Dan hanya orang-orang naif yang terbuai oleh paham netral (Kayak dua kelompok grup musik ya? Hehehe...).

Atau dalam bahasa yang lebih santun, baju netral hanyalah milik malaikat dan orang gila yang tak memiliki pretensi. Sebagai manusia normal kita sungguh tak laik netral, kecuali memang kita tak ingin bergerak dan menggerakkan apapun.

Hemm, saatnya keluar dari mobil yang tak juga melaju karena porsnelinggnya tetap netral.

2 comments:

  1. jadi menjadi netral adalah sama seperti orang yang ngga punya pendirian, ataukah menjadi netral itu sendiri merupakan sebuah pilihan?

    ReplyDelete
  2. netral?
    sama dengan golput?kalo golput, berarti kita ga berusaha bikin negara ini jadi lebih baik dong?

    ReplyDelete